Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Mengurangi Sampah Plastik: Tanggung Jawab Industri atau Individu?
8 Januari 2025 15:19 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Aurellia Sophia Salsabila tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
“Maaf Kak, sekarang kami sudah tidak menyediakan kantong plastik yaa.” Kalimat tersebut belakangan sering kita dengar saat membayar di kasir di Kota Yogyakarta. Siapa sangka, ternyata sikap masyarakat Indonesia tentang penggunaan plastik di diplomasi global cenderung bertolak belakang. Padahal, kerugian yang ditimbulkan oleh sampah plastik sudah tidak lagi terbantahkan, bahkan semakin parah.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini, Istilah Jogja Darurat Sampah plastik masih relevan. Tumpukan sampah di pinggir dan sudut jalan menjadi pemandangan yang tidak terpisahkan dari keseharian warga, terutama di Kota Yogyakarta, Sleman, dan Bantul. Dampak penutupan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA ) Sampah di Piyungan pada 1 Mei 2024 lalu belum juga dapat terselesaikan.
Masalah sampah yang terus berlanjut yang akhirnya mendorong Pemerintah Kota Yogyakarta mengeluarkan kebijakan khusus tentang penggunaan sampah plastik yang menjelaskan tentang Pengurangan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Pemkot Yogyakarta resmi melarang para pengusaha menyediakan plastik sekali pakai, seperti dalam bentuk tas belanja atau kemasan makanan.
Kota Yogyakarta bergabung bersama lebih dari 40 daerah lain yang telah memiliki kebijakan khusus tentang membatasi penggunaan plastik. Namun, banyak nya kebijakan baru sebatas pada penggunaan kantong plastik di perkotaan besar. Sementara kebijakan itu belum berlaku di pasar tradisional, toko kelontong sampai warung-warung kecil.
ADVERTISEMENT
Kebijakan yang diambil oleh beberapa daerah ini sama dengan rencana pengurangan sampah oleh produsen. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menargetkan beberapa jenis plastik tidak lagi digunakan mulai akhir 2029, yaitu styrofoam untuk kemasan makanan, alat makan plastik sekali makan, sedotan plastik, hingga kantong belanja plastik.
Untuk mencapai target tersebut setidaknya sudah ada dua kebijakan untuk memastikannya yaitu terdapat di Undang-Undang yang menjelaskan tentang Pengelolaan Sampah dan Permen LHK dengan data yang disajikan ada banyaknya lembar sampah kantong plastik yang dibuang diantaranya berakhir di Tempat Pemrosesan Akhir. Belum lagi jutaan batang sedotan plastik dipakai setiap hari di Indonesia yang menjadi sampah tidak terolah.
Masalah Global
Indonesia bukan satu-satunya negara yang menghadapi persoalan sampah plastik. Sampah plastik juga menjadi masalah global yang terus membesar, dan akhirnya dikategorikan darurat, di bumi ini. Menurut data United Nations Environment Programme (UNEP), adanya jutaan sampah plastik bocor mencemari danau, sungai, dan laut.
ADVERTISEMENT
Sekalipun telah ada upaya yang dilakukan untuk mengelola sampah plastik, tetapi kebocorannya ke lingkungan juga cenderung membesar. Hal ini karena produksi terus meningkat. Selain itu melalui pengiriman sampah plastik melalui perdagangan ekspor-impor, plastik yang masuk ke lautan atmosfer bisa terbawa ke hampi seluruh bagian bumi. Sifatnya yang lintas batas ini membuat cara untuk mengatasi polusi ini butuh kerja sama dan perjanjian internasional.
Maka, Perserikatan Bngsa-bangsa (PBB) melalui United Nations Environment Assembly mulai 20222 melalui inisiatif pembahasan perjanjian plastik global dengan tujuan utama mengurangi polusi plastik, termasuk polusi laut dan mikroplastik. Proses untuk mencapai tujuan tersebut dimulai November 2022, ketika Komite Negoisasi Antarpemerintah (INntergovermental Negotiating Committeee atau INC dijatuhkan.
INC adalah sebuah pertemuan dengan tujuan mengembangkan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang polusi plastik. INC sudah lima kali dilaksanakan yaitu, di Uruguay, Prancis, Kenya, Kanada dan terakhir di Busan, Korea Selatan pada akhir November hingga awal Desember tahun 2024. Pertanyaannya, kesepakatan apa yang telah tercapai setelah lima kali dilaksanakan INC, mengingat sampah plastik telah dianggap sebagai masalah global? Dan seberapa penting peran Indonesia dalam pencapaian kesepakatan mengingat di dalam negeri begitu aktif mengeluarkan regulasi setelah menghadapi dampak luar biasa dari sampah plastik? jawaban dua pertanyaan itu sudah ada. Pertama INC-5 gagal menghasilkan kesepakatan apapun dan kedua Indonesia tidak berperan apapun karena justru mengambil posisi menentang upaya pengurangan produksi plastik.
