Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Dilema Perlindungan HAM dan Penegakan Keadilan dalam Hukuman Mati Koruptor
13 Desember 2022 16:00 WIB
Tulisan dari Aura Malika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hukuman mati adalah bagian dari hukum positif di Indonesia. Pidana mati ini diatur dalam Pasal 98 hingga 102 KUHP baru yang telah disahkan pada 6 Desember 2022 silam. Meskipun tidak lagi ditetapkan menjadi pidana pokok, bukan berarti vonis hukuman mati ini tidak dapat dijatuhkan.
ADVERTISEMENT
Penerapan hukuman mati ini masih menuai perbedaan pendapat tak hanya di kalangan masyarakat, tetapi juga di kalangan pembuat aturan. Pasalnya, hukuman mati dinilai oleh sebagian besar masyarakat dapat membuat jera para koruptor dan dapat menurunkan angka korupsi di Indonesia. Akan tetapi, aturan hukuman mati ini juga ditentang keras terutama oleh para pegiat HAM karena dianggap mencederai nilai-nilai dan prinsip daripada HAM itu sendiri.
Implikasi dari kejahatan korupsi ini bagaikan rantai yang tak terputus dan berhubungan satu sama lain. Korupsi merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Hal tersebut karena tindakan korupsi ini “mencuri” apa yang menjadi hak orang lain, dalam konteks korupsi artinya hak rakyat Indonesia. Paling tidak, korupsi juga bisa merugikan keuangan dan perekonomian negara, melahirkan kemiskinan secara makro, serta berdampak pada lemahnya eksistensi suatu bangsa yang telah susah payah dibangun oleh para founding fathers Indonesia terdahulu.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, betul dikatakan bahwa korupsi tidak lagi relevan jika dikatakan sebagai kejahatan konvensional, tetapi korupsi adalah kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Alasan-alasan tersebut membuat sebagian besar masyarakat mendukung penerapan hukuman mati bagi koruptor karena beban kerugian yang koruptor berikan kepada negara dan rakyat tidaklah main-main.
Pelanggengan hukuman mati di Indonesia sebagai hukum positif juga menuai penolakan terutama dari para pegiat dan aktivis HAM karena dianggap melanggar HAM, salah satunya yaitu hak untuk hidup yang telah diatur dalam Pasal 28A UUD NRI 1945. HAM sendiri terdiri dari dua macam hak yang gagasannya terdapat dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, yaitu hak yang tidak dapat dibatasi atau non derogable rights dan hak yang dapat dibatasi atau derogable rights.
ADVERTISEMENT
Derogable rights ini merupakan hak yang oleh negara dan konstitusi dapat dibatasi, namun bukan dicabut, seperti hak kebebasan berekspresi dan hak untuk berserikat dengan orang lain. Pembatasan hak asasi yang demikian adanya dapat dilakukan oleh negara apabila dalam keadaan darurat, seperti tindakan yang secara serius mengakibatkan pelanggaran ketertiban umum.
Sedangkan non derogable rights merupakan hak yang secara absolut tidak dapat dibatasi, dikurangi, apalagi dicabut keberadaannya meskipun kondisi dalam keadaan darurat, seperti hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perbudakan, serta kebebasan berpikir.
Negara atas hak asasi warganya memiliki kewajiban untuk menghormati, menegakkan, dan memenuhi semua jenis hak tersebut, baik hak yang bisa dibatasi maupun hak yang tidak bisa dibatasi. Penjatuhan hukuman mati bagi koruptor tentu saja melanggar hak untuk hidup yang seharusnya dijamin serta dilindungi oleh negara. Hal inilah yang kemudian memicu pertentangan dari berbagai pihak.
ADVERTISEMENT
Selain itu, hukuman mati juga menuai kontra terkait aspek futuristis penerapannya. Hukuman mati merupakan putusan hukuman yang bersifat final dalam mengadili kejahatan yang telah terjadi. Artinya, terhadap kasus dengan vonis hukuman mati tidak dapat dilakukan peninjauan kembali apabila di kemudian hari ditemukan bukti atau fakta baru yang dapat meringankan atau bahkan membebaskan pelaku.
Jika di kemudian hari koruptor ditemukan tidak bersalah atau bukti yang digunakan ternyata tidak sah, pelaku yang sudah dihukum mati tersebut akan menjadi korban yang tidak akan bisa kembali untuk mendapatkan keadilan. Lantas, siapakah yang harus bertanggung jawab atas ketidakadilan yang terjadi?
Penerapan hukuman mati sebenarnya hanya memotong batang dari sebuah pohon dan bukan mencabut permasalahan sesungguhnya hingga ke akar. Korelasi yang ditimbulkan antara penerapan hukuman mati dan penurunan angka kasus korupsi juga tidak dapat terlihat secara nyata. Bahkan, Cina yang menerapkan hukuman mati memiliki angka kasus korupsi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Singapura yang tidak menerapkan hukuman mati.
ADVERTISEMENT
Pemerintah perlu memperhatikan hal lain yang lebih krusial dibandingkan sebuah hukuman yang sifatnya hanya sekadar pembalasan, seperti langkah pencegahan atau preventif. Selama ini yang kita ketahui tentang merajalelanya korupsi di Indonesia disebabkan oleh penjatuhan hukuman yang tidak tegas dan tidak membuat jera para koruptor. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah.
Ada perihal lain yang sebenarnya luput dari pandangan pemerintah dan sebagian masyarakat, yaitu tata kelola negara terkait anggaran yang sudah seharusnya ketat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Apabila tata kelola ini berjalan dengan baik hingga ke pangkat terendah sistem birokrasi, korupsi tentu saja tidak menjadi lubang yang sama tempat terjatuhnya pemerintahan negara ini.
Negara juga tidak boleh lepas tangan dalam menangani para penjahat negara dengan memvonis hukuman mati kepada mereka. Dalam rangka melindungi HAM dan tetap menegakkan keadilan, hukuman yang diterapkan di Indonesia seharusnya menggunakan pendekatan yang lebih humanis dan rehabilitatif. Hukuman yang dijatuhkan harus tetap berupaya untuk memulihkan moral pelaku agar tidak melakukan kejahatan tersebut di masa yang akan datang.
ADVERTISEMENT
Tidak ada jaminan bahwa angka kejahatan korupsi akan menurun apabila hukuman mati yang termasuk melanggar HAM ini diterapkan. Oleh karena itu, perlu ada upaya untuk menggantikan hukuman mati dengan hukuman lain yang dapat diterapkan untuk menghukum para pelaku kejahatan korupsi ini secara tegas dan efektif, namun tetap sesuai dengan perlindungan hak asasi setiap warga negaranya.