Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Feng Xiaogang dan Chen Kaige di Asian Film Awards 2018
19 Maret 2018 16:53 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:10 WIB
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
The Asian Film Awards (AFA) 12 yang berlangsung di The Venetican Macao di Makau Hongkong pada Sabtu (17/3) malam lalu benar-benar menjadi ajang pengukuhan kejayaan Feng Xiaogang dan Chen Kaige, dua sutradara terkuat China saat ini.
ADVERTISEMENT
Tahun lalu, di AFAs 11, Film komedi garapan Feng Xiaogang ‘I’m Not Madame Bovary’ menjadi film terbaik dan merebut total 3 penghargaan, Best Film, Best Actress, dan Best Cinematography. Perolehan sama diraih oleh film ‘The Handmaiden’ garapan sutradara Korea, Park Chan-wook.
Pada tahun 2018 ini, film garapan Chen Kaige ‘The Legend of the Demon Cat’ membawa pulang penghargaan terbanyak, untuk Best Supporting Actress, Best Costume Design, Best Production Design, dan Best Visual Effects.
Namun, pada akhirnya Feng Xiaogang dengan film garapannya ‘Youth’, yang membawa piala paling bergengsi AFA yakni Best Film.
Feng Xiaogang dan Chen Kaige, bersama-sama dengan Zhang Yimou, selama ini dikenal sebagai para perintis jalan film China mengalahkan Hollywood di negerinya sendiri.
ADVERTISEMENT
Mentalitas Blockbuster China
Jurnalis New York Times pemenang banyak penghargaan Pulitzer, David Barboza, pada tahun 2007 menulis bagaimana arti penting 3 sosok di atas, Zhang-Feng-Chen, dalam usaha China menjawab keperkasaan Hollywood di tanah air mereka. (http://www.nytimes.com/2007/07/01/movies/01barb.html)
David menandai peluncuran film garapan Ang Lee, sutradara kelahiran Taiwan, ‘Crouching Tiger, Hidden Dragon’ pada tahun 2000 sebagai penanda awal bangkitnya film China.
‘Hidden Dragon’ untuk pertama kalinya berhasil mencatatkan diri sebagai film berbahasa asing terlaris dalam sejarah Amerika, dengan perolehan 128 juta dollar AS di sana dan 85 juta dollar AS di pemutaran seluruh dunia.
Keberhasilan Ang Lee menginspirasi China bahwa sutradara-sutradara kuat mereka juga bisa mengekspor filmnya ke seluruh dunia, apalagi minat orang China pergi ke bioskop juga sedang tumbuh pesat.
ADVERTISEMENT
Sampai saat Ang Lee membikin film Wu Xia (silat) indah dengan teknik tinggi dan cita rasa global itu, China masih bergulat dengan film bertema sosial politik berbiaya rendah. Film-film itu memang dipuja sebagai film kenyataan sosial yang kuat namun hanya mendulang sedikit uang. Dan bahkan di negaranya sendiri, film-film Hollywood-lah yang sanggup bertengger lama di layar bioskop.
Zhang Yimou memulai lebih dulu dengan ‘Hero,’ epik seni bela diri yang rumit dan sublim. Yang disusul dengan ‘House of Flying Daggers’. Dan ‘Curse of the Golden Flower’ menyusul kemudian pada Desember 2006 dengan mencatatkan diri sebagai film termahal yang pernah dibuat di China. Jika sebelumnya sebuah film yang digarap di China maksimal biayanya hanya mendekati 7 juta dollar AS, ‘Curse’ menghabiskan 45 juta dollar atau hampir 700 persen lebih besar dari biasanya.
ADVERTISEMENT
Chen Kaige, pada tahun 2005 merilis ‘The Promise’, sebuah fantasi senilai 35 juta dollar AS yang dipromosikan sebagai ‘Lord of the Rings’ dari Cina.
Dan Feng Xiaogang, yang meraih banyak box office di dalam negeri dengan film-film komedi seperti ‘Cellphone’ dan ‘Be There or Be Square’ memutuskan untuk membuat film besar berkualitas Oscar. Feng membuat Hamlet versi China senilai 20 juta dollar AS dalam film berjudul, ‘The Banquet’ pada tahun 2006.
Kemunculan ‘Curse of the Golden Flower’, ‘The Promise’ dan ‘The Banquet’ mendapat serangan dari media-media China sebagai film lumpuh yang mengecewakan, tak bermoral, dan haus darah. Pada intinya, film-film itu ditandai sebagai kemerosotan semangat China dalam meraih visi lompatan jauh ke depan demi gelimang uang penjualan.
ADVERTISEMENT
Tapi pemerintah China mendukung penuh film-film ketiga sutradara di atas dengan membatasi penayangan film Hollywood di bioskop saat film garapan ketiganya tayang. Pemutaran perdana ditandai dengan pesta mahal dan kampanye pemasaran serta kesepakatan lisensi promosi melibatkan label-label besar dunia seperti Toyota, Audi, dan Lenovo. Bahkan, pemilik bioskop pun melakukan negosiasi dengan para pembuat film kritis China untuk tidak menayangkan filmnya berbarengan dengan film para Blockbuster.
David Barboza menyebut peran penting ketiga sutradara itu adalah memulai jalan mental baru film China, yakni mental Blockbuster. Dengan mental yang sama yang dimiliki pemerintahan China dan pemilik jaringan bioskop di sana, pada akhirnya, film-film garapan Zang Yimou, Feng Xiaogang, dan Chen Kaige memecahkan rekor-rekor pendapatan di China dan mengalahkan film-film produksi Hollywood.