ADVERTISEMENT
Kepentingan ekonomi
Dua jawaban tersebut membuat kita perlu mengecek ulang, jangan-jangan bahaya sampah plastik hanya sebuah mitos belaka. Sedangkan yang lebih nyata adalah keuntungan ekonomi dari plastik, karena jangan lupa kemasan plastik adalah yang paling simpel dan murah, hingga kita nyaris menganggapnya hal yang “biasa atau lazim atau wajar” kita terima saat membeli atau mengkonsumsi sesuatu.
Bila kembali menengok realitas kedai kopi misalnya, Asosiasi Pengusaha Kopi dan Cokelat Indonesia (APKCI) memperkirakan, pada 2023 jumlah kedai kopi di Indonesia mencapai 10.000 dengan pendapatan dari bisnis kedai kopi diperkirakan akan mencapai Rp 80 Triliun. Demikian juga di Jogja, dimana kedai kopi terus meningkat. Pada 2014 ada 350 kedai, 2015 (600), 2018 (1.100) dan 2019 (3.500). Dapat dibayangkan berapa perputaran uang di bisnis kopi di Jogja, terasa nyata dan menggembirakan.
ADVERTISEMENT
Namun, ternyata di balik perputaran uang juga ada sampah plastik yang dihasilkan. Mulai dari gelas, sedotan, kantong, alat makan. Satu gelas kopi yang sudah kosong menghasilkan 8,5 gram sampah. Data kedai kopi di Yogyakarta, rata-rata terjual lebih dari 100 gelas per hari atau bisa dikatakan lebih dari 6.000 gelas per tahun. Jadi jumlah sampah yang dihasilkan sekitar 510 kg. Pada 2022 rata-rata sampah yang masuk ke TPA Piyungan bisa lebih dari sebesar 700 ton per hari. Data DLHK DIY mencatat diantaranya adalah sampah plastik. bidang perusahaan seperti restoran, kafe dan warung menempati peringkat kedua sebagai penghasil sampah terbanyak di provinsi DIY. Jika melihat situasi pada 2023 hingga 2024, maka Jogja Darurat Sampah itulah yang menjadi situasinya. Kedai kopi ini hanya contoh untuk menggambarkan bahwa dampak sampah plastik di balik manis ekonomi itu ada nyatanya.
ADVERTISEMENT
Jika kita lihat lagi INC-5 di Busan. Sikap negara-negara di acara tersebut telah terbelah menjadi dua kelompok besar, terutama menyangkut tentang pembiayaan dan pembatasan produksi. Di satu pihak, lebih dari 100 negara yang hadir setuju untuk mengajukan proposal perjanjian, dengan salah satu isi di rancangan perjanjiannya adalah tentang penetapan target global untuk “mengurangi produksi polimer plastik primer ke tingkat yang berkelanjutan”. Proposal yang diajukan tersebut juga mengharuskan negara-negara anggota untuk melaporkan kemajuan setiap lima tahun.
Sedangkan delegasi dari negara-negara produsen kimia, seperti Arab Saudi dan Rusia, berupaya mencegah perjanjian agar tidak membatasi produksi plastik, terutama terkait pembatasan produksi dan pengaturan bahan kimia tertentu dalam plastik. Negara-negara ini didukung oleh produsen plastik, seperti India, yang cenderung membatasi upaya polusi plastik dengan intervensi sektor hilir, seperti pengelolaan sampah dan daur ulang.
ADVERTISEMENT
Negara-negara penghasil minyak tersebut menolak pembatasan produksi karena hal itu dianggap bisa mengganggu kepentingan ekonomi mereka. Pembatasan produksi plastik dinilai bisa mengganggu produksi minyak dan gas karena bahan baku plastik terutama dari bahan baku fosil. Perbedaan mendasar ini telah berlangsung tanpa ujung sejak INC-1 hingga INC-5.
Indonesia pada saat ini cenderung tidak mendukung pembatasan produksi plastik. Dalam dokumen yang dimasukkan delegasi Indonesia kepada ketua INC disebutkan, “Dengan realitas yang ada, di mana kebutuhan produk plastik per kapita masih cukup rendah dibandingkan secara global, mengurangi produksi plastik nasional bukanlah solusi. Selain itu, khawatir dengan upaya pengurangan produksi plastik tanpa bahan pengganti yang lebih baik tidak akan efektif dalam mengurangi dampak lingkungan”.
ADVERTISEMENT