Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.101.0
Konten dari Pengguna
Transformasi Flying Geese Model: Manufaktur ke Ekonomi Digital di Asia Pasifik
12 April 2025 9:58 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aurellia Amanda tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Selama puluhan tahun, kawasan Asia Pasifik telah menjadi laboratorium perkembangan ekonomi yang mencengangkan. Salah satu model yang kerap digunakan untuk menjelaskan pola pertumbuhan tersebut adalah Flying Geese Model yang diperkenalkan oleh Kaname Akamatsu. Model ini menggambarkan industrialisasi sebagai proses bertahap, dengan satu negara (biasanya Jepang) memimpin, diikuti oleh negara lain secara berurutan. Namun, di era digital saat ini, dinamika tersebut mengalami transformasi besar. Dari sinilah muncul pertanyaan menarik dalam studi Hubungan Internasional: bagaimana struktur kekuasaan ekonomi berubah ketika logika industrialisasi digantikan oleh logika digitalisasi?
ADVERTISEMENT
Flying Geese dan Teori Dependensia
Dalam teori Hubungan Internasional, khususnya perspektif ekonomi-politik internasional, Flying Geese Model dapat dikaitkan dengan teori dependensia. Model ini menunjukkan bagaimana negara-negara berkembang “mengikuti” negara maju dalam lintasan pembangunan ekonomi. Jepang sebagai negara pemimpin (core) memindahkan industrinya ke negara lain seperti Korea Selatan, Taiwan, lalu negara-negara ASEAN, menjadikan negara-negara tersebut semi-periferal dan perifer dalam sistem kapitalis global. Terjadi transfer teknologi dan investasi, tetapi juga ketergantungan baru terhadap pusat inovasi dan modal asing.
Namun, saat ekonomi digital mulai mendominasi, model dependensia tersebut mulai terkikis. Negara-negara seperti India dan Indonesia mampu menciptakan center of innovation sendiri melalui pengembangan ekosistem digital lokal. Hal ini sesuai dengan pendekatan Neo-Gramscian, yang menyoroti pentingnya ide dan kekuasaan dalam membentuk struktur produksi global yang baru.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus India: Melompat Lewat Digital
India adalah contoh paling kuat dari negara yang tidak mengikuti formasi angsa secara konvensional. Alih-alih mengandalkan manufaktur sebagai tulang punggung ekonomi seperti China, India justru berkembang lewat sektor jasa dan teknologi digital. Program “Digital India” yang diluncurkan pada 2015 berhasil menciptakan sistem infrastruktur digital yang kuat, seperti Aadhaar (identitas digital), sistem pembayaran digital (UPI), dan transformasi layanan publik melalui platform digital.
India juga menjadi rumah bagi ratusan startup teknologi dan unicorn, menjadikannya salah satu pemain utama dalam ekonomi digital global. Dengan demikian, India menjadi “angsa” yang tidak mengikuti formasi, tetapi menciptakan jalurnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa dalam tatanan global yang baru, negara bisa menghindari ketergantungan struktural jika mampu mengembangkan kapasitas digital dan inovatif secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Studi Kasus Indonesia: Dalam Transisi
Indonesia juga berada dalam proses transisi menarik. Sebagai bagian dari negara pengikut dalam model Flying Geese lama, Indonesia banyak menerima relokasi industri dari Jepang dan China. Namun, dalam dekade terakhir, Indonesia mulai memperkuat posisi dalam ekonomi digital. Pemerintah meluncurkan berbagai inisiatif seperti “100 Smart Cities”, “Gerakan Nasional Literasi Digital”, dan investasi besar-besaran dalam perluasan internet di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Dengan munculnya unicorn lokal seperti Gojek, Tokopedia, dan Traveloka, serta meningkatnya investasi dari raksasa digital global seperti Google dan Alibaba, Indonesia tidak lagi hanya menjadi basis produksi, tetapi juga pusat konsumsi dan inovasi digital. Namun, tantangan tetap ada: ketimpangan akses, kurangnya talenta digital, dan regulasi yang belum adaptif.
ADVERTISEMENT
Perspektif Teori HI: Realisme vs Liberalisme
Dari kacamata realisme, transformasi ini tetap menunjukkan persaingan kekuasaan. China dan Amerika Serikat bersaing untuk mendominasi infrastruktur digital di Asia Pasifik, baik melalui jalur investasi (seperti Belt and Road Initiative versi digital) maupun kontrol atas platform dan data. Negara-negara di kawasan pun terpaksa memilih atau menyeimbangkan antara dua kutub kekuatan tersebut.
Sebaliknya, pendekatan liberalisme melihat transformasi ini sebagai peluang bagi kerja sama dan integrasi. Platform digital lintas negara, aliansi teknologi, dan forum kerja sama seperti APEC Digital Economy Steering Group menjadi bukti bahwa keterbukaan dan interdependensi masih menjadi ciri khas kawasan.
Menuju Model Baru: Flying Geese 2.0
Dalam dunia digital yang cepat dan tidak linear, Flying Geese Model perlu direkonstruksi. Tidak semua negara harus mengikuti urutan yang sama. Beberapa dapat “melompat” melalui inovasi teknologi dan digitalisasi. Formasi tidak lagi hierarkis dan vertikal, melainkan berbasis pada jaringan kolaboratif.
ADVERTISEMENT
Misalnya, kerja sama antara India dan Indonesia dalam pengembangan financial technology, atau antara Jepang dan ASEAN dalam transformasi digital UMKM, menunjukkan adanya struktur baru yang lebih horizontal. Ini bisa disebut sebagai Flying Geese 2.0—di mana kepemimpinan tidak tunggal, dan kolaborasi menjadi kunci.
Penutup
Transformasi Flying Geese Model di Asia Pasifik mencerminkan pergeseran fundamental dalam ekonomi politik global. Di tengah tantangan geopolitik, negara-negara di kawasan ini tidak lagi hanya sebagai pengikut, tetapi berpotensi menjadi inovator. Melalui digitalisasi, mereka bisa menciptakan jalur pertumbuhan sendiri, melampaui batas-batas formasi lama. Dalam konteks teori HI, ini menunjukkan bahwa struktur internasional terus berubah—dan dalam era digital, yang tercepat, bukan yang terbesar, yang akan memimpin.