Konten dari Pengguna

Bahasa Isyarat Tanpa Nama: Cerita dari Desa-desa Sunyi

Muhammad Fachri Kurniawan
Saya adalah seorang mahasiswa Teknik Informatika di Universitas Pamulang
4 Mei 2025 16:29 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachri Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi desa sunyi (sumber:https://pixabay.com/id)
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi desa sunyi (sumber:https://pixabay.com/id)
ADVERTISEMENT
Di sini, seluruh desa berbicara dengan tangan,” kata Made (52), salah satu pendiri komunitas tolakan suara di Desa Bengkala, Kecamatan Tejakula, Bali. Sejak puluhan tahun lalu, Bengkala dikenal sebagai “desa sunyi” bukan karena sepi udara atau letak terpencil, melainkan karena tingginya frekuensi tuna rungu di antara warganya.
ADVERTISEMENT
Lahirnya Bahasa Isyarat Desa
Pada 1930-an, angka kejadian tuna rungu di Bengkala melonjak—diperkirakan satu dari sepuluh bayi lahir tanpa pendengaran penuh. Alih-alih mengucilkan, masyarakat setempat merespons dengan menciptakan sistem komunikasi visual: isyarat tangan, ekspresi wajah, dan gerak tubuh. Sistem ini berkembang organik dari setiap rumah tangga dan akhirnya diwariskan lintas generasi.
“Sejak kecil, saya sudah terbiasa pakai gerakan untuk bicara. Anak anak yang tidak memiliki pendengaran jadi tidak merasa terasing,” ujarnya Ni Luh Sari (27), guru di Sekolah Dasar Inklusi Bengkala.
Karena tidak pernah distandarisasi atau dikodifikasi, masyarakat akademis menyebutnya village sign language, atau bahasa isyarat desa.
Struktur dan Keunikan
Meskipun berkembang secara intuitif, bahasa isyarat Bengkala memiliki pola tata bahasa dan kosakata khas yang terbangun dari kebutuhan lokal:
ADVERTISEMENT
1. Kosakata Berbasis Konteks Lokal
Gerakan unik untuk flora fauna setempat, seperti “pohon nyamplung” atau “burung jalak Bali.”
2. Penggunaan Ruang sebagai Tata Letak
Arah dan posisi tangan menandai subjek, objek, atau lokasi—mirip struktur subjek–objek–verba (S–O–V).
3. Ekspresi Wajah Kaya Makna
Raut wajah, dari kebahagiaan hingga kejutan, memperkuat makna setiap isyarat.
“Bahasa isyarat desa ini berkembang organik, tanpa dipengaruhi BISINDO, karena tumbuh dari kebutuhan nyata warga,” jelas Dr. I Wayan Arka, Universitas Udayana.
Desa Lain dengan Cerita Serupa
Fenomena bahasa isyarat yang lahir secara mandiri juga tercatat di beberapa komunitas dunia:
• Kata Kolok, Bali
Desa tetangga yang memiliki sistem isyarat mirip, dengan kosakata khusus untuk upacara adat.
• Mardin, Turki
ADVERTISEMENT
Mardin Sign Language berkembang selama ratusan tahun akibat mutasi genetik lokal.
• Ban Khor, Thailand
Lebih dari 20% penduduknya tunarungu, memunculkan Ban Khor Sign Language yang sudah diakui internasional.
Tantangan dan Upaya Pelestarian
Tantangan
• Minimnya dokumentasi sistematis kosakata dan tata bahasa.
• Peralihan generasi muda ke BISINDO dan Bahasa Indonesia formal.
• Terbatasnya liputan media massa dan platform digital.
Upaya Pelestarian
1. Workshop Dokumentasi: Kolaborasi peneliti, mahasiswa linguistik, dan keluarga tunarungu untuk merekam isyarat.
2. Integrasi ke Kurikulum Lokal: Materi dasar bahasa isyarat desa disisipkan dalam muatan lokal di sekolah.
3. Digitalisasi Kamus: Aplikasi Android berisi video kosakata beserta penjelasan guru setempat.
“Pelestarian bahasa isyarat desa sama pentingnya dengan menjaga tradisi tari atau upacara adat. Ini juga bagian dari hak asasi komunikasi,” tambah Dr. Arka.
ADVERTISEMENT
Apakah Kita Harus Peduli?
Setiap bahasa—lisan maupun isyarat—merupakan fragmen budaya yang unik. Kehilangannya berarti memupus cara sebuah komunitas memahami dunia. Bahasa isyarat desa menegaskan bahwa inklusi adalah nilai universal, dan keberagaman cara bicara (bahkan lewat tangan) adalah warisan yang pantas dirayakan.
“Ketika tangan kami berhenti bicara, sejarah desa ini juga akan tersimpan sunyi,” ungkap Made.