Konten dari Pengguna

Gender Creative Parenting

Aurel Vanenza Putri
Mahasiswa Mata Kuliah Kajian Gender dan Perempuan Jepang Studi Kejepangan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga
5 Desember 2022 22:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aurel Vanenza Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: pexels
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: pexels
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Menjadi orang tua bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Istilah orang tua tidak terbatas pada orang tua biologis (kandung) tetapi meluas ke setiap wali atau pengasuh yang memberikan perawatan yang konsisten kepada anak-anak dan remaja. Ini termasuk orang tua angkat atau asuh, saudara kandung, kakek nenek, kerabat lainnya, dan muda remaja yang juga orang tua. Pekerja di penyedia penitipan anak juga memainkan peran penting dalam perawatan bayi dan anak kecil.
ADVERTISEMENT
Otak anak berkembang lebih cepat dari sebelumnya dalam beberapa tahun pertama kehidupannya. Segala sesuatu yang ia alami menghasilkan jutaan koneksi saraf di otak anak. Periode awal ini meletakkan dasar untuk pembelajaran, kesehatan, dan perilaku pada anak-anak dari semua jenis kelamin. Sekitar usia tiga tahun, anak-anak mulai mengembangkan rasa identitas gender yang terus meningkat seiring bertambahnya usia. Pada usia lima tahun, anak-anak memiliki rasa stabilitas gender dan mulai mengekspresikan identitas gender mereka melalui kata-kata dan tindakan. Tidak seperti “seks” yang mengacu pada perbedaan biologis antara wanita dan pria, “gender” mengacu pada hubungan sosial antara wanita, pria, anak perempuan, dan anak laki-laki. Itu dapat bervariasi dari masyarakat ke masyarakat dan pada titik yang berbeda dalam sejarah. Isu gender utama yang telah diperdebatkan sampai saat ini salah satunya adalah pola asuh bias gender.
ADVERTISEMENT
Berurusan dengan perlakuan bias gender dapat berdampak negatif yang bisa merugikan pada perkembangan anak hingga mereka mencapai usia dewasa. Norma gender adalah keyakinan informal, tertanam dan meresap tentang peran dan harapan gender yang memandu perilaku dan praktik manusia dalam situasi dan titik waktu sosial tertentu. Misalnya, anak perempuan seringkali diharapkan untuk menikah dan berkeluarga, sedangkan anak laki-laki diharapkan untuk mendapatkan uang dan menghidupi keluarga mereka. Anak perempuan mungkin terlihat lebih rentan dan membutuhkan perlindungan, sementara anak laki-laki dianggap kuat dan mandiri, karena menekan dan memperkuat dinamika perempuan, seringkali memperkuat hak istimewa laki-laki dan membenarkan perlakuan diskriminatif terhadap anak perempuan dan perempuan.
Tak hanya karena norma gender diatas, orang tua pun dapat mentransfer bias gender mereka sendiri kepada anak-anak mereka. Misalnya, anak perempuan sejak dini diperlakukan lemah dan dipuji karena penampilannya, sedangkan anak laki-laki selalu didorong untuk menjadi kuat dan dipuji karena kekuatan fisiknya. Prasangka semacam itu secara bertahap mengajari anak-anak untuk berperilaku sesuai dengan norma-norma yang "diterima" dari jenis kelamin mereka, yang dapat berdampak buruk pada perkembangan sosial dan emosional mereka. Contoh lainnya di beberapa komunitas, gadis dan wanita yang sedang menstruasi dilarang bergerak dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan keluarga. Misalnya, anak perempuan tidak diperbolehkan pergi ke sekolah atau bermain, dan perempuan tidak diperbolehkan menyiapkan makanan atau berpartisipasi dalam kegiatan masyarakat. Hambatan mendasar yang signifikan adalah norma sosial gender yang melihat anak perempuan dan perempuan sebagai "kotor" selama siklus menstruasi mereka. Norma-norma ini dijunjung tinggi oleh individu, keluarga, dan masyarakat, dan akibatnya remaja putri mengalami diskriminasi dan kesempatan terbatas untuk belajar dan perkembangan sosial. Menurut saya sendiri kejadian seperti ini masih sangat sering terjadi di kehidupan sekarang ini terutama di daerah pedesaan.
ADVERTISEMENT
Sebagai orang tua, ia memainkan peran penting dalam menentukan apakah anaknya mengikuti norma gender tersebut atau menentangnya. Gender Creative Parenting (Pengasuhan yang responsif gender) adalah pengasuhan yang menerapkan prinsip-prinsip utama seperti kesetaraan dan inklusi gender, mempromosikan norma dan sosialisasi gender yang positif, dan mengubah struktur kekuatan yang tidak setara dalam keluarga (dan generasi mendatang) dikenal sebagai pengasuhan responsif gender. Ini berarti mengasuh dan mendukung perkembangan anak secara keseluruhan, kesejahteraan, dan sosialisasi gender yang positif sepanjang hidup mereka melalui pembinaan interaksi, perilaku, emosi, pengetahuan, keyakinan, sikap, dan praktik. Orang tua memiliki pengaruh paling penting terhadap anak-anak mereka, sehingga menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan norma, perilaku, dan praktik gender akan memberikan hasil yang lebih adil bagi generasi mendatang. Lalu apakah cara pengasuhan yang responsif gender ini sudah mulai diaplikasikan oleh para orangtua?
ADVERTISEMENT

