Konten dari Pengguna
Pajak Karbon Ditunda: Bentrok antara Kepentingan dan Komitmen
8 Juni 2025 13:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
Kiriman Pengguna
Pajak Karbon Ditunda: Bentrok antara Kepentingan dan Komitmen
Pajak karbon mengalami penundaan disebabkan karena pengaruh dan kepentingan elemen dalam masyarakat yang tak sejalan dengan tujuan kebijakan. Aurellia Angelie Shalum
Tulisan dari Aurellia Angelie Shalum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Pajak karbon mengalami penundaan beberapa kali. Hal ini terdengar aneh jika kita mempertimbangkan urgensi dari pajak karbon mengingat perubahan iklim menjadi tantangan bagi setiap negara di dunia. Indonesia menjadi salah satu negara yang merasakan dampaknya sekaligus yang berperan besar dalam efek samping perubahan iklim tersebut. Dari tahun 2013 hingga 2022, rata-rata emisi yang dihasilkan oleh Indonesia bisa mencapai 930 juta ton per tahunnya yang setara dengan 19,9% dari total emisi alih fungsi lahan di dunia. Indonesia juga menempati peringkat ke-2 sebagai negara yang menghasilkan emisi terbesar di dunia (Madani, 2023). Umumnya, emisi yang dihasilkan merupakan hasil pembakaran bahan bakar fosil yang kebanyakan menopang industri di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Di samping itu, Indonesia sebenarnya menjadi salah satu negara yang menandatangani Paris Agreement. Indonesia bahkan sudah berkomitmen dalam mengurangi gas emisi rumah kaca dan meratifikasi perjanjian tersebut ke dalam kebijakan domestik salah satunya adalah Undang-Undang no. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Fungsi dari kebijakan pajak karbon ini adalah untuk mengatur tingkah laku pengusaha dan konsumen untuk mencapai industri yang lebih bebas gas emisi dan sebagai pembiayaan bagi pemerintah untuk melakukan penghijauan (Ratnawati, 2016). Di dalamnya telah diatur mengenai pengenaan pajak karbon dan tarifnya. UU HPP mengatur pengenaan pajak dengan tarif minimal Rp30/kg CO₂e atau setara dengan Rp.30.000/ton setelah terjadi penurunan dari usulan awal yaitu Rp.75.000/ton (Ferry et al., 2023). Angka yang dipatok oleh pemerintah ini cenderung sangat rendah bahkan termasuk terendah di dunia dan memiliki potensi ketidakefektifan dalam fungsinya.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari itu, ternyata kebijakan pajak karbon hingga saat ini belum diimplementasikan. Rencana awal dari implementasi pajak karbon adalah pada tahun 2021 tepatnya pada bulan April yang kemudian ditunda hingga 1 Juli 2022. Setelah penundaan tersebut, ternyata muncul penundaan lagi dan rencananya akan diadakan pada tahun 2025. Pemerintah disebutkan mempertimbangkan gejolak sektor enegri global dan kesiapan industri lokal dalam menghadapi pajak karbon (Musthafa, 2024). Tetapi bahkan hingga sekarang, pemerintah belum memperlihatkan niat implementasi pajak karbon secara signifikan. Maka dari itu muncul anggapan bahwa penundaan pajak karbon tidak hanya disebabkan karena pemerintah yang melihat ekonomi dalam negeri yang belum siap tetapi ada aktor lain yang mempengaruhi.
Hambatan pertama datang dari birokrasi. Pemerintah masih belum maksimal mengupayakan usaha dan dukungan kebijakan untuk implementasi pajak karbon. RUU EBET hingga sekarang masih dalam proses yang berlarut-larut selama perencanaanya. Sementara itu Menko Perekonomian Airlangga Hartarto juga secara tidak langsung menormalisasikan penundaan Indonesia dalam pelaksanaan pajak karbon dalam tanggapannya mengenai pemberlakuan Carbon Border Adjusted Mechanism (CBAM) Uni Eropa. Hal ini mencerminkan bahwa ada pola penundaan yang sistematis.
ADVERTISEMENT
Di samping itu kedekatan para pemangku kebijakan dengan pengusaha juga menjadi faktor pemicu penundaan implementasi pajak karbon. Pejabat yang memiliki bisnis akan cenderung tetap mempertimbangkan kepentingannya sehingga bisa menganggu tujuan utama dari dibentuknya sebuah kebijakan. Diketahui bahwa beberapa pengusaha terutama pengusaha yang banyak dipengaruhi oleh industri tambang mengaku bahwa mereka keberatan dengan penerapan pajak karbon. Mereka menyebutkan bahwa bisnis akan dibebankan biaya operasional tambahan jika pajak karbon terlaksana. Ditambah adanya resiko ancaman impor yang lebih murah sehingga mengancam industri lokal (Tjoanto & Tambunan, 2022).
