Ekowisata Upaya Konservasi Kura-kura Hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi)

Awal Riyanto
Ahli Peneliti Madya Herpetologi di Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN
Konten dari Pengguna
15 Mei 2024 6:28 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Awal Riyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Sulawesi adalah pulau terbesar ke-4 di Indonesia sekaligus pulau terbesar dalam kawasan biogeografi Wallacea, yaitu kawasan zona transisi antara daerah biogeografis Indo-Malaya Raya dan Australasia. Secara pembentukan pulau berbentuk huruf “K” ini juga sangat unik dan berbeda dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Dalam pulau yang unik tersebut terkandung kekayaan flora dan fauna yang unik pula bahkan banyak yang endemik, salah satunya adalah kura-kura. Di pulau ini terdapat dua spesies endemik yaitu Baning Sulawesi (Indotestudo forstenii) dan Kura-kura hutan Sulawesi (Leucocephalon yuwonoi). Kedua spesies ini sama-sama mempunyai sebaran sangat terbatas yaitu dari Sulawesi Tengah hingga Sulawesi Utara untuk I. forstenii dan kemungkinan hanya sampai Gorontalo untuk L. yuwonoi.
ADVERTISEMENT
Kelestarian kura-kura umumnya mendapat ancaman serius dari ekploitasi, kerusakan hingga hilangnya habitat dan faktor alam seperti bencana. Secara internal, faktor biologi seperti rendahnya daya reproduksi dan pertumbuhan juga sangat mempengaruhi. Kondisi ini juga di alami oleh kedua spesies endemic tersebut. Pada kesempatan ini penulis fokus mengulas L. yuwonoi dan usulan strategi konservasinya.

Biologi Leucocephalon yuwonoi

Leucocephalon yuwonoi dideskripsikan pada tahun 1995 oleh McCord, Iverson dan Boeadi dengan nama Geoemyda yuwonoi dan lokasi tipe Gorontalo. Sebelum dideskripsi pada tahun tersebut, sesungguhnya spesies ini sudah marak diperdagangkan.
Bentuk kepala menyerupai segi tiga (triangular) dengan panjang karapas (perisai punggung) dapat mencapai 25 cm. Kura-kura nan cantik ini berwarna kuning coklat dengan bercak berwarna cokelat tua besar dan kecil tidak berarturan pada karapas individu dewasa, sementara saat masih anakan berwarna abu-abu kehijauan dengan struktur mirip duri bercabang dua pada tepi keping marginal.
Individu anakan Leucocephalon yuwonoi. Foto: Awal Riyanto
Individu dewasa mempunyai keunikan yaitu adanya fenomena sex dimorphisme berupa ukuran dan warna tubuh. Jantan dewasa berukuran lebih besar dan kepala berwarna berwarna kuning atau krem dengan bercak-bercak hitam pada bagian atas, sedangkan pada betina berwarna hitam atau gelap dengan bercak putih di dagu. Jantan dewasa yang masak kelamin pada plastron (perisai perut) membentuk cekung.
Individu jantan dewasa Leucocephalon yuwonoi. Foto: Awal Riyanto
Kemampuan reproduksi secara pasti di alam belum diketahui (Hagen et al. 2009), namun para ahli kura-kura meyakini bahwa spesies ini mempunyai kemampuan reproduksi yang sangat rendah. Banyak bukti yang mendukung keyakinan itu seperti laporan Riyanto (2006) bahwa berdasarkan pembedahan terhadap 3 bangkai betina yang berasal dari Moutong (Taopa), Sindue dan Damsel ternyata hanya mempunyai 4 butir telur (Tabel 1), temuan ini senada dengan laporan Innis (2003) yang menyebutkan bahwa betina hanya bertelur 1 atau 2 butir per clutch.
Table 1. Data reproduksi Leucocephalon yuwonoi berdasarkan pembedahan bangkai betina di tiga lokasi. Sumber: Riyanto (2006)
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa kematangan seksual betina pada ukuran panjang karapas yang bervariasi dari 17,5 cm (Innis, 2003) hingga 18–20 cm (Riyanto, 2006). Laju pertumbuhan juga tergolong lambat, hal ini dibuktikan oleh Hagen et al. (2009) bahwa individu anakan mencapai ukuran panjang karapas 200 mm pada usia 8 tahun. Oleh karena itu diperkirakan seksual baik jantan dan betina mulai pada umur 7–10 tahun.
ADVERTISEMENT

