Konten dari Pengguna

Sejarah BW, KUHPerdata Indonesia Warisan Kolonial Belanda

Aura Malika
Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Indonesia
2 Maret 2023 9:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aura Malika tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio
zoom-in-whitePerbesar
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Terjemahan Subekti dan Tjitrosudibio
ADVERTISEMENT
Siapa sangka, penjajahan yang dilakukan oleh Belanda ternyata membawa nilai positif bagi Indonesia, salah satunya yaitu modernisasi hukum di bidang hukum perdata.
ADVERTISEMENT
Dalam menyelesaikan peristiwa dan perkara perdata, Indonesia masih menjadikan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) yang merupakan terjemahan dari Burgerlijk Wetboek (BW) sebagai pedoman. Sebagian besar substansi BW yang dibawa Belanda bersumber dari Code Napoleon Prancis, Corpus Juris dari Romawi, serta hukum Belanda kuno.
BW sendiri telah disahkan di Hindia Belanda melalui Staatblaad N0. 23 Tahun 1847. Kodifikasi kitab undang-undang ini kemudian diberlakukan sejak 1 Januari 1848 melalui asas konkordansi, yaitu asas yang melandasi pemberlakuan hukum Eropa (Belanda) agar diberlakukan juga bagi sesama golongan Eropa yang berada di Hindia Belanda (Indonesia) kala itu.
Dari pengertian asas konkordansi, betul bahwa pada awalnya BW bukan diperuntukkan bagi golongan pribumi. Hal tersebut searah dengan politik hukum pemerintah Belanda yang membagi penduduk ke dalam 3 golongan (Pasal 131 Indische Staatsregeling).
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
Golongan pertama yaitu golongan Eropa termasuk orang Belanda. Pada golongan ini, hukum perdata dan hukum dagang yang berlaku adalah BW dan juga hukum dagang Eropa.
ADVERTISEMENT
Golongan kedua yaitu golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa, seperti Arab dan India. Pada golongan ini, hukum Eropa yang diberlakukan hanya hukum dagangnya saja. Hukum perdata yang berkaitan dengan perkawinan, keluarga, serta waris digunakan hukum perdata adat masing-masing.
Golongan terakhir yaitu pribumi/bumiputra yang menggunakan hukum perdata adatnya masing-masing. Perlu diingat bahwasannya terdapat kebolehan bagi golongan bumiputra untuk melakukan penundukan hukum terhadap hukum Eropa, baik secara diam-diam ataupun secara tegas dan terang di muka.
Setelah merdeka pada tahun 1945, Indonesia masih memberlakukan BW yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi KUHPerdata. Hal ini bertujuan untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum pasca kemerdekaan.
Ilustrasi Palu Sidang. Foto: Shutterstock
Dasar pemberlakuan KUHPerdata di Indonesia yaitu pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa, “Segala badan-badan negara dan peraturan-peraturan yang ada, masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.” Maka dari itu, secara yuridis formil kedudukan BW tetap sebagai undang-undang karena kedudukan BW sebagai undang-undang belum dicabut.
ADVERTISEMENT
Seiring perkembangan zaman dan perubahan kebutuhan hukum, pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa undang-undang yang mencabut beberapa ketentuan pasal dalam KUHPerdata sesuai asas lex posterior derogat legi priori.
Pemerintah juga mencabut ketentuan tentang perkawinan dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Peraturan perundang-undangan lain yang mencabut ketentuan dalam KUHPerdata yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Lain yang Berkaitan dengan Tanah serta Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Dengan begitu, ketentuan di dalam KUHPerdata saat ini masih berlaku sebagian bagi Buku I perihal Orang dan buku II perihal Benda serta masih berlaku seluruhnya bagi buku III perihal Perikatan dan buku IV perihal Pembuktian dan Daluwarsa.
ADVERTISEMENT