Konten dari Pengguna

Demokrasi Algoritmik: Algoritma yang Memilihkan Politik untuk Kita

Muhammad Fachri Kurniawan
Saya adalah seorang mahasiswa Teknik Informatika di Universitas Pamulang
11 Mei 2025 13:41 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Fachri Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Sorakan Digital (sumber:https://pixabay.com/id.)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Sorakan Digital (sumber:https://pixabay.com/id.)
ADVERTISEMENT
Tangerang Selatan, Muhammad Fachri Kurniawan – Mahasiswa Universitas Pamulang, Program Studi Teknik Informatika.
ADVERTISEMENT
Di era di mana ponsel menggantikan podium dan layar menggantikan orasi massa, algoritma media sosial diam-diam membentuk opini politik jutaan orang. Dari unggahan berisi meme hingga video pendek berdurasi 15 detik, apa yang muncul di lini masa kita bukan lagi sekadar hiburan atau kabar ringan—tetapi juga alat yang memengaruhi keputusan dan orientasi politik.
Yang kita lihat, baca, dan sukai di media sosial hari ini, bisa menentukan siapa yang kita pilih esok hari.

Algoritma di Balik Layar

Setiap kali kita menyukai, mengomentari, atau membagikan sebuah konten—baik itu kutipan politik, cuplikan debat, atau bahkan candaan politikus—platform seperti Facebook, YouTube, TikTok, hingga X (sebelumnya Twitter), merekamnya. Seluruh aktivitas ini menjadi bahan bakar bagi recommendation engine, yaitu sistem algoritmik yang menentukan konten apa yang layak muncul di feed kita selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Tujuan utama algoritma ini sederhana: membuat pengguna bertahan lebih lama di platform. Namun dalam konteks politik, tujuan ini membawa implikasi serius. Ketika algoritma menyajikan “konten serupa” dengan yang kita sukai, kita mulai terjebak dalam apa yang disebut sebagai filter bubble. Kita terus disuguhi sudut pandang yang senada, sementara opini yang berbeda—atau bahkan sekadar berlawanan—perlahan menghilang dari radar.

Echo Chamber dan Polarisasi

Fenomena ini kemudian berkembang menjadi echo chamber—ruang gema digital tempat kita hanya mendengar suara yang mencerminkan keyakinan sendiri. Dalam jangka panjang, ini memicu polarisasi. Lawan politik tak lagi dipandang sebagai pihak berbeda pandangan, melainkan sebagai ancaman terhadap “kebenaran versi kita”.
Studi dari MIT dan Universitas Oxford menunjukkan bahwa pengguna media sosial yang terjebak dalam echo chamber 30% lebih cenderung menolak informasi faktual yang bertentangan dengan keyakinan awal mereka. Bahkan, banyak yang akhirnya menganggap fakta sebagai opini yang “disusupi agenda tertentu”.
ADVERTISEMENT
Perbedaan pandangan politik yang sehat berubah menjadi permusuhan digital. Perdebatan publik tak lagi berbasis argumen, tetapi emosi. Perang komentar menggantikan dialog, dan algoritma terus menyalakan bara konflik tersebut—karena konflik mendatangkan klik, dan klik menghasilkan cuan.

Dampak pada Kampanye Politik

Bukan hanya pengguna yang bermain di ranah algoritmik, tetapi juga para pemain politik. Tim sukses dan konsultan digital kini memanfaatkan data perilaku pengguna untuk melakukan microtargeting—yaitu menarget pesan politik ke segmen tertentu secara sangat spesifik.
Misalnya, seseorang yang sering menyukai postingan tentang lingkungan akan lebih sering disuguhi konten kampanye bertema perubahan iklim. Pengguna yang aktif di forum keagamaan akan mendapat iklan bertema moral dan religiusitas. Dalam skala besar, strategi ini memang meningkatkan efektivitas kampanye dan konversi suara. Namun, ia juga menciptakan jurang informasi—di mana satu isu bisa dibesar-besarkan di satu kelompok, namun nyaris tak terdengar di kelompok lain.
ADVERTISEMENT
Hasil akhirnya adalah pemilu yang bukan hanya terbagi oleh pilihan politik, tetapi juga oleh versi realitas yang berbeda-beda.

Membangun Kesadaran & Literasi Digital

Meningkatnya peran algoritma dalam membentuk pandangan politik membuat literasi digital menjadi kebutuhan mendesak. Kita tidak bisa lagi mengandalkan intuisi semata untuk menyaring informasi. Masyarakat perlu paham bahwa apa yang mereka lihat di media sosial bukan cerminan dari dunia nyata secara utuh, melainkan hasil kurasi algoritmik yang memprioritaskan engagement—bukan kebenaran.
Solusinya tidak sederhana. Perlu ada intervensi di berbagai level—pendidikan formal, kampanye publik, hingga regulasi yang mendorong transparansi algoritma. Sekolah dan universitas bisa mulai mengenalkan konsep algorithmic bias dan confirmation bias sejak dini. Komunitas digital dapat menjadi ruang belajar untuk berdiskusi lintas perspektif. Media juga punya tanggung jawab memperluas narasi dan memberi ruang pada suara-suara yang tak populer di arus utama.
ADVERTISEMENT
Demokrasi algoritmik bukan mitos masa depan—ia adalah kenyataan yang sudah terjadi hari ini. Lini masa kita bukan hanya tempat berbagi momen, tapi juga arena pembentukan opini politik. Jika kita bisa memahami mekanisme algoritma dan mulai bersikap lebih kritis terhadap apa yang muncul di layar, maka kita dapat mengembalikan ruang digital sebagai ruang demokratis yang sehat.
Kita butuh lebih dari sekadar like dan share untuk menjaga demokrasi tetap hidup. Kita perlu diskusi yang nyata, lintas kubu, dan terbuka terhadap perbedaan. Karena hanya dengan dialog, bukan algoritma, demokrasi bisa tumbuh dengan sehat.