Ekologi Leucocephalon yuwonoi

Kura-kura hutan Sulawesi yang bersifat semiakuatik dengan persebaran yang sangat terbatas yaitu dari perbatasan kebun kopi Sulawesi Tengah hingga Gorontalo. Hidup di sungai dan anak sungai dangkal, air jernih, mengalir dengan substrat berpasir dan bebatuan dalam hutan dataran rendah, namun beberapa populasi di sepanjang pantai barat Sulawesi Tengah juga beberapa ditemukan di aliran air dekat pemukiman. Kemungkinan individu-individu tersebut adalah hasil hanyutan dari dalam hutan ketika terjadi banjir, mengingat sungai di wilayah pantai barat sering mengalami banjir.
Kura-kura hutan Sulawesi yang bersifat semiakuatik ini masuk dalam 25 top spesies kura-kura terancam di dunia (Stanford et al. 2018) dan berstatus kritis (IUCN, 2023).
Wilayah jelajah L. yuwonoi sebagaimana dilaporkan Simms et al (2022) adalah paling kecil diantara spesies dalam famili Geoemydidae (Tabel 2).
Tabel 2. Perbandingan wilayah jelajah Leucocephalon yuwonoi dengan spesies Geoemydidae lainnya. NA–data tidak tersedia; a–ukuran sampel tidak dapat ditentukan dari artikel.Sumber: Simms et al. (2022)
Sebelum tahun 2002, L. yuwonoi diekspor secara legal sebagai sumber daya perikanan dan tidak diberikan status perlindungan khusus (Samedi dan Iskandar 2000), semenjak tahun 2002 pemerintah telah menetapkan zero quota, dengan demikian sejak tahun tersebut pemanenan langsung dari alam sudah tidak ada lagi.
ADVERTISEMENT

Urgen Dilindungi

Berdasarkan karakter biologi, ancaman dari eksploitasi, ancaman kerusakan bahkan hilangnya habitat, dan merupakan satwa endemik dengan sebaran terbatas serta status keterancaman kritis maka L. yuwonoi sudah mendesak untuk segera dimasukkan dalam daftar spesies yang dilindungi.
Dalam Peraturan Pemerintah nomor 7 tahun 1999 disebutkan bila tumbuhan dan satwa liar memenuhi kreteria populasi kecil, penurunan tajam jumlah individu di alam dan daerah penyebaran terbatas (endemik) maka wajib dilakukan upaya pengawetan.
Karakter biologis seperti rendahnya kemampuan reproduksi, lambatnya pertumbuhan dan usia mulai masak kelamain pada umur 7 hingga 10 tahun sudah mengindikasikan bahwa pasti populasi L. yuwonoi adalah kecil. Selanjutnya, IUCN/SSCTortoise and Freshwater Turtle Specialist Group dan Asian Turtle Trade Working Group 2000 mencatat bahwa perdagangan L. yuwonoi dari Indonesia ke Tiongkok diperkirakan mencapai puncaknya pada tahun 1998 dengan volume 2000–3000 individu dan secara drastik menurun menjadi hanya 100 individu di tahun 1999. Kondisi ini cukup mengisaratkan kura-kura ini mengalami tekanan eksploitasi yang luar biasa dan mencerminkan terjadinya penurunan populasi di alam yang tajam. Kita ketahui Bersama pula bahwa kura-kura ini juga merupakan satwa endemik. Argumen ini penulis rasa sudah cukup memenuhi kreteria peraturan tersebut. Oleh karena itu penulis melalui artikel ini mengusulkan kepada pemerintah untuk segera memasukkan L. yuwonoi dalam daftar satwa yang dilindungi.
ADVERTISEMENT
Terlepas dari persyaratan dalam aturan tersebut, gaung konservasi spesies ini sudah mendunia seperti telah dimasukkannya dalam status kritis IUCN dan dalam 25 Top spesies kura-kura terancam.