ADVERTISEMENT
Sempat Ditarik
Akhir 90-an dan awal 2000-an adalah lembaran baru, masa-masa penting, dari keterbukaan China yang dimulai oleh Deng Xiaoping paska Revolusi Kebudayaan 1966-1976. Dan para perintis jalan film blockbuster China adalah anak-anak yang tumbuh di era paska Revolusi Kebudayaan, yang menikmati keterbukaan Deng.
Zang Yimou, lahir tahun 1950. Disusul Chen Kaige pada tahun 1952 yang 6 tahun kemudian pada 1958 Feng Xiaogang menyusul lahir ke dunia.
Film, bisa dibilang adalah industri lama, produk budaya yang khas modernisme awal saat film bisu Charlie Chaplin untuk pertamakalinya meraih kepopuleran dan mengalahkan Teater, produk budaya era sebelumnya.
Di industri yang lebih baru, teknologi internet, Ma Huateng pemimpin Tencent Holdings mencatatkan diri sebagai orang terkaya di China. Ia lahir pada tahun 1971. Jack Ma, pendiri Ali Baba, yang kepribadiannya sangat popular di seluruh dunia, lahir pada tahun 1964.
ADVERTISEMENT
Generasi baru China ini sukses dengan menghirup kebebasan barat sekaligus berkelit dalam hasrat besar pemerintah China mengusai dunia dengan terus menggunakan cara-cara anti demokrasi di dalam negerinya sendiri. Di biografinya, Jack Ma menceritakan bagaimana pertumbuhan Ali Baba tak lepas dari usahanya untuk tawar menawar dengan kuatnya birokrasi China.
Begitupun di Film, para sutradara perintis itu sepertinya juga selalu berada dalam persimpangan antara uang dan lompatan jauh ke depan.
‘Youth’, film garapan Feng Xiaogang sempat ditarik oleh pemerintah China saat tayang perdana pada 1 Oktober tahun lalu. Namun, negosiasi membuat filmnya kembali diputar di bioskop pada pertengahan Desember dan meraih pendapatan total 224 juta dollar AS.
Film terbaru garapan Feng itu memang nyerempet-nyerempet bahaya. Film itu bercerita mengenai rumitnya hubungan antara kepentingan pribadi dan politik dengan mengikuti kehidupan seorang remaja dalam sebuah rombongan tarian militer pada masa Revolusi Kebudayaan Tiongkok.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Feng yang beralih dari film komedi ke drama kulitas Oscar, Chen Kaige dengan ‘The Legend of the Demon Cat’ kembali membuat film fantasi misteri yang skenarionya ditulis berdasar novel berjudul Samana Kukai karya penulis Jepang Yoneyama Mineo. Ceritanya berada di masa Dinasti Tang (618-907) yang dimulai oleh kemunculan seekor kucing iblis dan menghancurkan kedamaian ibukota, Chang'an City, yang mendorong serangkaian kejadian aneh.
Sementara Zhang Yimou, film terakhirnya yang meluncur pada akhir 2016 lalu, ‘The Great Wall’ yang menjadikan aktor Hollywood Matt Damon sebagai aktor utama, relatif gagal di pasaran dan gagal menang di berbagai penghargaan film.
Asian Film Awards (AFA) 2018 ini juga menghadirkan catatan baru dengan kemenangan YoonA, anggota K-Pop girl band terbaik saat ini, sebagai the AFAs Next Generation Award atas debutnya di film ‘Confidential Assignment’.
ADVERTISEMENT
AFA pertama kali diadakan pada tahun 2007 oleh Hongkong International Film Festival. Tapi, sejak tahun 2013, Asian Film Awards dikelola oleh The Asian Film Awards Academy (AFA Academy) yang merupakan peleburan dari The Tokyo International Film Festival (TIFF) dengan Hong Kong Internasional Film Festival dan Busan International Film Festival.
Pemenang di kategori lainnya, Best Director diraih oleh Ishii Yuya untuk film Jepang berjudul ‘The Tokyo Night Sky Is Always the Densest Shade of Blue’. Sutradara Dong Yue dari China yang mangarahkan film ‘The Looming Storm’ merebut penghargaan Best New Director. Best Actress diraih Sylvia Chang untuk ‘Love Education’ garapan Taiwan China. Louis Koo yang main di film Hongkong ‘Paradox’ diganjar sebagai aktor terbaik.
ADVERTISEMENT
Film Thailand ‘Bad Genius’, yang bercerita mengenai gairah siswa sekolah di Thailand untuk bisa kuliah di Amerika memenangkan aktris Chutimon Chuengcharoensukying sebagai Best New Comer. ‘Newton’, film India, meraih skenario terbaik. Dan film Korea Selatan, ‘The Fortress’ merebut penghargaan Best Cinematography.
Asian Film Awards 2018 memiliki total 17 kategori yang diperebutkan oleh 87 nominator yang mewakili 32 film dari 10 negara. Meski gagal menang, salah satu aktris Indonesia, Marsha Timothy juga masuk nominasi untuk kategori Best Actress.
Perjalanan mental terdalam sebuah bangsa dipanggul oleh para penyair dan perupa tapi hanya film yang menggambarkan hasrat dan mental khalayak luas. Mental Blockbuster musti seiring sejalan dengan mentalitas sunyi penyair. Sayangnya, Indonesia sepertinya kekurangan keduanya. (Sarivita / YK-1)
ADVERTISEMENT