Konten dari Pengguna

Menjembatani Kesenjangan: Urgensi Literasi Keuangan di Era Digital Indonesia

aurelia melinda nisita wardhani
Seorang pengajar di Universitas Sanata Dharma yang memiliki pengalaman dalam pengelolaan keuangan di Lembaga Non Profit. Research yang saya geluti adalah keprilakuan di bidang sistem informasi akuntansi.
14 April 2025 14:34 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari aurelia melinda nisita wardhani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam lanskap keuangan Indonesia yang semakin kompleks, literasi keuangan tidak lagi menjadi kebutuhan sekunder, melainkan kemampuan fundamental yang menentukan ketahanan ekonomi masyarakat. Data terbaru yang diungkap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengisyaratkan fenomena mengkhawatirkan—beberapa kota di Indonesia belum pernah tersentuh program literasi dan inklusi keuangan. Fenomena ini menggambarkan kesenjangan informasi yang berpotensi memperlebar jurang ketimpangan ekonomi nasional.
ADVERTISEMENT

Tantangan di Balik Statistik

Transformasi digital yang berlangsung secara masif di sektor keuangan Indonesia telah menghasilkan paradoks menarik. Di satu sisi, teknologi financial memungkinkan akses yang lebih luas terhadap produk dan layanan keuangan. Namun di sisi lain, percepatan inovasi ini tidak diimbangi dengan pemahaman masyarakat tentang risiko dan konsekuensi dari produk keuangan yang mereka gunakan.
Kasus penyebaran produk investasi berisiko tinggi kepada konsumen yang tidak tepat—seperti yang disinggung dalam pernyataan OJK—adalah bukti nyata kesenjangan tersebut. Pertumbuhan exponensial platform investasi digital dan crypto currency, misalnya, membuka akses terhadap instrumen keuangan kompleks bagi kalangan yang belum tentu memahami mekanisme dan risikonya. Tanpa literasi keuangan yang memadai, kondisi ini berpotensi menciptakan gelembung ekonomi atau, lebih buruk, krisis kepercayaan terhadap sistem keuangan.
ADVERTISEMENT

Mengevaluasi Pendekatan Edukasi Keuangan

Langkah OJK meningkatkan program literasi dan inklusi keuangan patut diapresiasi, namun pendekatan yang diambil perlu dikritisi secara konstruktif. Pembentukan Task Force dan Champion Manager sebagai perpanjangan tangan di daerah memang bisa memperluas jangkauan, tetapi efektivitasnya sangat bergantung pada desain program yang tidak sekadar menjangkau, tetapi juga menyentuh aspek behavioral finance masyarakat.
Kolaborasi antara OJK dengan CFO Club Indonesia menggambarkan penerapan pendekatan multi-stakeholder dalam edukasi keuangan. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah efektivitas model "trickle-down education" semacam ini dalam mengubah perilaku keuangan masyarakat secara luas. Pengalaman menunjukkan bahwa program literasi keuangan yang terlalu generik cenderung kurang efektif dalam menghasilkan perubahan perilaku yang signifikan.
Ilustrasi edukasi keuangan (Sumber Gemini)

Urgensi Pendekatan Tematik yang Kontekstual

Penjelasan OJK tentang pendekatan tematik untuk edukasi keuangan—dengan membedakan strategi untuk tabungan, investasi, asuransi, dan produk kripto—mengindikasikan pemahaman tentang kompleksitas lanskap keuangan kontemporer. Implementasi yang efektif membutuhkan lebih dari sekadar diferensiasi. Pendekatan kontekstual yang mempertimbangkan karakteristik sosial-ekonomi, tingkat pendidikan, dan nilai budaya dari kelompok masyarakat target dapat meningkatkan efektivitas program.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, strategi edukasi untuk pengguna kripto di kalangan milenial urban tentu berbeda dengan edukasi keuangan dasar untuk petani di pedesaan atau pekerja informal di perkotaan. Tanpa kontekstualisasi ini, program literasi keuangan berisiko menjadi tidak relevan atau, lebih buruk, memperkuat persepsi bahwa pengetahuan keuangan adalah "privilege" kelompok sosial tertentu.

