Konten dari Pengguna

Kebijakan Visa Schengen: Pisau Bermata Dua bagi Kedaulatan Wilayah

Aurellia Angelie Shalum
Merupakan mahasiswa jurusan Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia
1 November 2023 14:11 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aurellia Angelie Shalum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Visa Schengen Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Visa Schengen Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Uni Eropa merupakan sebuah organisasi antar pemerintah dan juga sebuah entitas supranasional dengan otoritas dan kemampuan yang melampaui kerja sama antar negara anggota.
ADVERTISEMENT
Sebagai organisasi supranasional, negara-negara anggota sepakat untuk mengorbankan sebagian kedaulatan nasionalnya untuk menciptakan kekuatan dan pengaruh kolektif yang lebih besar di banyak bidang dan aspek kehidupan, termasuk mencakup aspek-aspek penting seperti pergerakan bebas modal, barang, jasa, dan manusia.
Melalui Perjanjian Schengen dan Konvensi Schengen, Uni Eropa telah berupaya untuk menghilangkan kontrol perbatasan di wilayahnya, sehingga memungkinkan warga negara Uni Eropa dan pemegang Visa Schengen untuk melakukan perjalanan dengan bebas kontrol.
Hal ini merupakan sebuah pergerakan yang telah dirancang untuk warga Eropa agar dapat bebas berpergian di negara anggota Uni Eropa mana pun. Namun, pada tahun 1985 hal ini pun mulai berkembang ketika para pemerintah Jerman, Prancis, Belgia, Belanda, dan Luksemburg menyepakati penghapusan pemeriksaan di perbatasan antarnegara.
ADVERTISEMENT
Perjanjian ini dikenal sebagai Perjanjian Schengen yang ditandatangani pada tahun 1990. Kemudian, pada tahun 1999, Perjanjian Schengen ditetapkan sebagai bagian dari mekanisme Uni Eropa melalui Perjanjian Amsterdam (Ashari, 2015: 390).
Visa Schengen memungkinkan seseorang untuk bepergian ke berbagai negara anggota wilayah Schengen dengan zona bebas paspor yang mencakup Sebagian besar wilayah Eropa, terdiri dari 23 negara Uni Eropa dan 4 negara anggota non-Uni Eropa yang tergabung dalam EFTA: Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss.
Bulgaria, Siprus, dan Rumania, meskipun anggota Uni Eropa, belum menjadi bagian dari Kawasan Schengen tetapi memiliki kebijakan visa yang sebagian didasarkan pada perjanjian Schengen. Warga negara dari negara-negara tertentu diwajibkan untuk memiliki visa pada saat kedatangan atau transit.
ADVERTISEMENT
Warga negara dari beberapa negara harus memiliki visa transit bandara ketika transit melalui bagian internasional bandara yang terletak di salah satu Negara Schengen. Terdapat pengecualian nasional dari persyaratan visa untuk wisatawan tertentu.
Kebijakan visa Schengen telah menimbulkan sejumlah implikasi yang rumit. Uni Eropa secara khusus telah mengalami pergolakan yang besar dalam satu dekade terakhir terkait dengan masalah ini. Salah satunya adalah minimnya kontrol perbatasan internal di Schengen telah membuat permasalahan baru, kebebasan pelaku tindak kejahatan untuk berpindah.
Kondisi ini menjadi kekhawatiran bagi negara-negara Schengen karena besarnya kemungkinan perpindahan pelaku kriminal dengan mudah dan menimbulkan tindakan kriminal di negara-negara Schengen lainnya. Hal ini selanjutnya akan membentuk isu krisis ketidakamanan dalam wilayah Schengen.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2015, terjadi gelombang krisis imigran di Eropa. Negara-negara dilanda konflik seperti Irak, Suriah, Afghanistan menuju ke negara-negara Eropa yang menjadi pintu masuk bagi imigran seperti Italia, Yunani, dan Hungaria.
Bendera Uni Eropa. Foto: AFP
Tingginya gelombang imigran ini membuat negara-negara tersebut kewalahan untuk menerima imigran, yang mana hal ini membuat Uni Eropa membuat kebijakan imigran yang dinilai cukup kontroversial.
Uni Eropa mengeluarkan Council Decision (EU) 2015/1523 tentang pembagian beban imigran secara merata ke semua negara anggota Uni Eropa dan kuota imigran di setiap negara disesuaikan dengan kondisi ekonomi dan kemakmuran masing-masing (Sugito, 2021). Tentu saja kebijakan ini menimbulkan dua kubu, kubu menerima (Jerman, Austria, dan Swedia) dan menolak (negara-negara Eropa Timur).
