Menilik Masa Depan Industri Batu Bara Indonesia

Awaf Wirajaya
Dewan Energi Mahasiswa (DEM) Aceh, Mahasiswa Pascasarjana Ketahanan Energi Universitas Pertahanan, Founder and Executive Director of the Indonesian Energy Security Society (IESS)
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2023 13:57 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Awaf Wirajaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi batu bara Foto: Kurtdeiner/pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi batu bara Foto: Kurtdeiner/pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Batu bara telah memainkan peran yang menarik dalam sejarah Revolusi Industri. Dalam imajinasi populer, revolusi industri adalah batu bara, uap, besi, pabrik kapas, dan kereta api.
ADVERTISEMENT
Dan bagi sejarawan ekonomi generasi sebelumnya—T. S. Ashton, Fernand Braudel, Roy Church, J. H. Clapham, Phyllis Deane, Michael Flinn, dan John Nef—batu bara memang merupakan jantung dari Revolusi Industri (Clark & Jacks, 2007). Salah satu negara pengekspor batu bara terbesar saat ini adalah Indonesia.
Indonesia diberkati dengan kekayaan sumber daya alam yang tersebar di seluruh nusantara. Cadangan minyak, gas, batu bara dan mineral yang kaya, kehidupan kehutanan dan laut ditemukan dari timur ke barat.
Penambangan batu bara di Indonesia mempunyai sejarah panjang yang dimulai pada abad ke-19. Selama masa kolonial Belanda, tambang batu bara bawah tanah skala kecil dikembangkan dan dioperasikan terutama di Kalimantan dan Sumatera.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1947, pertambangan batu bara terus dilakukan dalam skala yang lebih kecil. Namun sebagian besar diabaikan karena fokus pada pengembangan cadangan minyak dan gas negara. Pada tahun 1980-an, pemerintahan Soeharto membuka industri pertambangan bagi investasi asing (Stanford, 2013).
ADVERTISEMENT
Pasca tahun 2000, periode divestasi terjadi di mana sebagian besar tambang besar kini mayoritas dikendalikan oleh entitas Indonesia seperti Bumi Resources dan Adaro Energy yang terdaftar di bursa. Indonesia kini menduduki peringkat sebagai negara pengekspor batu bara termal terbesar di dunia.
Penyediaan energi di Indonesia saat ini masih didominasi oleh energi fosil di mana batu bara menjadi sumber energi yang paling banyak digunakan. Berdasarkan data bauran energi tahun 2020, batu bara mengisi porsi bauran energi sebesar 38,5 persen. Batubara juga menjadi komoditas energi andalan sebagai pendapatan negara melalui ekspor batu bara (Dewan Energi Nasional, 2022).
Ilustrasi tambang batu bara. Foto: REUTERS/Ahmad Masood
Pasokan batu bara nasional didapatkan dari produksi lebih-kurang 1.400 perusahaan yang memiliki izin usaha pertambangan dengan status operasi/produksi.
ADVERTISEMENT
Produksi batu bara nasional tahun 2020 sebesar 563,7 juta ton mengalami penurunan dari produksi tahun sebelumnya. Namun angka ini masih melebihi target produksi batu bara sebesar 550 juta ton yang ditetapkan dalam rencana strategis Kementerian ESDM tahun 2020-2024 melalui Permen ESDM Nomor 16 Tahun 2020.
Dengan menurunnya produksi batu bara dan turunnya harga batu bara acuan (HBA) yang rata-rata mencapai USD 58,17 per ton pada tahun 2020, menyebabkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor minerba mengalami penurunan dari Rp 44,9 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp 34,6 triliun pada tahun 2020.
Rata-rata HBA tahun 2020 mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2019 sebesar USD 77,89 per ton. Apa lagi jika dibandingkan tahun 2018 yang menyentuh level tertinggi yakni USD 98,96 per ton. Rata-rata HBA tahun 2020 juga menjadi yang terendah sejak 2015 yang saat itu masih di level USD 60 per ton.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia terdapat kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yaitu kewajiban perusahaan batu bara untuk menjual sebagian produksinya untuk konsumsi dalam negeri.
Hal ini sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yaitu prioritas batu bara sebagai sumber energi dan jaminan pasokan batu bara untuk kebutuhan dalam negeri.
Konsumen utama batu bara adalah sektor pembangkit listrik kemudian diikuti oleh sektor industri. Tren konsumsi batu bara dalam 5 tahun terakhir menunjukkan peningkatan dari sekitar 86,8 juta ton pada tahun 2015, meningkat menjadi 131,9 juta ton pada tahun 2020 atau tumbuh rata-rata 8,7 persen.
Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Jika dibandingkan dengan konsumsi tahun 2019, konsumsi tahun 2020 menurun sekitar 4,7 persen di mana penurunan yang signifikan adalah pada industri semen, tekstil dan pupuk, sedangkan industri baja, metalurgi dan sektor pembangkit masih meningkat.
ADVERTISEMENT
Ekspor batu bara sepanjang tahun 2015-2020 berfluktuasi dengan ekspor tertinggi pada tahun 2019 sebesar 454,5 juta ton. Ekspor batu bara tahun 2020 mengalami penurunan sebesar 10,9 persen dari tahun sebelumnya yaitu menjadi sebesar 405 juta ton dengan ekspor batu bara terbesar yaitu ke negara China sebesar 127,8 juta ton atau setara 31,5 persen dari total ekspor nasional, disusul India sebesar 24,1 persen.
Pergerakan ekspor batu bara ini dipengaruhi oleh kebijakan kebijakan negara-negara pengguna, seperti India yang meningkatkan pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Maka kebutuhan batu bara tiap tahunnya selalu meningkat.
Begitu juga China sebagai negara dengan penduduk terbanyak, menyebabkan kebutuhan akan batu bara selalu bertambah walaupun China sebanarnya merupakan negara sebagai produsen batu bara juga.
ADVERTISEMENT
Selain mengekspor batu bara, Indonesia juga melakukan impor batu bara untuk memenuhi kebutuhan industri besi dan baja, feronikel dan nickel pig iron (NPI) yang sejak tahun 2015 lalu beroperasi dan bertambah terus seiring kebijakan pemerintah Indonesia yang mengurangi dan melarang ekspor bijih mentah ke luar negeri. Dengan demikian impor batu bara terus meningkat dari 3 juta ton pada tahun 2015 menjadi 8,8 juta ton pada tahun 2020 (Ditjen Minerba, 2021).
Masa depan industri energi sektor batubara di Indonesia yang ditulis oleh Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara yang berjudul Road Map Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara 2021-2045 adalah sebagai berikut:

Menghasilkan Metanol dan DME Melalui Gasifikasi

Ilustrasi tambang batu bara. Foto: REUTERS/Aly Song
Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor LPG, pemerintah melalui penetapan proyeksi Grand Strategy Energi (GSE) mencanangkan program substitusi LPG dengan dimetil eter (DME) yang diproses dari batu bara.
ADVERTISEMENT
DME merupakan bahan bakar cair yang memiliki sifat fisik dan kimia mirip dengan LPG sehingga pemanfaatan DME sebagai substitusi LPG tidak akan mengubah spesifikasi teknik tabung LPG. Selain itu, Indonesia juga memiliki cadangan batu bara kalori rendah dan sedang yang cukup melimpah untuk dioptimalkan sebagai potensi gasifikasi batu bara menjadi DME.

Menghasilkan SNG, Amonia, dan Hidrogen (H2)

Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi cadangan batu bara yang besar dan dapat dimanfaatkan lebih lanjut yaitu menjadi menjadi SNG sebagai pengganti gas alam, amonia, dan hidrogen (H2). Ditambah lagi infrastruktur jaringan distribusi gas alam di beberapa daerah sudah tersedia dan dapat dimanfaatkan untuk pasokan SNG dari batu bara tersebut.

Menghasilkan Bahan Bakar Melalui Pencairan Batu Bara (Coal Liquifaction)

Dalam grand strategy energi (GSE), strategi di masa mendatang diarahkan untuk mengurangi impor gasoline dan memenuhi kebutuhan gasoline dalam negeri. Teknologi pencairan batu bara sejalan dengan strategi ini. Terutama, teknologi pencairan batu bara sudah cukup mapan dan telah diterapkan secara komersial di beberapa negara.
ADVERTISEMENT
Dengan cadangan batubara yang relatif melimpah, arahan strategi pada GSE tersebut dapat dipenuhi melalui pencairan batu bara dan dapat mendukung target lifting minyak dan gas sebesar 1 juta barel per hari.

Briket Batu Bara Terkarbonisasi untuk Industri Kecil/UMKM

Ilustrasi kapal tongkang membawa batu bara di sungai Mahakam. Foto: Aditia Noviansyah/kumparan
Cadangan batu bara Indonesia yang besar belum optimal dimanfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Oleh karena itu, perlu adanya optimalisasi pemanfaatan batu bara terutama batu bara kalori rendah dan fine coal yang mendominasi produksi batu bara dalam negeri.
Salah satu jalan yang dapat ditempuh adalah melalui optimalisasi penggunaan briket batu bara terkarbonisasi bagi industri kecil/UMKM. Briket batu bara terkarbonisasi dapat menjamin ketersediaan energi alternatif bagi industri kecil/UMKM yang murah dan terjangkau.
ADVERTISEMENT

Untuk Industri Metalurgi

Potensi batu bara Indonesia masih sangat besar untuk dapat dimanfaatkan sebagai batu bara metalurgi (kokas). Di samping memiliki batubara yang secara alamiah memiliki karakteristik metalurgi, Indonesia juga memiliki jenis batu bara termal yang dapat direkayasa untuk menghasilkan produk setara semi kokas yang juga dapat dimanfaatkan dalam industri smelter.
Kebutuhan kokas dapat juga dipenuhi menggunakan skenario bio-kokas yaitu dengan mencampur batu bara berperingkat rendah dengan biomassa. Skenario biokokas sekaligus meningkatkan penggunaan biomassa sebagai EBT dan penggunaan batu bara peringkat rendah untuk industri metalurgi.

