Konten dari Pengguna

Kelulut, yang Dulu Dianggap Sebagai Hama Sekarang Mulai Sulit Dijumpai di Alam

Avry Pribadi
1. Bekerja pada Pusat Riset Zoologi Terapan, BRIN 2. Instruktur lebah 3. Guru budidaya lebah
20 Mei 2024 11:06 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avry Pribadi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Madu kelulut yang dihasilkan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat suku Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Riau. Sumber foto: Avry Pribadi (2020)
zoom-in-whitePerbesar
Madu kelulut yang dihasilkan dari kegiatan pemberdayaan masyarakat suku Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh Riau. Sumber foto: Avry Pribadi (2020)
Kelulut atau lebih dikenal dengan lebah tanpa sengat merupakan salah satu kekayaan dan keragaman yang dimiliki Indonesia. Berdasarkan penelitian oleh Trianto dan kawan-kawan di tahun 2023, jumlah kelulut di Indonesia mencapai 52 species. Meskipun sudah sejak lama kelulut banyak dikenal oleh kalangan masyarakat, pemanfaatannya baru dilakukan secara besar-besaran ketika masa pandemi covid 19 menyerang. Karakter madu yang encer dan cenderung asam menjadikan madu ini tidak banyak digemari oleh masyarakat dibandingkan madu yang dihasilkan oleh kelompok lebah bersengat.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, seiring dengan banyaknya penelitian dan kajian yang berusaha untuk mengungkapkan rahasia pada madu yang dihasilkan kelulut, popularitas kelulutpun menjadi naik. Puncaknya adalah ketika masa pandemi covid 19 di mana banyak pemberitaan yang menginformasikan mengenai efektivitas madu kelulut sebagai salah satu obat covid 19. Meskipun sampai sekarang belum ada studi yang secara jelas mendukung klaim pemberitaan tersebut. Beberapa studi dan laporan penelitian menunjukkan bahwa madu kelulut memiliki kandungan antioksidan yang melebihi madu-madu yang dihasilkan oleh lebah bersengat. Terbaru, madu kelulut ternyata memiliki kandungan trehalulose yang dapat digunakan pada pengobatan diabetes.
Selain itu, kemudahan pada aspek budidayanya karena tidak bersengat dan tidak memiliki persyaratan tertentu seperti halnya pada lebah Apis mellifera, juga menjadikan kelulut sebagai primadona baru bagi kalangan masyarakat terutama bagi para pemula yang ingin mencoba membudidayakannya. Dengan segala keunggulan inilah yang menjadikan popularitas kelulut melejit bahkan dibandingkan jenis lebah bersengat yang terlebih dahulu telah diperkenalkan.
ADVERTISEMENT
Padahal dulu kelulut dikategorikan sebagai salah satu serangga hama pada beberapa komoditas perkebunan keras seperti karet. Meskipun tidak dikategorikan sebagai hama mayor yang menyebabkan kerugian yang besar, pelabelan sebagai serangga hama terkadang memiliki konotasi yang negatif. Sifatnya yang gemar bersarang di batang kayu dengan cara melubangi kulit batang dan kemudian membuat lubang di dalam batang sebagai rumah bagi koloninya menjadikan kelulut sebagai salah satu serangga hama yang merugikan. Begitu pula halnya di habitat alaminya di hutan, tidak sedikit pohon-pohon besar dijadikan tempat bersarang bagi kelulut.
Madu kelulut yang menjadi buruan masyarakat ketika covid 19. Sumber foto: Avry Pribadi (2015).
Di saat kita berpikir bahwa kelulut sebagai serangga hama, ternyata di sisi lain, keberadaan rumah kelulut di dalam batang kayu tersebut ternyata dapat menjadi rumah bagi habitat burung yang salah satunya adalah burung Rangkong. Hal ini dimulai ketika orang utan ataupun beruang madu yang datang ke pohon yang terdapat sarang kelulut di dalamnya. Madu dan sarang kelulut merupakan daya tarik luar biasa bagi Orang Utan dan beruang madu untuk datang. Setelah sarang mereka dimakan dan dirusak oleh kedatang dua mamalia besar tersebut, maka pohon tersebut menyisakan suatu rongga besar di batangnya yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh satwa lain sebagai sarangnya yang salah satunya adalah burung Rangkong. Satwa lain yang biasa menggunakannya sebagai tempat bersarang adalah tupai.
