news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Apakah Orang China Benar-benar Pelit?

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
11 Oktober 2018 13:44 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Apakah Orang China Benar-benar Pelit?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
China merupakan negara terbesar kedua yang didiami oleh miliuner setelah Amerika Serikat. Menurut laporan 2015 Forbes China Rich List, miliuner China berjumlah sekitar 335 orang.
ADVERTISEMENT
Namun sebuah survei yang dilakukan oleh platform amal China menunjukkan bahwa para filantropi di negara tersebut hanya berkontribusi 0,17 persen untuk GDP China di tahun 2014, sementara filantropi Amerika sebesar 12 persen.
Oleh survei CAF World Giving Index, China berada di posisi 144 dari 145 negara yang mendonasikan hartanya untuk badan amal, kedua terbawah setelah Yaman.
Tingkat filantropi yang rendah tidak bisa begitu saja dikaitkan dengan status ekonomi yang berkembang. Myanmar menempati peringkat pertama dalam indeks CAF World Giving 2015; dan negara berkembang lainnya seperti Sri Lanka dan Kenya, termasuk di antara 20 negara teratas di dalam indeks.
ADVERTISEMENT
Membicarakan kekayaan dan sumbangan di China tidak semudah membaca survei-survei yang ada. Bukan semata-mata karena orang China pelit, tetapi faktor budaya, sejarah, politik, serta bagaimana perbedaan antara berderma di China sangat berlainan dengan yang terjadi di Amerika misalnya.
Di China, orang-orang menganggap harta sebagai milik pribadi. Sedang di Barat, setiap orang kaya menyadari bahwa mereka hanya menyimpan harta itu dalam waktu singkat, tanpa pernah memiliki seutuhnya. Hal ini sesuai dengan cara mereka mendapatkan kekayaan.
Di China, tangga untuk menjadi kaya begitu terjal dan berliku. Mereka perlu usaha yang lebih keras dan rintangan yang sering membuat usaha tersebut membutuhkan peluh yang tidak sedikit. Sehingga, kekayaan yang didapatkan sungguh bermakna.
Orang-orang China. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Orang-orang China. (Foto: Pixabay)
Populasi penduduk pun berpengaruh. China menjadi negara dengan populasi terbesar di dunia, sehingga negara tidak bisa menjamin kesejahteraan setiap orang. Mereka harus berusaha sendiri untuk bertahan hidup. Jika mengandalkan orang-orang di luar dirinya, maka paling mungkin hanya keluarga terdekat.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan negara-negara lain dengan populasi penduduk yang lebih terjaga. Campur tangan pemerintah dalam menangani kemiskinan dan kesenjangan ekonomi lebih bisa dirasakan. Sehingga, mereka menganggap pemberian terhadap negara dan badan-badan amal sama saja dengan mengembalikan pemberian negara dahulu.
Badan-badan amal di China dianggap berbeda. Sebagian besar pengusaha Cina menganggap badan amal sebagai perusahaan. Jika menyumbang sama halnya dengan berinvestasi untuk mendapatkan laba dan melihat manfaat nyata yang diberikan badan amal tersebut untuk bisnis mereka.
Banyak orang di kota-kota tingkat dua dan tiga menganggap sumbangan moneter sebagai alat untuk membangun koneksi politik yang seharusnya mengarah kepada semacam kesepakatan subsidi pajak atau perlakuan istimewa lainnya di masa depan.
Namun, apakah konglomerat China benar-benar pelit?
ADVERTISEMENT
Faktor Budaya dan Sejarah
Apakah Orang China Benar-benar Pelit? (2)
zoom-in-whitePerbesar
Perbedaan definisi tentang mendermakan harta mungkin salah satu alasannya mengapa China memiliki indeks yang rendah. Banyak pemberian berlangsung di dalam jaringan keluarga, bukan di ruang publik.
Orang-orang China lebih suka mendermakan harta mereka untuk membantu kakek sepupu atau istri sepupu tanpa perlu menganggapnya sebagai pemberian, demikian kata Holly Snape dari Universitas Peking, dilansir dari The Economist.
South China Morning Post baru-baru ini membandingkan 10 besar filantropis China dan Amerika. Mereka menemukan bahwa sebagaian besar miliuner China meraup untung di sektor real estate, dan donasi mereka dilakukan melalui perusahaan, tanpa menggunakan nama pribadi.
