Konten dari Pengguna

Pasca-G30S: Sudahkah Sektor Keamanan Kita Bereformasi?

Aura Putri
Sedang menyibukkan diri dengan berusaha membaca dan menulis tentang Hak Asasi Manusia
27 September 2018 1:13 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aura Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Film G30S/PKI (Foto: Jihad Akbar/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Film G30S/PKI (Foto: Jihad Akbar/kumparan)
ADVERTISEMENT
Setiap mendekati akhir bulan September, di Indonesia, pembahasan mengenai G30S selalu mencuat ke permukaan. Bukan berarti di luar tanggal-tanggal tersebut orang-orang berhenti membahas peristiwa G30S, hanya saja, kuantitas pembahasannya selalu menanjak di bulan September. Hampir seluruh rakyat Indonesia setuju bahwa 30 September 1965 merupakan hari kelam. Tujuh jenderal terbunuh dan anggota PKI diduga sebagai pelaku.
ADVERTISEMENT
Kendati buku-buku pelajaran sejarah di sekolah kerap menuliskan G30S merupakan upaya PKI untuk mengkudeta Soekarno, sejumlah buku, jurnal, dan tulisan lain menyebutkan bahwa peristiwa tersebut justru didalangi oleh Soeharto. Melalui gerakan strategis tersembunyi, Presiden Soeharto merancang agar peristiwa G30S terjadi dan dengan menjadikan PKI sebagai kambing hitam.
Terlepas dari siapa yang membunuh siapa atau siapa yang menjadi dalang, peristiwa G30S nyatanya memiliki peran yang cukup signifikan dalam upaya menumbangkan Presiden Soekarno. 11 Maret 1966, Soekarno mengeluarkan surat perintah dan menunjuk Soeharto untuk menggantikan posisinya. Setelahnya, rezim Orde Baru dimulai dan baru berakhir di tahun 1998, berbarengan dengan lengsernya Presiden Soeharto.
Peristiwa G30S 1965 rasanya tidak cukup dilihat dan diingat sebagai hari pembunuhan tujuh jenderal. Lebih dari itu, peristiwa G30S 1965 perlu disadari sebagai titik mengkristalnya dominasi politik militer. Dominasi ini jelas terlihat melalui terlibatnya militer dalam politik di tahun-tahun tersebut (sampai akhir Orde Baru), yang kemudian mengarah pada supremasi militer atas sipil. Hal ini pula yang kemudian memantik masyarakat sipil menuntut adanya reformasi sektor keamanan (TNI dan Polri) setelah tumbangnya pemerintahan Soeharto.
Nobar Film G30S/PKI di Gorontalo (Foto: Antara/Adiwinata Solihin)
zoom-in-whitePerbesar
Nobar Film G30S/PKI di Gorontalo (Foto: Antara/Adiwinata Solihin)
Lengsernya pemerintahan Soeharto di tahun 1998 melahirkan 6 Tuntutan Reformasi dari masyarakat sipil, yang salah satunya adalah untuk menghapuskan dwifungsi TNI/Polri. Mandat Reformasi Sektor Keamanan (selanjutnya akan ditulis sebagai “RSK”) juga disuarakan, untuk memisahkan peran TNI dengan Polri.
ADVERTISEMENT
Menjawab tuntutan tersebut, MPR mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/ 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta Tap MPR Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri pada bulan Agustus 2000. Melalui ketetapan tersebut, TNI diberikan peran untuk wilayah pertahanan, sementara Polri berperan untuk untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
RSK pada awalnya merupakan respon dari masyarakat sipil terhadap aparat keamanan yang dinilai otonom dan tidak transparan. Tujuan besar dari ide ini adalah untuk menuju good governance dan penghormatan pada HAM melalui TNI dan Polri yang lebih profesional dan transparan. Aparat keamanan diharapkan tidak lagi sekadar mengedepankan keamanan negara, melainkan kemanan sosial dan masyarakat. Ini terkait dengan kelekatan RSK dengan nafas SSG (Security Sector Governance) yang menekankan negara dapat dikatakan mampu melindungi warganya ketika sektor keamanan bisa beroperasi secara efeketif di bawah kontrol demokrasi, atau dengan kata lain, di bawah kontrol masyarakat sipil.
ADVERTISEMENT
Saat ini, efektivitas RSK kembali dipertanyakan. Mulai terlibatnya TNI di sektor-sektor keamanan menunjukkan RSK belum dijalankan sebagaimana mestinya. Misalnya saja, pengesahan revisi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pada 25 Mei 2018 lalu. Pengesahan ini menuai kritik dari berbagai kalangan sebab dinilai berpotensi mengancam supremasi sipil. Penilaian ini dilandasi oleh ditetapkannya wewenang TNI untuk terlibat aktif dalam penanganan terorisme. Dikhawatirkan, TNI dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap masyarakat sipil dan berlindung di balik impunitas dan sidang pengadilan militer.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya itu, TNI juga dilibatkan dalam Program Cetak Sawah melalui kerja sama dengan Kementerian Pertanian di tahun 2015. Lagi-lagi, TNI dilibatkan di sektor di luar pertahanan. Padahal, dalam negara demokrasi, militer baru boleh terlibat di OMSP (Operasi Militer Selain Perang) ketika eskalasi ancaman ada di status darurat dan aparat politik/hukum sudah tidak bisa mengatasi.
Dengan demikian, dilibatkannya TNI dalam penanganan isu semisal terorisme dan cetak sawah jelas kontradiktif terhadap komitmen pemerintah untuk mengadopsi Reformasi Sektor Keamanan (RSK). Pada titik ini, penting untuk menguatkan peran aktif masyarakat sipil untuk menegakkan RSK. Upaya menuju RSK tentunya dapat ditempuh melalui beragam cara, semisal kerja-kerja, kerja-kerja kolaboratif masyarakat sipil.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia perlu menegakkan RSK untuk mengembalikan supremasi masyarakat sipil dari militer. Kendati demikian, masyarakat sipil tidak bisa terus diam dan menunggu keinginan baik dari pemerintah. Supremasi masyarakat sipil, pada titik tertentu, tetap mensyaratkan adanya peran dan pelibatan aktif dari masyarakat sipil itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Menutup tulisan ini, saya justru ingin membuka sebuah pertanyaan: Apakah sebenarnya kita telah benar-benar siap untuk mereformasi sektor keamanan?
Sumber:
Andi K. Yuwono, Reformasi Sektor Keamanan dan Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu: Sebuah Tantangan Bagi Masyarakat Sipil, 2009
http://www.ylbhi.or.id/2005/11/reformasi-sektor-keamanan/ (diakses pada 21 September 2018, 22.29 WIB)