Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dibalik Reputasi Menjijikan dan Menakutkan Herpetofauna
1 Mei 2024 7:04 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Awal Riyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
(Penulis: Awal Riyanto. Peneliti Madya di Pusat Riset Biosistematik dan Evolusi-BRIN)
Herpetofauna adalah istilah yang disematkan untuk kelompok satwa yang terdiri atas reptil dan amfibi. Reptil adalah satwa yang mempunyai ciri khas berupa kulit yang bersisik, berdarah dingin (poikiloterm) atau adaptasi dengan cara mengatur suhu tubuh sesuai dengan suhu lingkungan, pembuahan (fertilisasi) internal, kebanyakan berbiak dengan bertelur (ovipar) namun adapula sebagian ada yang telur menetas di dalam tubuh sehingga dikira termasuk satwa yang melahirkan (ovovivipar). Secara ilmu taksonomi kelas Reptil terdiri atas empat bangsa yaitu Testudines (kura-kura), Squamata (ular, bunglon dan kadal), Crocodylia atau Crocodilia (buaya), dan Rhynchocephalia (tuatara), bangsa yang terakhir ini tidak terdapat di Indonesia. Adapaun amfibia adalah istilah untuk satwa yang mempunyai ciri khas berdarah dingin, fertilisasi eksternal, pernafasan mengikuti perkembangan metamorfosis dari insang hingga paru-paru. Amfibi sesungguhnya dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata “amphi” yang berarti dua dan "bios" yang berarti hidup. Mudahnya dapat diartikan hewan yang mempunyai dua bentuk kehidupan yaitu di darat dan air. Amfibi terdiri atas bangsa Anura (amfibi tak berekor), Caudata (amfibia berekor) dan Gymnophiona (amfibia tak berkaki). Bangsa yang kedua atau salamander dan newt tidak terdapat di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Banyak pandangan atau pendapat masyarakat tentang herpetofauna dan yang paling umum atau jawaban pertama ketika kita tanyakan adalah menjijikan dan menakutkan. Reputasi negatif ini menyebabkan kebanyakan dari kita ogah ketemu bahkan bernafsu membunuhnya. Kebanyakan orang merasa jijik melihat katak hal ini karena kulitnya yang lembab dan berlendir, bahkan ada yang takut karena beranggapan bila terkena kencingnya bisa menjadi buta. Terhadap ular umumnya merasa takut karena dianggap mengancam keselamatan baik akibat patukan maupun dililit bahkan ditelan, terlebih banyaknya berita kasus korban meninggal akibat patukan king kobra, ular welang dan weling maupun ditelan ular sanca. Anggapan yang sama juga dialami buaya yang selain karena perawakannya yang memang sangar, besar dan kekar dengan gigi yang runcing, ditambah adanya berita kasus-kasus serangan buaya yang berakibat kematian.
ADVERTISEMENT
Padahal dibalik reputasi negatif tersebut banyak sekali manfaat dari herpetofauna bagi hidup dan kehidupan manusia baik secara langsung maupun tak langsung, mulai dari manfaat ekonomi hingga manfaat lingkungan dan jasa lingkungan (ecosystem services) dan bahkan indikator biologis (bioindicator).
1. Manfaat ekonomi/komersil
Adalah manfaat ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan herpetofauna. Manfaat ini dapat melalui kegiatan perdagangan maupun wisata. Manfaat ekonomi dari perdagangan diperoleh dengan transaksi jual beli herpetofauna karena beberapa bagian tubuh seperti kulit ular sanca, ular air, biawak, buaya, bahkan kodok menjadi bahan dasar barang-barang perhisan berkelas seperti dompet, tas dan sepatu. Banyak industri fashion sohor di dunia yang memanfaatkan bahan baku tersebut seperti Gucci, Louis Vuitton, Hermes, Jimmy Choo, dan Christian Louboutin. Indonesia adalah salah satu negara pemasok kulit reptil terbesar dalam dunia fashion ke Eropa dan Amerika.