A. Indonesia

Di Indonesia sendiri memiliki program kegiatan PAUD gender. Program Kegiatan PAUD Responsif Gender didirikan untuk membentuk dan mengembangkan perspektif tentang kesetaraan gender pada anak usia dini. Untuk membentuk opini dan gagasan tentang anak usia dini yang “berkeadilan gender”, guru PAUD mengembangkan tema atau subtema yang berhubungan dengan konsep kesetaraan gender. Misalnya tema profesi. Anak laki-laki dan perempuan didorong untuk memiliki cita-cita, dan guru PAUD memberi tahu mereka bahwa anak laki-laki dan perempuan memiliki mimpi yang sama. Misalnya, anak laki-laki dan perempuan memiliki impian yang sama untuk menjadi arsitek. Pada titik ini, guru PAUD dapat meyakinkan anak perempuan bahwa mereka juga bisa bekerja seperti anak laki-laki. Peringatan hari Kartini juga dapat dijadikan sebagai media untuk membentuk dan mengembangkan citra “kesetaraan gender” pada anak usia dini. Dalam kesempatan Hari Kartini, para guru PAUD dapat meyakinkan anak perempuan bahwa mereka memiliki hak dan kesempatan untuk bersekolah sederajat (setinggi-tingginya) dengan anak laki-laki.
ADVERTISEMENT

B. Jepang

Gaya parenting Jepang juga mencerminkan pengasuhan anak yang responsif gender. Di Jepang, para ibu menerima semua yang dilakukan anaknya dan menganggap anaknya sempurna. Tidak banyak batasan, dan ibu Jepang berusaha memahami perasaan anak-anaknya. Aturan dasar pendidikan Jepang adalah anak-anak bebas melakukan apapun yang mereka mau sampai mereka berusia lima tahun. Gaya pengasuhan seperti ini menghasilkan perilaku yang membantu anak-anak merasa lebih nyaman mengeksplorasi hobi dan studi, daripada mendorong mereka ke dalam aktivitas yang lebih stereotipe gender. Di Jepang kuno, peran ayah adalah menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Para ayah mengabdikan hidup mereka untuk perusahaan mereka, bekerja berjam-jam untuk menaiki tangga perusahaan dan menghidupi keluarga mereka secara finansial. Oleh karena itu, ketika seorang ayah berinteraksi dengan anak-anaknya, ia sering terlihat jauh dan menimbulkan rasa hormat, bahkan ketakutan. Proyek Ikumen (育メン) meningkatkan keterlibatan ayah dalam pengasuhan. Ini juga memiliki efek memungkinkan wanita untuk mengejar karir setelah melahirkan. Ini bisa menjadi contoh untuk menunjukkan kepada anak-anak bahwa perempuan bisa berkarier dan bahwa pekerjaan laki-laki bukan hanya sebagai pencari nafkah keluarga.
ADVERTISEMENT

C. Kanada

Pada 2017, pasangan Kanada mengklaim putra mereka adalah anak pertama yang dibesarkan tanpa gender. Mereka ingin anaknya tumbuh dewasa dan melepaskan diri dari stereotip gender dari lingkungan sosialnya. Mereka percaya bahwa stereotip gender berdampak negatif terhadap perkembangan anak. Orang tua ini percaya bahwa anak-anak harus diberi kebebasan sejak lahir untuk mengekspresikan diri dan mengeksplorasi gender yang lebih mereka minati. Mereka memberinya kebebasan untuk memilih pakaian yang ingin dia pakai, mainan, makanan yang dia makan, serta buku yang ingin dia baca. Orang tua juga mencoba berkomunikasi dengan anak mereka menggunakan pilihan yang lebih universal. Orang tua tidak memilih kata-kata untuk mengatakan bahwa anak mereka adalah perempuan atau laki-laki, juga tidak menggunakan kata ganti she atau he.
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya, masih banyak ketidaksepakatan tentang masalah ini yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Pola asuh bias gender masih diperdebatkan sampai saat ini. Seharusnya dikatakan bahwa pengasuhan orang tua dapat meningkatkan potensi pengetahuan anak, keterampilan dasar sesuai kebutuhan, dan tingkat perkembangannya. Pengenalan gender pada anak usia dini sangat erat kaitannya dengan pola asuh. Anak usia dini merupakan waktu yang tepat untuk menerapkan pendidikan responsif gender untuk memutus mata rantai budaya bias gender sejak dini. Gaya pengasuhan khusus gender dapat dilihat dalam penerapan stereotip, subordinasi, pengucilan, dan kekerasan secara liberal.
Baik masyarakat negara Jepang, Indonesia maupun masyarakat negara timur hidup dalam budaya patriarki. Budaya patriarki membuat kehidupan masyarakat, terutama di ruang publik, didominasi laki-laki. Dalam bidang ekonomi, politik, industri, kesehatan, pendidikan, dan banyak bidang lainnya, masih mudah ditemukan banyak fakta yang mengarah laki-laki mendominasi perempuan. Banyak orang di lingkungan masyarakat yang menganggap metode pengasuhan ini sebagai upaya menjadikan anak mereka transgender, bukan cisgender (gender yang sesuai dengan jenis kelamin anak, misal jenis kelamin laki-laki, maka gendernya juga laki-laki). Sekalipun tujuannya adalah agar anak-anak tumbuh tanpa stereotip gender. Tidak masalah jika laki-laki perlu menangis saat sedih atau jika perempuan perlu menjadi pemimpin, serta stereotip lain yang dianggap sangat merugikan anak menentukan kebebasan bertindak. Nyatanya, pola asuh seperti ini menimbulkan banyak kontroversi dan dianggap bertentangan dengan sifat masyarakat.
ADVERTISEMENT

Daftar Pustaka

Unicef.Gender Responsive Parenting
Unicef.What is Gender Responsive Parenting?