Superbugs, Wabah Bakteri Tahan Antibiotik Bernilai Rp 1.500 Triliun

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
12 Oktober 2018 17:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi  meracik obat (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi meracik obat (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Peter Thiel, seorang miliarder, salah satu founder sistem keuangan PayPal dan mendanai lahirnya Facebook, lewat Breakout Labs yang berada di bawah Thiel Foundation, berinvestasi pada penelitian bakteri Superbugs, bakteri yang tahan obat antibiotik dan belum ditemukan pengobatannya hingga kini.
ADVERTISEMENT
Superbugs memiliki kekuatan antimicrobial resistance (AMR). Suatu kemampuan yang tahan terhadap segala macam pengobatan, seperti antibiotik dan sejenisnya. Ini merupakan penyakit yang lahir bagi masyarakat modern yang rajin mengonsumsi antibiotik yang salah dan berlebihan.
Penyebarannya kini berada di seluruh dunia dan menarik pemimpin dunia di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, kurangnya pengembangan obat dan penemuan oleh Big Pharma menjadi masalah tersendiri.
“Baru dalam dua tahun terakhir, lima perusahaan besar farmasi dan perusahaan biotek telah mengambil inisiatif untuk mengembangkan permasalahan ini sebagai fenomena saintis, regulasi, dan gejala ekonomi yang ditimbulkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik,” kata Thomas Cueni, ketua Aliansi Industri AMR.
Aliansi Industri AMR sendiri merupakan sebuah aliansi yang beranggotakan 100 perusahaan dan penelitian farmasi yang dibentuk untuk membatasi penyebaran Superbugs, dikutip dari CNBC News. Di antara raksasa farmasi yang berkontribusi dalam bidang ini adalah Novartis, AstraZeneca, Sanofi, dan Allergan.
ADVERTISEMENT
Sebuah penelitian yang dipublikasikan di PLOS Medicine dan diulas dalam Review on Antimicrobial Resistance, menyebutkan bahwa pada tahun 2014 diperkirakan 700 ribu orang meninggal di seluruh dunia akibat bakteri yang resisten terhadap obat ini.
Jumlah ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Di Amerika misalnya, setidaknya 2 juta orang terinfeksi bakteri ini setiap tahun, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Center for Disease Control and Prevention); dan 23.000 orang meninggal setiap tahun karena infeksi bakteri Superbugs.
Permasalahan di masa mendatang lebih mengkhawatirkan. Menurut World Health Organization (WHO), bakteri yang resisten terhadap antibiotik ini akan menelan lebih banyak korban dibanding kanker pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Hal tersebut akan mengurangi output ekonomi global sekitar 2 sampai 3,5 persen, atau sekitar USD 100 miliar atau sekitar Rp 1.500 triliun. Dan tentunya, akan mengubah lanskap dunia kedokteran modern dan penanganan di bidang operasi dan bedah.
Para saintis menyebut Superbugs sebagai tsunami yang bergerak lambat. Belum ditemukan metode penyembuhan untuk bakteri yang kebal terhadap segala macam obat ini, sementara penggunaan antibiotik dalam dunia kesehatan terus berlanjut.
Penelitian yang dikeluarkan oleh US National Ambulatory Medical Care Survey menyebut bahwa pada tahun 1989 saja sekitar 84 persen anak menggunakan antibiotik, baik untuk pencegahan penyakit atau penurunan sakit. Sementara 47,9 persen balita antara umu 0-4 tahun juga mengonsumsi antibiotik.
ADVERTISEMENT
Semakin tinggi konsumsi antibiotik, semakin riskan pada munculnya bakteri Superbugs. Tidak hanya bagi anak-anak, kemungkinan terdampak bakteri ini pada orang dewasa juga tinggi.
Dengan mengonsumsi antibiotik untuk virus yang seharusnya bisa sembuh sendiri, seperti batuk, pilek, dan demam. Selain pada obat-obatan antibiotik, bakteri ini juga bisa berasal dari makanan, dan terutama penyakit kelamin seperti kencing nanah atau gonore.
Menghidupkan Kembali Mikroba, Tren Pengobatan di Masa Depan
Ilustrasi bakteri. (Foto: skeeze via Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bakteri. (Foto: skeeze via Pixabay)
Lambatnya penanganan oleh perusahaan-perusahaan besar farmasi membuat para founder startup ambil bagian dalam menciptakan penangkal Superbugs. Salah satunya adalah SciBac, sebuah perusahaan bioterapis yang terdaftar dalam daftar 100 perusahaan start-up CNBC 2018.
