Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
'Naura & Genk Juara' dan Mereka yang Memprotesnya
6 Desember 2017 19:55 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:13 WIB
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mungkin agak terlambat untuk membicarakan soal film 'Naura & Genk Juara'. Namun, untuk membicarakan soal literasi audiovisual, rasanya tidak pernah ada kata terlambat.
ADVERTISEMENT
'Naura & Genk Juara' penting untuk dibicarakan, karena film ini menambah daftar film Indonesia yang diterpa kontroversi saat telah naik tayang di bioskop.
Naura menemani film-film lain, semisal '?' (Hanung Bramantyo, 2011) dan 'Cinta tapi Beda' (Hanung Bramantyo & Hestu Saputra, 2012), yang juga diprotes karena potret ceritanya dianggap mendiskreditkan kelompok agama tertentu.
Polanya nyaris serupa. Dalam film, atribut kelompok tertentu disematkan kepada suatu tokoh, namun atribut tersebut diklaim tidak sesuai dengan realitas. Dalam '?' soal Banser; dalam 'Cinta tapi Beda', soal orang Minang; dan dalam Naura, soal orang Islam.
Dalam film Naura, diceritakan ada komplotan penjahat pencuri satwa. Mereka ditampilkan berjanggut, dan kerap menyebutkan kalimat-kalimat yang lekat dengan ajaran agama Islam, semisal “Astagfirullah” atau “Allahuakbar”. Dalam satu adegan, salah satu dari mereka juga ada yang membaca doa makan.
ADVERTISEMENT
Adegan-adegan itu menyiratkan identitas mereka sebagai orang Islam. Di sinilah kemudian masalahnya. Ada kelompok-kelompok tertentu yang tidak terima bila orang Islam digambarkan sebagai tokoh antagonis. Anggapan mereka, film ini berniat untuk membuat orang Islam tampak seperti penjahat.
Protes tersebut lantas dibalas oleh banyak kalangan. Ada yang berusaha meluruskan bahwa Naura tidak punya niat mendiskreditkan umat Islam. Ada pula yang tidak segan-segan mencemooh pemikiran dangkal para pelaku protes. Muncul guyonan, semisal, “Berarti Planet of Apes juga melecehkan umat manusia!”
Di satu sisi, orang-orang yang memprotes Naura mungkin tidak sepenuhnya mengada-ada. Malah, mungkin mereka punya bakat jadi kritikus film. Mereka cukup jeli melihat detail film. Bahwa fungsi takbir dan istigfar tidak ada gunanya, ada benarnya. Tanpa ucapan-ucapan itu, rasanya, cerita tidak akan ada perubahan apa pun.
ADVERTISEMENT
Namun, memboikot film hanya karena isinya tidak sesuai dengan harapan, jelas bukan suatu hal yang layak untuk dibiarkan. Satu, realitas yang ada di kepala kita berbeda dengan orang lain. Dua, film punya semestanya sendiri yang tidak serta merta mengikuti realitas di dunia nyata. Sudah seharusnya penonton bisa secara bijak membedakan antara gambaran di film dengan realitas di dunia nyata.
Tentu, film bisa membentuk kerangka pikir manusia. Apalagi film-film propaganda, seperti 'Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI', yang diputarkan secara masif untuk penonton dalam skala besar. Tapi untuk Naura, film bioskop yang harus bersaing dengan banyak film lain di bioskop, apa kiranya yang harus dicemaskan?
Naura tidak diputar setiap tahun di televisi, dan tidak wajib ditonton oleh pelajar. Konten yang dianggap berpotensi memberi potret buruk juga terlalu minim. Soal apakah tiga penjahat dalam film merepresentasikan umat Islam juga masih sangat bisa diperdebatkan. Lembaga Sensor Film membela film ini. Dan yang terpenting, film Naura sendiri, secara keseluruhan, sama sekali tidak ada maksud untuk mendiskreditkan orang Islam.
Di sinilah kemudian telunjuk jari berbalik arah. Bila Naura sebetulnya aman-aman saja, siapa yang kemudian bermasalah?
ADVERTISEMENT
Argumen dari para pelaku protes yang malah tampak lebih mencemaskan. Selain soal istigfar dan takbir, ada yang mempermasalahkan tokoh Naura memakai celana pendek. Ada juga yang mempermasalahkan tidak adanya murid yang berjilbab. Pikir mereka, kenapa hanya penjahatnya yang tampak beragama Islam, sementara murid-muridnya tidak?
Pikiran itu sesungguhnya malah melemahkan argumen para pelaku protes--ah, ternyata mereka tidak bakat jadi kritikus.
Mereka lupa bahwa murid-murid di film Naura datang dari daerah yang berbeda dengan para penjahat. Beda asal, beda budaya; dan di negeri yang tidak homogen ini, tentu amat mungkin bila ada sekolah-sekolah yang memang tidak berisikan murid berjilbab. Mengatakan bahwa para murid harus tampak seperti orang Islam, bagi saya pribadi, malah menyiratkan betapa abainya mereka dengan keragaman di negeri ini.
ADVERTISEMENT
Alhasil, isi protes mereka, dengan segala macam upaya pemboikotan yang dilakukan, justru menunjukkan bahwa merekalah yang ingin memaksakan realitas versi mereka. Bukan Eugene Panji dan kawan-kawan.