ADVERTISEMENT
Masih dari kegiatan perdagangan, kebutuhan akan spesies-spesies eksotik, unik dan menarik dari herpetofauna juga menjadi ladang penghasil cuan dalam industri satwa piaraan (pet) bahkan juga dalam industry makanan eksotik. Beberapa spesies yang diperdagangkan secara internasional dari Indonesia adalah Soa layar (Hydrosaurus), Soa payung (Chlamydosaurus kingii), Sanca timor (Malayopython timorensis), Sanca papua/hijau (Morelia viridis), Katakserasah bertanduk (Megophrys montana), Kadal lidahbiru (Tiliqua gigas) dan Katakpesek papua (Ranoidea caerulea). Perdagangan juga terjadi lantaran pemanfaatan ular berbisa khususnya bisa ular, untuk kebutuhan farmasi dalam memproduksi serum anti bisa ular (sabu). Adapun manfaat ekonomi dari kegiatan wisata diperoleh lantaran keberagamannya baik spesies maupun perilakunya serta tipe habitat yang ternyata mampu menjadi daya tarik wisata dengan minat khusus bagi wisatawan mancanegara untuk melihat langsung herpetofauna di alam (herping).
ADVERTISEMENT
2. Manfaat lingkungan dan jasa ekosistem
Manfaat ekosistem adalah kontribusi langsung maupun tak langsung dari ekosistem terhadap kesejahteraan manusia melalui dampaknya pada kelangsungan hidup dan kualitas hidup kita. Manfaat ekosistem diperoleh karena herpetofauna memerankan fungsi ekologi. Cortéz-Gómez et al. (2015) merinci setidaknya terdapat 5 katerori fungsi ekologi herpetofauna, yaitu: dalam siklus nutrisi, aliran energi melalui rantai makanan (sebagai predator dan mangsa), bioturbasi, pemencar biji, dan penyerbuk.
Contoh fungsi dalam siklus nutrisi diperlihatkan oleh Eleutherodactylus coqui yaitu katak endemik Puerto Rico yang setelah diteliti sebagaimana dilaporkan dilaporkan Beard et al. (2002, 2003) bahwa ternyata satu individu mampu menghasilkan 8,9 kg feses setiap hektar setiap tahun. Feses tersebut terdiri atas 34,2% C dan 5,7% N, sedangkan urinnya mengandung 4,5% DOC, 3,3% Ca, 3,1% K, dan lebih banyak NH4 daripada NO3, dimana elemen dan unsur hara tersebut digunakan tanaman untuk tumbuh. Contoh lainnya adalah berudu Espadarana prosoblepon, Sachatamia albomaculata, Hyalinobatrachium colymbiphyllum dan Centrolene sp. di Panama yang memakan permukaan daun yang membusuk sehingga merangsang aktivitas jamur di serasah (Connelly et al., 2011). Peningkatan biomassa jamur ini dipicu oleh tingginya tingkat ekskresi nutrisi berudu pada musim kemarau, Berudu-berudu tersebut mampu mengeluarkan amonia antara 0,15 hingga 3,6 μg/jam (Whiles et al., 2006).
ADVERTISEMENT
Bioturbasi didefinisikan sebagai fungsi organisme yang secara langsung atau tidak langsung mengontrol ketersediaan sumber daya untuk organisme lain melalui “modifikasi fisik, pemeliharaan, atau penciptaan habitat” (Jones et al., 1994; Moore, 2006). Fungsi bioturbasi ini diperlihatkan oleh berudu Pseudis paradoxa dan Lithobates palmipes yang secara aktif mengkonsumsi perifiton dan sedimen yang kaya bahan organik. Berudu-berudu tersebut memodifikasi struktur habitat selama aktivitas mencari makan dengan mengurangi akumulasi sedimen. Pada gilirannya hal ini menguntungkan konsumen lain yang tidak mengolah sedimen secara efisien seperti ikan pemangsa serangga bentik (Characidum), yang karena secara morfologis tidak dilengkapi kemampuan menyaring sedimen untuk mendapatkan nutrisi dari detritus (Flecker et al., 1999; Arias et al., 2002; Solomon et al., 2004).