Ekowisata Berbasis Kura-kura Endemik

Sejalan dengan usulan di atas, penulis juga mengusulkan upaya konservasi lainnya yaitu melalui kegiatan ekowisata (ecotourism) L. yuwonoi dengan melibatkan partisipasi masyarakat setempat. Loubser et al (2001) menegaskan bahwa ekowisata telah banyak diterapkan dalam konservasi dan menjadi alat pembangunan karena memberikan manfaat baik dalam konservasi maupun ekonomis. Secara teori, terjadi distribusi beberapa manfaat kepada masyarakat lokal berupa insentif untuk melindungi kawasan alami yang menarik wisatawan menjadi lebih banyak (Charnley 2005). Hal ini dapat terjadi karena ekowisata merupakan sinergis antara pariwisata, keanekaragaman hayati dan masyarakat lokal yang difasilitasi oleh strategi manajemen yang tepat (Ross & Wall 1999).
ADVERTISEMENT
Ide ekowisata ini tercetus berdasarkan monitoring penulis terhadap populasi di hutan Sungai Ganonggol, Desa Karya Agung, Kecamatan Taopa, Kabupaten Parigi-Moutong, Sulawesi Tengah sejak tahun 2003 hingga 2022. Penulis juga mencatat setidaknya terdapat 19 spesies reptil dan 7 spesies amfibi pada habitat tersebut. Habitat di lokasi ini masih dicirikan vegetasi hutan seperti Calophyllum soulattri, Chionathus montanus, Ficus sp., Eugenia subglauca, Homalanthus popuneus, Litsea sp., Nauclea sp., Pometia pinnata dan Kjelbergiodendron celebicum. Sungai beserta anak sungainya dengan air dangkal yang mengalir jernih, bersubtrat pasir dan krikil. Secara visual memberikan kesegaran alami. Penulis berpendapat bahwa kawasan ini merupakan lokasi yang tepat untuk pengembangan kegiatan ekowisata tersebut.
Habitat alami Leucocephalon yuwonoi nan indah dan menyegarkan. Foto: Awal Riyanto
Leucocephalon yuwonoi aktif di malam hari, dijumpai pada anak sungai dinding perbukitan dalam hutan, hal ini memberikan tantangan tersendiri terlebih peluang perjumpaan terbesar adalah malam hari.
ADVERTISEMENT
Selain kehadiran L. yuwonoi, lokasi ini juga menyuguhkan keindahan herpetofauna lainnya seperti Gonyosoma jansenii, Tropidolaemus subannulatus, Limnonectes larvaepartus dan sebagainya. Sebagaimana diketahui bahwa herpetofauna mempunyai keunikan dan variasi perilaku, suara dan tantangan dalam menemukannya di alam yang tentunya memberikan sensasi pertualangan.
Ular punai Sulawesi (Tropidolaemus subannulatus). Foto: Awal Riyanto
Oleh karena itu peluang pengembangan ekowisata berupa pengamatan herpetofauna atau “herping” dengan L. yuwonoi sebagai ikonnya sangat terbuka dan menantang. Herping disini maksudnya adalah suatu kegiatan untuk mencari dan mengamati herpetofauna pada malam atau siang hari tipe habitat tertentu dengan jumlah orang yang terbatas dan tidak boleh menimbulkan dampak negatif terhadap herpetofauna.
Berdasarkan pertimbangan aksestabilitas, desa Karya Agung juga sangat menjanjikan karena dengan mudah dapat dijangkau dari ibu kota Sulawesi Tengah (Palu) dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat. Dari pemukiman warga menuju lokasi ditempuh dengan jalan kaki hanya sekitar 2 km dengan melewati kebun dan ladang warga. Dalam perjalanan dari Palu menuju Desa Karya Agung juga disuguhi pemandangan yang menakjubkan seperti kelok-kelok di tanjakan Kebun Kopi dan keindahan pantai sisi timur disamping kuliner sedap ikan bakar dan kue tradisional seperti “lalampa” di Toboli. Di titik tertentu tanjakan Kebun Kopi juga disuguhi keindahan monyet endemik Sulawesi Macaca tonkeana.
ADVERTISEMENT
Modal dasar tersebut sangat mendukung pengembangan kegiatan ekowisata yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal, kondisi lingkungan dan L. yuwonoi terjaga. Scheyvens (1999) mengemukakan empat tingkatan pemberdayaan dalam suatu kerangka, seperti psikologis, sosial, politik dan ekonomi. Oleh karena usulan pengembangan ekowisata ini perlu mendapatkan perhatian baik pemerintah daerah, kementerian terkait, masyarakat lokal dan akademisi. Melalui kegiatan ekowisata, mari kita jaga kelestarian kura-kura endemik ini.