Melalui Coal Upgrading

Indonesia memiliki 13,38 miliar ton batu bara peringkat rendah atau 35 persen dari total cadangan batu bara Indonesia. Namun, sumber daya batu bara peringkat rendah yang besar ini relatif sulit dipasarkan.
ADVERTISEMENT
Tantangan ini dapat diatasi dengan melakukan upgrading peringkat batu bara sehingga batu bara peringkat rendah yang ada tetap dapat dimanfaatkan lebih lanjut. Selain itu, peningkatan nilai kalor batu bara bermanfaat untuk mengurangi emisi CO2 yang dilepaskan pada saat pembakaran batu bara serta potensi terjadinya swabakar selama transportasi dapat dikurangi.

Menghasilkan Produk Material Maju dan Logam Tanah Jarang (LTJ)

Ilustrasi tambang batu bara Indika Energy. Foto: Indika Energy
Pengembangan batu bara untuk menghasilkan produk material maju (serat karbon, grafit, dan graphene) salah satunya bertujuan untuk mengolah limbah B3 menjadi bahan baku bernilai ekonomi tinggi. Misalnya ter batu bara yang merupakan limbah industri hilir batu bara selama ini masih dianggap sebagai limbah B3. Padahal potensi ter batu bara sebagai bahan baku produk karbon maju terbuka luas.
ADVERTISEMENT
Apalagi material karbon maju memiliki nilai keekonomian yang tinggi. Hal yang sama juga berlaku bagi limbah batu bara berupa fly ash yang biasa dihasilkan dari pembakaran batu bara di PLTU. Fly ash diketahui berpotensi mengandung LTJ (Logam Tanah Jarang) dengan kadar setara pada mineral alami pembawa LTJ.

Untuk Material Agro Industri

Ketahanan pangan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pemenuhan kebutuhan penunjang pangan seperti pasokan pupuk yang baik dan terjangkau, peningkatan kualitas lahan pertanian, dan pemanfaatan sumber daya alamnya.
Sementara itu pemenuhan kebutuhan pupuk nasional ditinjau dari sisi total luas lahan dengan total produksi dan impor pupuk di Indonesia saat ini sangat tidak berimbang. Akibatnya terjadi defisit neraca perdagangan dari sektor pupuk. Untuk itu diperlukan produksi pupuk nasional dari sumber lain yang non konvensional.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, batu bara memiliki kandungan material organik dan non-organik yang memungkinkan untuk dapat dijadikan sebagai pupuk karena unsur hara di dalamnya sangat lengkap. Namun potensi tersebut sejauh ini belum sepenuhnya dikembangkan.

Untuk Kelistrikan: Blending Facility, Cofiring Biomassa, dan Penerapan IGCC

Dalam rangka mendukung ketahanan energi, terutama di bidang kelistrikan dan energi baru (new energy) Indonesia di masa depan, maka perlu disusun program pembangunan fasilitas blending dan cofiring batu bara.
Sistem blending dapat dilakukan antara batu bara peringkat rendah (lignit) dan batu bara peringkat tinggi (bituminus) sesuai dengan spesifikasi parameter kualitas batubara, terutama nilai kalor.
Sedangkan cofiring merupakan proses penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU dengan tetap memperhatikan kualitas bahan bakar sesuai kebutuhan. PLN berencana untuk dapat melakukan cofiring pada 52 lokasi PLTU batubara eksisting sampai dengan 2024.
ADVERTISEMENT

Penerapan CCS/CCUS pada Fasilitas Pengembangan dan Pemanfaatan Batubara

ADVERTISEMENT
Dalam strategi bauran energi yang ditetapkan pemerintah, batu bara akan tetap menjadi bahan bakar utama yang digunakan untuk pembangkit listrik. Namun, penggunaan batu bara sebagai bahan bakar dapat menimbulkan masalah lingkungan sehubungan emisi CO2 yang relatif lebih tinggi dibandingkan bahan bakar fosil lainnya.
Oleh karena itu, pemanfaatan batu bara yang besar harus diimbangi dengan penerapan teknologi pembangkit yang ramah lingkungan untuk mengurangi emisi CO2. Penggunaan clean coal technology pada PLTU batu bara selain mampu mengurangi emisi sekaligus juga menjadi salah satu upaya peningkatan efisiensi energi.
Teknologi batu bara bersih juga dapat diterapkan pada proyek hilirisasi batu bara lainnya. Teknologi batubara bersih yang memiliki potensi besar untuk diterapkan adalah teknologi Carbon Capture and Storage (CCS)/Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS).
ADVERTISEMENT