Tantangan Regulasi di Era Digital

Program literasi keuangan tidak bisa dipisahkan dari tantangan regulasi di era digital. Pernyataan OJK tentang pemantauan aktivitas pemasaran produk keuangan, termasuk kripto, mengindikasikan kesulitan regulator untuk menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan konsumen. Pertanyaan krusialnya: bagaimana menghasilkan kerangka regulasi yang cukup fleksibel untuk mengakomodasi inovasi, namun tetap memberikan perlindungan yang memadai?
Sementara banyak negara masih mencari model ideal untuk regulasi crypto dan fintech, Indonesia memiliki kesempatan untuk mengembangkan pendekatan yang lebih terintegrasi—menggabungkan regulasi prudensial, literasi keuangan, dan perlindungan konsumen dalam satu kerangka kebijakan yang koheren.
ADVERTISEMENT

Pendidikan Keuangan Sebagai Fondasi Perekonomian Nasional

Komitmen OJK untuk mendorong edukasi keuangan yang lebih mendalam ke dunia pendidikan merupakan investasi jangka panjang untuk ketahanan ekonomi nasional. Pihak OJK sendiri menyatakan bahwa kemampuan mengelola keuangan adalah "esensial life skill." Transformasi pengetahuan menjadi keterampilan hidup membutuhkan lebih dari sekadar transfer informasi—diperlukan pendekatan sistemik dalam cara memandang dan mengajarkan pengetahuan keuangan.
Modul edukasi yang dipersiapkan berdasarkan kurikulum per wilayah, seperti yang dijanjikan OJK, adalah langkah dalam arah yang tepat. Tetapi agar benar-benar transformatif, pendidikan keuangan perlu diintegrasikan secara holistik ke dalam kurikulum nasional—tidak sekadar sebagai subject matter, melainkan sebagai perspektif yang mewarnai berbagai mata pelajaran.
Program literasi keuangan yang efektif tidak cukup hanya membekali masyarakat dengan keterampilan teknis mengelola uang, tetapi juga kemampuan kritis untuk mengevaluasi produk dan layanan keuangan dalam konteks kebutuhan personal dan nilai sosial. Di era dimana boundary antara layanan keuangan dan platform digital lainnya semakin kabur, literasi keuangan perlu mencakup pemahaman tentang ekonomi data dan dampak sistemik dari keputusan keuangan individual.
ADVERTISEMENT
Sebagai ilustrasi, mengajarkan masyarakat tentang investasi crypto tidak cukup dengan menjelaskan mekanisme blockchain atau potensi return, tetapi juga membangun kesadaran kritis tentang implikasi sosial, ekonomi, dan lingkungan dari teknologi tersebut. Pendekatan ini akan menghasilkan konsumen keuangan yang tidak sekadar "melek finansial" tetapi juga "etis secara finansial."

Kesimpulan: Dari Literasi ke Keberdayaan Keuangan

Program peningkatan literasi dan inklusi keuangan yang dilakukan OJK merupakan langkah strategis yang dapat dikembangkan menjadi agenda yang lebih luas—transformasi dari sekadar literasi menjadi keberdayaan keuangan (financial empowerment). Kolaborasi dengan berbagai stakeholder, termasuk CFO Club Indonesia, menunjukkan adanya kesadaran terhadap kompleksitas tantangan ini.
Kedepan, keberhasilan program literasi keuangan dapat diukur tidak hanya dari jumlah wilayah atau individu yang terjangkau, tetapi juga dari transformasi perilaku keuangan dan peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat. Pendekatan tematik, kontekstual, dan analitis dalam edukasi keuangan menjadi faktor penting untuk menjembatani kesenjangan dan membangun fondasi ekonomi nasional yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
ADVERTISEMENT