Lebih dari itu, penguasa dari industri batu bara sebesar 85% didukung oleh jaringan politik. Kedekatan ini dapat membelokkan regulasi pemerintah untuk memperlancar bisnis. Struktur oligarkis ini yang akhirnya diutamakan dibandingkan agenda nasional yang menunjukkan kegagalan demokrasi ekonomi di sektor strategis (Singgih, 2022).
ADVERTISEMENT
Selain itu, partai politik di saat yang bersamaan tak memainkan peran banyak dalam upaya mengurangi gas emisi maupun implementasi pajak karbon. Beberapa partai politik justru malah memanfaatkan isu energi untuk kepentingan politik dan menjaga basis pemilih yang terhubung dengan industri intensif karbon. Dinamika politik internal dan kepentingan ekonomi-politik masih mendominasi yang membuat partai politik tak efektif mendukung implementasi pajak karbon. Partai politik yang seharusnya bisa menjadi pihak yang berperan besar dalam mendukung transisi energi malah hanya mendukung transisi energi sebagai formalitas saja. Kalaupun ada partai politik yang mendukung transisi energi, mereka lebih memilih untuk fokus pada Solusi yang kontroversial seperti CCS/CCUS dan gasifikasi batu bara (proses mengubah batubara menjadi gas sintetik seperti SNG dilakukan melalui teknologi gasifikasi) dan tak mempertimbangkan rekomendasi IPCC.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, media menjadi salah satu yang berpengaruh dalam pembentukan kebijakan publik hingga sosialisasi kebijakan itu sendiri termasuk dalam kebijakan pajak karbon. Tetapi ternyata dari 9 media paling popular, hanya 4 yang pernah membahas mengenai kebijakan pajak karbon. Hal ini membuktikan minimnya peran media menjadi pihak ketiga dalam memperlancar penerapan pajak karbon.
Harusnya setiap elemen dalam masyarakat bisa memiliki satu pandangan yang sama yaitu untuk mendukung implementasi pajak karbon. Jika tidak seperti itu, maka baik kebijakan pajak karbon hingga tujuannya yaitu mengurangi gas emisi juga rasanya tidak mungkin terjadi. Sangat penting bagi semua elemen masyarakat untuk menyadari bahwa pengurangan gas emisi rumah kaca sangatlah penting melihat kondisi bumi dan Indonesia sekarang. Jangan sampai ambisi dan kepentingan menjadi faktor penghambat implementasi pajak karbon dan pendorong kehancuran bumi.
ADVERTISEMENT
Artikel ini ditulis oleh Aurellia Angelie Shalum dan Meimbarasi Irene Christyn Wau.
Referensi
Ferry, I., Wijaya, S., & Firmansyah, A. (2023). Edukasi Konsep dan Penerapan Pajak Karbon bagi Mahasiswa. Pengmasku, 3(2), 2023. https://jurnalku.org/index.php/pengmasku/article/view/649
Madani. (2023). Emisi CO2 Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi. Madani. https://madaniberkelanjutan.id/wp%20content/uploads/2023/12/Siaran-Pers%20%20Bersama-5-Desember-2023-Indonesia-Menduduki-Sepuluh-Besar-Penyumbang%20Emisi-Laporan-Global-Carbon-Budget-2023.pdf.%20Accessed%2013%20September%202024
Musthafa, A. (2024). Kebijakan Pajak Karbon terhadap Reaksi Pasar: Studi di Bursa Efek Indonesi. Jurnal Riset Akutansi Mercu Buana, 10. https://doi.org/10.26486/jramb.v10i1.3586
Ratnawati, D. (2016). Carbon Tax Sebagai Alternatif Kebijakan Untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif Emisi Karbon di Indonesia. Indonesian Treasury Review Jurnal Perbendaharaan Keuangan Negara Dan Kebijakan Publik, 1(2), 53–67. https://doi.org/10.33105/itrev.v1i2.51
Singgih, V. (2022). Profil & Peta Koneksi Bisnis dan Politik 10 Oligark Batubara Terbesar di Indonesia di bawah Pemerintahan Jokowi. Project Mutatuli. https://projectmultatuli.org/profil-peta-koneksi-bisnis-dan-politik-10-oligark-batubara-terbesar-di-indonesia-di-bawah-pemerintahan-jokowi/
ADVERTISEMENT
Tjoanto, A. K., & Tambunan, M. (2022). Tantangan dan Strategi dalam Proses Implementasi Kebijakan Pajak Karbon. Jurnal Riset Akuntansi & Perpajakan (JRAP), 9(02), 237–248. https://doi.org/10.35838/jrap.2022.009.02.20