ADVERTISEMENT
Menurut teori migrasi transnasional seorang individu pindah ke negara lain tidak hanya membawa fisik, tetapi membawa fenomena di baliknya. Artinya adalah ada sebuah fenomena baik itu ekonomi, politik, pekerjaan atau lainnya yang menyebabkan individu tersebut berpindah tempat tinggal. Individu tersebut menetap di negara lain dan tetap terhubung dengan daerah asalnya. Namun ada juga yang benar-benar menetap di negara lain.
Kemudian, Rumania dan Bulgaria mengajukan diri untuk menjadi bagian dari Kawasan Schengen. Dengan mereka menjadi bagian dari Kawasan Schengen, ada kebijakan kebebasan bergerak yang masyarakatnya bisa nikmati.
ADVERTISEMENT
Namun, tawaran mereka untuk bergabung dengan Kawasan Schengen ditolak mentah-mentah oleh Austria, mengingat banyak sekali imigran ilegal yang menghampiri kedua negara tersebut. Dikutip dari CNBC Indonesia, menurut Austria, apabila Rumania dan Bulgaria diizinkan untuk masuk ke Kawasan Schengen, Kawasan Schengen akan banyak menerima imigran ilegal.
Selain itu permasalahan mobilitas kriminal bahkan teroris menjadi permasalahan. Misalnya, kita bisa merujuk pada serangkaian tindakan teror di Paris yang diprakarsai oleh kelompok teroris di Belgia. Dari kelompok ini, muncul pelaku bom bunuh diri di Bandara Brussel dan stasiun kereta bawah tanah Maalbeek di Belgia.
Demikian pula, dalam kasus serangan teror di Berlin, pelaku aksi tersebut berhasil melarikan diri dengan menggunakan kereta api ke Italia sebelum akhirnya dihadapi dan ditembak mati oleh polisi di Italia. Para pelaku serangan teror justru semakin leluasa bergerak melintasi batas-batas negara dalam zona tersebut.
ADVERTISEMENT
Akibatnya timbul sejumlah pemberontakan termasuk di Italia. Para pendukung sayap kanan menganggap bahwa perjanjian ini malah membuka pintu sebesar-besarnya bagi teroris dan kriminal. Bahkan Presiden Komisi Eropa pun juga tak luput dari banjir hujatan. Ia menerima pernyataan b
ahwa open border dalam visa Schengen menjadi penyebab terjadinya serangan tersebut (Saputro, 2017). Kasus-kasus inilah yang membuat Inggris dan Irlandia tidak ingin bergabung dengan kawasan Schengen, dan memutuskan untuk menjaga perbatasan negara mereka sendiri. Belum ada yang bisa meyakinkan kedua negara ini untuk membuka diri untuk menjadi bagian dari Schengen.
Dalam konteks kebijakan visa schengen teori migrasi transnasional menjadi relavan untuk dijadikan sebagai landasan pendapat. Teori ini mengakui bahwa banyak migran, terutama dalam konteks globalisasi, menjalin koneksi yang kuat dengan negara asal mereka serta dengan negara tempat mereka tinggal.
Ilustrasi pengajuan Visa Schengen Foto: Shutter Stock
Pada perkembangannya seperti yang terjadi di negara-negara UE bahwa dengan kemudahan kebijakan visa Schengen, seorang turis dapat menggunakan satu visa ke banyak negara di UE. Banyak sekali warga negara asing yang justru kebablasan dengan kemudahan tersebut, sehingga menyebabkannya pembludakan migran yang berlebihan di negara-negara UE.
ADVERTISEMENT
Seiring dengan perkembangan glibalisasi maka tututan dalam berbagai bidang menjadi lebih kompleks dan mengharuskan individu tersebut untuk bermigrasi ke luar negeri namun tetap dengan relasi yang kuat dengan negara asal individu tersebut.
Kebijakan visa Schengen memberi kebebasan bergerak di Eropa, tetapi memiliki implikasi rumit. Kontrol perbatasan yang longgar meningkatkan risiko perpindahan pelaku kriminal. Selama krisis imigran 2015, perselisihan muncul karena negara-negara Eropa
menghadapi gelombang imigran, dan beberapa anggota menentang kebijakan distribusi imigran. Meskipun Rumania dan Bulgaria ingin bergabung dengan Schengen, Austria menolak karena khawatir tentang imigran ilegal.
Selain itu, Schengen mempermudah pergerakan narapidana dan meningkatkan risiko terorisme di seluruh wilayah. Beberapa negara, seperti Inggris dan Irlandia, lebih memilih menjaga perbatasan mereka sendiri sebagai respons atas isu-isu ini.
ADVERTISEMENT
Artikel opini ini ditulis oleh sekelompok Mahasiswa Universitas Kristen Indonesia yang beranggotakan Aurellia Angelie Shalum, Bonefasius Fransisco da Santos Dheo, Meimbarasi Irene C. Wau, Mikaila Acelin Sayidina, Lara Vonny Eugene Simatupang, dan Renny Rosa Rahabav.