Konten dari Pengguna

Paradigma Kecelakaan Kerja dari Masa ke Masa

Avinia Ismiyati
ASN Balai Besar Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kementerian Ketenagakerjaan RI. Member of ASNation dan ASNMenulis
19 Januari 2021 12:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avinia Ismiyati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menyambut Bulan K3 Nasional tahun 2021 yang dicanangkan Pemerintah, terdapat beberapa agenda yang disampaikan. Kementerian Ketenagakerjaan sebagai instansi pengusung telah mengeluarkan petunjuk pelaksanaan melalui Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 365 Tahun 2020 dengan tema “Penguatan Sumber Daya Manusia yang Unggul dan Berbudaya K3 Pada Semua Sektor Usaha”. Tujuan dari terselenggaranya Bulan K3 Nasional adalah meningkatkan kesadaran tenaga kerja akan pencegahan kecelakaan kerja hingga terciptanya budaya K3 dan zero accident di tempat kerja. Seiring dengan perkembangan zaman ini apakah tagline “zero accident” tetap relevan? Pandangan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja telah berevolusi dari masa ke masa. Teori keselamatan kerja terus berkembang, berawal dari masa revolusi industri 1.0 melalui penemuan mesin uap, hingga era digitalisasi saat ini yang dikenal dengan revolusi industri 4.0.
ADVERTISEMENT

Keselamatan Kerja di Masa Revolusi Industri

Sumber Foto: Leaves & Beans of History: The Industrial Revolution
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Leaves & Beans of History: The Industrial Revolution
Pada tahun 1769, James Watt menemukan mesin uap. Penemuan ini memungkinkan terjadinya otomatisasi mesin dari yang semula bersumber dari tenaga manusia atau hewan menjadi tenaga uap. Hal ini memicu perubahan besar di sektor industri. Masyarakat yang semula hanya bercocok tanam menjadi masyarakat yang beralih ke industri. Industri yang paling berkembang saat itu adalah industri tekstil. Paul Swuste tahun 2010 dalam tulisannya yang berjudul Safety metaphors and theories, a review of the occupational safety literature of the US, UK and The Netherlands menyebutkan bahwa pada masa ini terjadi perubahan organisasi pekerja, dari yang semula hanya ada hubungan majikan dengan bawahan atau budak menjadi hubungan manajemen dengan pekerja. Teori keselamatan kerja pun mulai muncul, teori yang berkembang pada saat itu adalah The Accident-Proneness Theory, yang menyatakan bahwa pada sebuah populasi tenaga kerja akan ada beberapa pekerja yang cenderung terlibat dalam kecelakaan. Teori ini memandang manusia sebagai faktor penyebab kecelakaan kerja tanpa menjelaskan bagaimana kecelakaan dapat terjadi, sehingga hanya berupa asumsi yang masih meragukan.
ADVERTISEMENT

Teori Domino Kecelakaan Kerja

Sumber Foto: https://risk-engineering.org/concept/Heinrich-dominos
Pada tahun 1931, H.W. Heinrich mengemukakan satu set teorema yang dikenal sebagai 'aksioma keselamatan industri'. Aksioma pertama berhubungan dengan penyebab kecelakaan, yang menyatakan bahwa terjadinya cedera selalu merupakan hasil dari serangkaian faktor yang rumit, yang terakhir dari domino tersebut adalah kecelakaan itu sendiri. Bersamaan dengan itu, ia mempresentasikan model yang dikenal sebagai 'teori domino' karena urutan kecelakaan ini disamakan dengan deretan domino yang saling menjatuhkan satu sama lain. Urutannya adalah: Injuri atau cedera yang terjadi disebabkan oleh kejadian kecelakaan, karena tindakan yang tidak aman dan atau kondisi yang tidak aman. Tindakan dan kondisi yang tidak aman terjadi karena Kesalahan Manusia. Menurut teori ini, kecelakaan merupakan kejadian yang dapat dihindari. menurut Heinrich, dengan menghapus salah satu domino, umumnya perilaku tidak aman (unsafe act). Teori ini memberikan dasar bagi langkah-langkah pencegahan kecelakaan yang bertujuan untuk mencegah tindakan tidak aman atau kondisi tidak aman.
ADVERTISEMENT