ADVERTISEMENT
Ketika kami mulai beternak kelulut tahun 2011 lalu, masyarakat di sekitar kantor kami rela hanya dibayar dengan uang rokok untuk ditebus dengan satu koloni kelulut jenis Heterotrigona itama. Akan tetapi, semenjak covid, permintaan koloni kelulut semakin meningkat secara drastis, bahkan sampai hari ini diperkirakan harga koloni ada yang mencapai Rp 400.000,-. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya perburuan koloni kelulut di alam secara besar-besaran. Selain itu, permintaan masyarakat yang lebih menyukai koloni kelulut yang berasal dari alam (log ori) dibandingkan dengan hasil perbanyakan atau pecah koloni (split colony) semakin menjadikan koloninya di alam semakin tertekan. Bahkan sekarang, para pemburu koloni harus masuk jauh ke dalam hutan untuk mendapatkan koloni kelulut.
Homotrigona fimbriata; salah satu jenis kelulut yang berasal dari kawasan Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Sumber foto: Nur Hajah (2021).
Ada kejadian menarik sekaligus miris ketika tahun 2018 s.d 2021 ketika suatu program pemberdayaan masyarakat melalui budidaya kelulut yang dilakukan oleh salah satu balai Taman Nasional kemudian menjadi semacam bumerang bagi Taman Nasional itu sendiri. Hal ini disebabkan karena masyarakat yang sebagian besar adalah peserta pelatihan justru kemudian beramai-ramai memasuki Taman Nasional untuk berburu koloni kelulut di alam, bukan hanya sekedar untuk mengumpulkan madunya, tetapi juga melakukan aktivitas penebangan pohon hanya untuk mendapatkan koloni kelulut untuk kemudian dijual. Beruntung kemudian, pihak Taman Nasional mengambil langkah yang tepat untuk mencegah meluasnya permasalahan tersebut.
ADVERTISEMENT
Yang cukup disayangkan juga adalah ketika ada salah satu Dinas yang melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan yang salah satunya dengan membagi-bagikan ribuan koloni kelulut yang berasal dari log ori. Dapat dibayangkan, berapa banyak pohon yang ditebang hanya untuk memenuhi permintaan tersebut. Di satu sisi, pada saat itu pengetahuan mengenai perbanyakan koloni belum semaju sekarang. Selain itu, untuk mengumpulkan koloni kelulut dalam jumlah ribuan di waktu yang hampir bersamaan merupakan hal yang cukup mustahil jika mengandalkan perbanyakan koloni. Sehingga berburu log ori di hutan-hutan adalah cara yang dinilai paling cepat dan efektif.
Meskipun aktivitas budidaya kelulut sekarang cenderung menurun pasca pandemi, perburuan koloni kelulut di alam masih terus dilakukan mengingat bagi kelompok masyarakat yang pekerjaannya sebagai pemburu kelulut hal tersebut adalah hal yang paling mudah dalam memperoleh penghasilan dibandingkan budidaya yang membutuhkan waktu. Hal ini tentu saja mengancam populasi alaminya dan bukan tidak mungkin akan berdampak pada satwa lain atau flora lain yang kehidupanya bergantung terhadap kelulut. Misalnya adalah beruang madu dan beberapa jenis flora yang membutuhkan jasa kelulut untuk proses penyerbukannya.
ADVERTISEMENT
Oleh sebab itu diperlukan perubahan cara berpikir terutama bagi para peternak kelulut yang selalu menginginkan koloni liar log ori yang diperoleh dari alam agar mulai melakukan perbanyakan (breeding). Pola pikir yang mengatakan bahwa koloni hasil breeding adalah koloni yang jelek dan tidak kuat harus mulai ditinggalkan. Akan tetapi, hal ini harus pula didukung dengan kesiapan pengetahuan mengenai tehnik perbanyakan koloni kelulut yang sekarang masih dirasa kurang efektif oleh sebagian peternak karena membutuhkan waktu yang relatif lama (3 s.d 6 bulan), memiliki tingkat keberhasilan yang rendah, dan perkembangan koloni yang tidak seperti koloni indukannya. Teknologi lain seperti grafting sel ratu yang meniru sistem kerja pada lebah Apis mellifera juga sudah mulai diperkenalkan 2 tahun kebelakang ini dan masih butuh penyempurnaan. Akan tetapi, inisiasi seperti inilah yang diperlukan untuk menyelamatkan populasi kelulut di alam yang semakin sulit untuk ditemui. ***
ADVERTISEMENT
Avry Pribadi
Peneliti pada Zoologi Terapan, BRIN