Soal Perdebatan antara Remotivi dengan Tribunnews

Avicenna Raksa Santana
Dialog sehat yuk~
Konten dari Pengguna
23 Mei 2018 19:50 WIB
comment
10
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi baca berita.  (Foto: Thinkstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi baca berita. (Foto: Thinkstock)
ADVERTISEMENT
Selasa (23/5), Remotivi menayangkan tulisan berjudul Bagaimana Tribunnews Membantu Terorisme?. Tak sampai satu hari, Rabu (23/5), tulisan tersebut ditanggapi oleh pemimpin redaksi Tribunnews, Dahlan Dahi, yakni Analisa Muhammad Heychael Soal Tribunnews Cenderung Tendensius, Kasar dan Tidak Fair.
ADVERTISEMENT
Lewat Twitter, tampak Remotivi sangat terbuka dengan perdebatan yang mereka mulai. Entah akan ada tanggapan lebih lanjut dari Remotivi terkait respons Tribunnews atau tidak. Namun, apapun itu, yang pasti Remotivi telah memulai sebuah pembicaraan menarik.
Mereka sukses memancing publik untuk terlibat mendiskusikan sesuatu yang selama ini hanya menjadi selentingan. Unek-unek banyak netizen seakan terfasilitasi oleh kehadiran tulisan dari Muhamad Heychael tersebut.
Tampak, dari balasan twit, baik di akun Remotivi, maupun di Tribunnews, netizen berada di pihak Remotivi. Mereka pun ramai ‘mem-bully’ Tribunnews. Sementara di sisi lain, kritik terhadap Remotivi hanya cenderung menyangkut hal-hal minor, semacam pemilihan judul, ataupun istilah ‘tuyulnya Kompas Gramedia’ yang ada dalam tulisan.
Netizen secara aktif ikut berpartisipasi menunjukkan hal yang mereka anggap sebagai keburukan dari Tribunnews. Mulai dari penyampaian tulisan Tribunnews yang selalu dibuat berhalaman-halaman, hingga judul-judul tulisan yang kerap bersifat click-bait.
ADVERTISEMENT
Salah seorang netizen bahkan mengotak-atik judul tanggapan Tribunnews menjadi, ‘Analisa Muhammad Heychael Soal Tribunnews Cenderung Tendensius, Kasar dan Tidak Fair … Alasan No.4 Bikin Sport Jantung!’
Tak hanya itu, ada pula netizen yang fokus mempersoalkan kesalahan penulisan di artikel Tribunnews tersebut. Mereka mempermasalahkan penggunaan kata tidak baku (‘analisa', harusnya ‘analisis’), tidak adanya tanda koma (,) sebelum ‘dan’, hingga penggunaan kata ‘fair’ yang sebetulnya bisa diganti dengan ‘adil’.
Isi tulisan pun tak lepas dari kritik. Berbagai typo yang bermunculan di sana ditunjukkan oleh netizen. Mulai dari tanda koma (,) yang didahului oleh spasi, hingga kata ‘fair’ yang tidak dimiringkan. Selain itu, bila kita cek, Tribunnews juga salah menuliskan nama Muhamad Heychael. Mereka menulisnya dengan menggunakan 'm' dobel (Muhammad Heychael).
ADVERTISEMENT
Tentu saja, netizen memang suka iseng. Namun, terlepas dari itu, harus dipahami juga bahwa ada alasan di balik keisengan mereka.
Bisa jadi, ada pengalaman kurang menyenangkan dari membaca Tribunnews yang membuat mereka melakukan apa yang mereka lakukan. Kritik dari Remotivi dan respons terburu-buru dari Tribunnews hanyalah jalan bagi mereka untuk meluapkan itu semua.
Terburu-buru dan Defensif
Sulit rasanya untuk tidak mengatakan respons Tribunnews sebagai sesuatu yang terburu-buru. Selain dari penulisan yang banyak keluputan, keterburu-buruan Tribunnews juga tampak dari minimnya hal esensial yang mereka tanggapi.
Alih-alih menghidupkan diskusi, Tribunnews justru merespons tulisan Heychael dengan nada yang defensif. Mulai dari kesimpulan yang meloncat dalam memahami argumen Hechael terkait peran media menggaungkan aksi terorisme; ancaman terselubung dengan membawa-bawa risiko hukum ‘pencemaran nama baik’; hingga narasi yang bernapaskan: “Apa salahnya?” dan “Yang lain juga begitu.”
ADVERTISEMENT
Padahal, tulisan Hechael cukup kuat dalam memaparkan pentingnya sikap bijak dalam menyikapi aksi terorisme. Ia kembali mengingatkan kita bahwa setiap peliputan, seminor apapun itu, berpotensi mengamplifikasi teror.
Dengan terus menerus memproduksi konten terkait teror (yang tak perlu), media hanya memperpanjang napas teror itu sendiri. Apalagi bila narasinya tidak beranjak ke mana pun, dan terus-terusan mengangkat reaksi (selebritis, politikus, dll) atau situasi saat teror. Bukankah yang lebih penting adalah membuat masyarakat segera move on dari teror?
Niat Heychael sebenarnya amat sederhana, yakni mengurai apa yang Tribunnews lakukan saat rentetan teror terjadi di Indonesia. Hal ini ia sebutkan di paragraf terakhir tulisannya:
“Jurnalisme Tribunnews adalah anarki pasar; jurnalisme Tribunnews cuma punya satu saringan: sensasi yang menyedot perhatian. Dengan cara ini, mungkin Tribunnews bermaksud mewadahi segala macam kebutuhan pasar. Namun, dengan berlaku demikian, sesungguhnya Tribunnews tengah memberi teroris apa yang mereka paling inginkan: perhatian dan wadah untuk menyampaikan pesan.”
ADVERTISEMENT
Tentu bisa dimengerti bila Tribunnews merasa terserang--dan itu bagus. Walaupun, yang tampak dari mata saya sebagai pembaca, tulisan Heychael tersebut sebetulnya tidak bermaksud menyerang Tribunnews. Bahkan saya cenderung lebih meyakini bahwa tulisan Heychael itu lebih ditujukan kepada pembaca, ketimbang kepada Tribunnews.
Hal utama yang disasar dari tulisan Heychael, bagi saya, adalah literasi media di masyarakat. Tulisan macam ini bermaksud membuat masyarakat sadar apa yang media perbuat kepada mereka, sehingga masyarakat nantinya bisa menentukan sendiri sumber informasi macam apa yang mereka butuhkan--mencari alternatif.
Opsi media di Indonesia pun perlahan terus bermunculan dan beragam. Tidak ada alasan lagi bagi masyarakat untuk berpasrah diri dihantam konten-konten buruk yang dibuat hanya untuk mencari uang semata.
ADVERTISEMENT
Toh, saat media mengatakan bahwa 'konten (buruk) seperti ini yang disukai banyak orang', ada 'orang-orang lainnya' yang muak dan memilih untuk pergi mencari media lain.
Bukan tidak mungkin, orang-orang yang pergi itu nantinya jauh lebih banyak. Bukan tidak mungkin, dalih 'konten (buruk) seperti ini yang disukai banyak orang' nantinya tidak berlaku lagi. Oh, dan bukankah itu yang kita semua cita-citakan?
Walaupun, satu hal yang disayangkan mungkin adalah kebenaran di balik ucapan Tribunnews ketika mengatakan bahwa mereka bukanlah satu-satunya. Sebab, benar sekali bahwa memang bukan Tribunnews saja melakukan apa yang Heychael kritik lewat tulisannya. Dan yang berkata “Apa salahnya?” pun juga bukan hanya Tribunnews saja.