Manusia Bukan Satu-Satunya Penyebab Kecelakaan

Swiss Cheese Model, James Reason (1990)
Seiring berkembangnya zaman, fokus penelitian ilmu keselamatan kerja di tahun 1970-an adalah berkembang pula konsep keselamatan di Inggris. Ada beberapa terobosan terhadap keilmuan keselamatan (safety), salah satunya adalah mulai diperkenalkannya konsep multi-kausalitas akan terjadinya kecelakaan. Paul Swuste dalam tulisannya yang berjudul Developments In The Safety Science Domain and in Safety Management From The 1970s Till The 1979 Near Disaster at Three Mile Island tahun 2015 mengemukakan bahwa 'Manusia, bukan lagi penyebab satu-satunya dari kecelakaan yang terjadi, tetapi terjadinya suatu tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman dijelaskan sebagai gejala manajemen yang salah dan bukan sebagai penyebab kecelakaan. Pada pertengahan tahun 1980-an, mulai berkembang studi mengenai human error. Hal ini disebabkan di tahun 1980-an terjadi banyak bencana industri, seperti Bhopal (1984), Chernobyl dan Challenger, (1986); Herald of Free Enterprise dan King's Cross Station (1987) dan Piper Alpha, (1988). Setelah serangkaian bencana dan kecelakaan besar (major accident) terjadi, paradigma human error mulai terbentuk. Guarnieri dalam tulisan yang berjudul From theory to practice: itinerary of Reasons’ Swiss Cheese Model tahun 2015 menyebutkan bahwa di awal tahun 1990-an, psychologist bernama James Reasons bersama dengan ahli nuklir John Wreathall melakukan kolaborasi penelitian, salah satunya Swiss Cheese Model. Sejak awal 1990, Swiss Cheese Model (SCM) telah digunakan secara luas sebagai model referensi dalam etiologi, investigasi atau pencegahan kecelakaan industri.
ADVERTISEMENT

Safety Culture (Budaya K3)

Istilah safety culture berkembang pada masa bencana industri Chernobyl tahun 1986. Pada kejadian di Chernobyl, dua ledakan menyebabkan pelepasan fragmen inti cair dari reaktor nuklir Chernobyl-4 dan produk fisi ke atmosfer. Hal ini tercatat sebagai salah satu kecelakaan tenaga nuklir komersial terburuk dalam sejarah. International Safety Advisory Group (INSAG), advisor untuk International Atomic Energy Agency (IAEA) yang bertugas menginvestigasi kecelakaan Chernobyl, menggunakan istilah "poor safety culture" untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berkontribusi pada kecelakaan Chernobyl. Dari hasil investigasi tersebut terdapat dua poin penting terkait dengan safety culture yaitu, safety culture merupakan “good safety attitudes” yang termasuk di dalamnya “good safety management” dan good safety culture berarti memprioritaskan segala sesuatu terhadap keselamatan. Konsep safety culture semakin berkembang hingga Cooper dalam tulisannya Towards a model of safety culture tahun 2000 menyebutkan manusia dan lingkunganny saling mempengaruhi satu sama lain dalam interaksi dinamis yang berkelanjutan dalam membentuk safety culture (Budaya K3).
ADVERTISEMENT

Konsep Resiliensi Pada Industri 4.0

Berkembangnya digitalisasi mengubah paradigma keselamatan dan kesehatan kerja. Di era industri 4.0 ini, muncul konsep resiliensi. Hollnagel dalam bukunya Resilience Engineering, menyatakan bahwa resilience engineering adalah paradigma dalam manajemen keselamatan yang berfokus pada bagaimana membantu orang mengatasi kompleksitas di bawah tekanan untuk mencapai kesuksesan. Sementara dalam buku Safety I and Safety II, Hollnagel memberikan definisi keilmuan tentang resilience engineering yaitu disiplin ilmiah yang berfokus pada pengembangan prinsip dan praktik yang diperlukan untuk memungkinkan sistem berfungsi secara tangguh. Dengan demikian, resilience engineering dapat didefinisikan sebagai kemampuan sistem untuk mencegah atau beradaptasi dengan kondisi yang berubah untuk mempertahankan (mengendalikan) properti sistem atau kinerja sistem. Pada dasarnya, konsep resilience engineering bergantung pada persiapan untuk adanya gangguan yang tak terduga. Pada konsep ini pandangan pencegahan kecelakaan lebih menekankan kepada “best safety performance” dibandingkan dengan output “zero accident”
ADVERTISEMENT
Perkembangan paradigma keselamatan kerja membuat pemangku kebijakan juga wajib mengubah strategi untuk meminimisasi kecelakaan. Mengubah perilaku individu untuk mengubah komunitas bahkan suatu negara untuk berbudaya K3 memang tidak mudah. Komitmen untuk melindungi diri sendiri, orang lain dan ekosistem diperlukan agar terciptanya budaya K3 di Indonesia. Jika zero accident hanya dijadikan wacana dan hanya sebagai “pemanis” panggung perusahaan, maka tagline “Penguatan Sumber Daya Manusia yang Unggul dan Berbudaya K3 Pada Semua Sektor Usaha” hanya sekedar slogan tak bermakna. Indonesia butuh berubah menuju negara berbudaya K3, menuju “Best Safety Performance”.