Laporan ini juga mencatat bahwa orang China tidak suka memberikan informasi kepada publik jika berdonasi, relatif sedikit orang memberikan informasi tentang derma mereka dibandingkan dengan orang Amerika.
ADVERTISEMENT
Sebuah studi tahun 2015 oleh Ash Center for Democratic Governance and Innovation di Harvard Kennedy School tentang 100 filantropis China berjudul China Philantophy Project menunjukkan bahwa elite China lebih suka memberikan amal di lingkungan dan keluarga sendiri, dan lebih sering untuk dana pendidikan keluarga.
Kebanyakan orang kaya di China masih tergolong muda. Kita tidak bisa menyebut orang-orang kaya di China sebagaimana halnya keluarga Rockefeller atau Cadbury yang mewarisi kekayaan secara turun-temurun.
Di China, kebanyakan orang kaya masih sangat muda jika dibandingkan dengan keluarga-keluarga tersebut: mereka kebanyakan masih berumur sekitar 40 atau 50 tahun.
ADVERTISEMENT
Faktor Politik
Potret Mao Zedong (Foto: Reuters/Stringer)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Mao Zedong (Foto: Reuters/Stringer)
Perbedaan politik juga jadi salah satu yang paling berpengaruh. Di negara-negara berpaham demokrasi, pembiayaan partai politik selain berasal dari anggaran negara, juga lebih banyak diambil dari sumbangan anggota partai.
Setiap kedudukan di partai, lebih banyak dipengaruhi oleh seberapa besar biaya seseorang masuk ke dalam partai. Dan untuk mengangkat nama dan lebih populis, setiap sumbangan harus diketahui publik.
China, di bawah kekuasaan Mao, merupakan suatu kegagalan jika negara mengambil sumbangan dari organisasi-organisasi swasta dan perorangan. Partai dan negara haruslah lebih flamboyan dan disifatkan sebagai juru selamat yang justru menjadi tempat orang-orang menggantungkan harapan.
Sumbangan terhadap organisasi keagamaan tidak pernah dilaporkan. Era Mao juga mewariskan sejarah bagi orang-orang China untuk tidak menganggap sumbangan sebagai sesuatu yang harus dicatat.
ADVERTISEMENT
Selain itu, China juga tidak memiliki sejarah lahirnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang tidak berada di bawah naungan pemerintah dan partai. Semua permasalahan dikembalikan ke negara, tanpa campur tangan masyarakat biasa. Berbeda dengan negara-negara di Barat yang lebih banyak mengandalkan sektor swasta dibanding dengan pemerintah.
Peraturan yang ketat itu lambat laun melemah sejak tahun 1980-an, ketika Partai Komunis mulai mengizinkan badan amal yang didukung negara untuk beroperasi. Badan amal mulai menunjukkan diri, terutama setelah gempa bumi yang melanda Wenchuan di Provinsi Sinchuan barat daya pada 2008 lalu.
ADVERTISEMENT
Bagaimana badan amal itu menggalang dana untuk perbaikan infrastruktur dan kemanusiaan mengesankan para pejabat dan kebanyakan orang China. Musibah tersebut menghasilkan perubahan yang cukup signifikan dalam kehadiran badan amal.
Salah satu perkara yang sering mengurungkan niat orang-orang kaya di China untuk menyumbang ke badan amal adalah ketakutan mereka pada penyalahgunaan sumbangan. Seperti pada kasus yang terjadi 2011 lalu, ketika seorang perempuan anggota Palang Merah China hidup dalam kemehawan, yang lebih banyak kemewahan itu berasal dari sumbangan-sumbangan filantropis untuk kemanusiaan.
Pemerintah China kemudian mengesahkan undang-undang badan amal pada 2016 lalu setelah beberapa tahun penyusunan. Salah satu isi dari undang-undang tersebut menyatakan bahwa badan amal tidak boleh membelanjakan lebih dari 10 persen sumbangan untuk organisasi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap badan-badan amal tersebut.
ADVERTISEMENT
Kini permasalahan utama bagi lembaga swadaya masyarakat dan badan amal yang bekerja di China kembali lagi pada permasalahan politik. Kehadiran dan menguatnya kepercayaan publik ditakutkan akan menggeser posisi negara dan partai politik.
Sehingga, bagaimana pun, tarik ulur antara membolehkan dan menekan badan amal tetap akan terjadi. Semua itu akan melemahkan survei-survei tentang besaran sumbangan orang China, namun bukan berarti orang-orang China pelit. (Muhammad Aswar/YK-1)