ADVERTISEMENT
Perusahaan berbasis online yang berada di Silicon Valley ini memiliki cara unik untuk mengatasi Superbugs. Mereka mengembangkan pil mikroba untuk meningkatkan mikrobioma tubuh di usus, paru-paru, dan kulit yang bisa membunuh bakteri Superbugs.
Produk pertamanya berguna untuk mengobati dan mencegah infeksi Clostridium (CDI), yang umumnya dikenal sebagai penyakit diare mematikan dan Superbugs tertinggi di Amerika. Perusahaan ini juga mengembangkan obat untuk mencegah infeksi Pseudomonas kronis di paru-paru pasien yang mengidap cystic fibrosis.
Di dalam laboratorium, SciBac tidak hendak membunuh Superbugs sebagai pengobatannya. Tetapi mencoba menghidupkan kembali mikroba di dalam tubuh yang bisa menangkal masuknya Superbugs.
Teknologi yang mereka kembangkan adalah mengawinkan beberapa spesies mikroba yang berbeda untuk membunuh bakteri dan mengurangi racun di dalam tubuh. Di saat yang lain, SciBac juga mencoba untuk memulihkan mikrobioma di dalam tubuh yang dikalahkan oleh obat-obatan antibiotik dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Untuk membantu pengembangan teknologi tersebut, Peter Thiel lewat Breakout Labs akan membantu SciBac dalam peningkatan mutu bisnis perusahaan dan memperkenalkan orang-orang penting perusahaan kepada para pengusaha dan mitra bisnis potensial dalam beberapa bulan ke depan.
Sampai saat ini, SciBac yang baru berumur tiga tahun telah mengumpulkan USD 1,45 juta dalam pembiayaan ekuitas dan hibah sebesar USD 3,7 juta dari CARB-X, sebuah kemitraan swasta nirlaba yang didanai oleh pemerintah Amerika, Wellcome Trust, NIH, Bill, dan Melinda Gates Foundation, serta pemerintah Inggris.
CARB-X berinvestasi dalam penelitian antibakteri di seluruh dunia. Tujuannya untuk mempercepat pengembangan antibiotik bagi penyakit-penyakit yang baru muncul belakangan, dan produk-produk lain untuk menangkal Superbugs.
ADVERTISEMENT
SciBac pada dasarnya menciptakan alternatif baru dari pengobatan yang selama ini berasal dari pembunuhan mikroba dalam tubuh dengan obat-obatan antibiotik. Oleh berbagai pihak, pengobatan dengan menghidupkan dan mengawinkan mikroba tergolong sebagai pengobatan baru yang akan tren di masa yang akan datang.
Metode pengembangan obat alternatif kebanyakan diinisiasi oleh perusahaan-perusahaan kecil yang berumur muda seperti SciBac. Bagi perusahaan besar farmasi, perhitungan biaya penelitian yang bisa menghabiskan miliaran dolar tidak sebanding dengan nilai bisnisnya yang tidak seberapa.
Namun hal ini pula yang menjadikan penanganan penyakit di seluruh dunia menjadi sangat lambat. Bayangkan saja, obat-obat antibiotik selama ini diciptakan dari penelitian orang-orang yang telah terjangkit, sebab perusahaan farmasi tidak berani mengeluarkan dana besar untuk penelitian.
ADVERTISEMENT
SciBac dikembangkan oleh Jeanette Mucha yang menjabat sebagai CEO, Antony Cann ahli kimia, dan Derik Twomey ahli biologi sel. Pertama kali mereka menggarap bakteri sloctridium dan mengembangkan bahan bakar ramah lingkungan untuk Cobalt Technologies.
Setelah kerja sama tersebut, Mucha dan koleganya lalu mendirikan laboratorium sendiri dan bereksperimen pada probiotik dan mencoba mentransfer gen pada bakteri. Percobaan itu berhasil.
Sepuluh bulan kemudian mereka mengajukan permohonan bantuan dana kepada Breakout Labs sebesar USD 350 ribu dan itu pula diterima oleh Peter Thiel, bahkan didukung penuh olehnya.
Proyek ini akan memakan waktu yang tidak singkat. Diperkirakan obat penanganan Superbugs baru bisa dikeluarkan di pasaran pada tahun 2025. (Muhammad Aswar/YK-1)
ADVERTISEMENT