ADVERTISEMENT
Fungsi pemencar biji pada herpetofauna umumnya dilakukan oleh kura-kura dan kadal pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Di Indonesia, kura ambon (Cuora amboinensis) adalah salah satu spesies air tawar yang mempunyai kemampuan memencar biji. Karraker et al. (2020) melaporkan hasil penelitian terhadap spesies kura-kura tersebut di Taman Nasional Rawa Aopa Watomohai Sulawesi Tenggara yang ternyata mampu memencarkan biji sejauh 70 hingga 313 meter dari tumbuhan induk.
Fungsi penyerbuk pada herpetofauna tergolong langka. Di Brasil, selama musim kemarau kadal Trachylepis atlantica mengunjungi bunga dari tumbuhan Erythrina velutina. Kadal ini mengkonsumsi nektar encer sebagai sumber air dan energi. Di saat sang kadal memasukkan kepalanya ke dalam bunga untuk menjilat nektar, bersamaan dengan itu serbuk sari menempel pada sisik kepala, bahu, perut, dan tungkai, selanjutnya terjadi kontak dengan kepala sari dan stigma perbungaan maka berlangsunglah peristiwa penyerbukan bahkan juga terjasi penyerbukan silang (Sazima et al., 2005, 2009).
ADVERTISEMENT
3. Bioindikator
Bioindikator adalah organisme yang dapat digunakan untuk menilai kondisi kesehatan suatu ekosistem. Rehabilitation and Degradation index (RDI) adalah indeks kuantitatif yang dikembangkan untuk mengukur keberhasilan upaya rehabilitasi pada ekosistem darat. Herpetofauna dalam hal ini juga telah dimanfaatkan sebagai indikator lingkungan dalam penentuan nilai indeks tersebut (Thompson et al. 2008).
Manfaat ekonomi dari kegiatan perdangangan tentunta mau tak mau mengakibatkan adanya eksploitasi herpetofauna yang umumnya diambil dari alam walaupun sebagian sudah diupayakan disupali dari hasil penangkaran. Banyak anggota masyarakat kita yang hidupnya tergantung terbantu dari kegiatan tersebut mulai dari pencari/pemburu, penampung, pemasok hingga eksportir yang berlangsung turun-temurun. Demikian halnya roda ekonomi lainnya seperti pada industri kerajinan kulit. Beruntung Indonesia telah meratifikasi konvensi internasional CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yaitu konvensi yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesimen tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam agar dapat tetap lestari melalui Keppres Nomor 43 Tahun 1978. Dalam koridor konvensi CITES, pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar harus memenuhi tiga prinsip penting yaitu ketertelusuran (traceability), legalitas (legally) dan tidak menyebabkan kepunahan (non determinant). Prinsip traceability memandatkan setiap negara anggota untuk dapat memastikan bahwa setiap spesies yang diperdagangkan dapat dilacak dengan baik, prinsip legalitas memandatkan untuk dapat memastikan bahwa spesies yang diperdagangkan dilakukan secara sah menurut hukum nasional dan internasional, sedangkan prinsip non determinant memandatkan agar dapat memastikan bahwa pemanfaatan spesies yang diperdagangkan
tidak mengakibatkan kepunahannya. Sebagai insan berbudaya dan beragama tentunya kita dapat dengan arif dan bijak memanfaatkan sumberdaya herpetofauna agar dapat berkesinambungan dan lestari.
ADVERTISEMENT
Nah kini jelas sudah bagi kita bahwa dibalik reputasi negatif herpetofauna ternyata tersimpan beragam manfaatkan bagi hidup dan kehidupan manusia. Hal ini sesungguhnya meyakinkan kepada kita bahwa segala sesuatu yang diciptakan Tuhan Yang Maha Esa itu tidaklah sia-sia, sebagaimana yang dimaktubkan dalam Surat Ali Imran ayat 3 bahwa Allah SWT berfirman “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Mahasuci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.’”