Setelah China Setop Impor Sampah Plastik

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2018 18:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tumpukan sampah (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Tumpukan sampah (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Bisnis sampah daur ulang merupakan bisnis vital di dalam kehidupan modern. Meski jarang disorot oleh publik dan media, bisnis ini memungkinkan sampah-sampah tidak hanya berakhir di pembuangan atau merusak lingkungan. Selain itu, bisnis ini juga menggunakan jaringan luas antarnegara.
ADVERTISEMENT
Pelaku bisnis sampah daur ulang terbesar di dunia masih dipegang oleh China. Itulah mengapa, berbagai produk-produk yang dihasilkan negara itu lebih murah dibandingkan dengan negara lain, baik teknologi atau produk lainnya. Sebab semua berasal dari sampah yang harganya lebih murah ketimbang membuat produk dari bahan yang baru.
Tidak kurang dari 900 ton sampah yang dibuang setiap jam sepanjang siang dan malam, lima hari dalam seminggu di pabrik daur ulang di Elkridge, Maryland, sebuah kota yang ditempuh selama satu jam perjalanan dari ibukota Amerika Serikat.
Di pabrik tersebut, di antara suara mesin penghancur sampah yang bising dan asap cokelat kegelapan, puluhan pekerja yang menggunakan sarung tangan dan penutup wajah, sebagian besar adalah perempuan.
ADVERTISEMENT
Mereka dengan gesit mengambil dan memisahkan berbagai benda dari tumpukan sampah yang hendak dihancurkan. Benda-benda itu merupakan kontaminan bagi sampah daur ulang.
Segala macam benda kontaminan sampah daur ulang ada di situ, mulai dari pakaian yang sudah tidak layak pakai, kabel, ranting pohon, hingga benda yang paling tidak disukai oleh mesin pendaur ulang: kantong plastik yang tidak seharusnya dicampur ke dalam sampah daur ulang karena bisa merusak mesin pendaur.
“Kami harus memperlambat kerja mesin pendaur dan mempekerjakan lebih banyak orang lagi untuk memisahkan limbah-limbah plastik, kabel hingga pakaian dari sampah-sampah yang bisa didaur ulang,” kata Michael Taylor, kepala operasi daur ulang untuk Waste Management, perusahaan yang setiap minggunya menerima 900 ton sampah, dikutip dari Phys.
ADVERTISEMENT
Hasil akhir dari pabrik di Elkridge itu adalah gulungan besar sampah-sampah yang telah dipisahkan yang terdiri dari sampah padat berupa kertas, karton atau plastik. Gulungan besar itu selama beberapa dekade terakhir dibeli oleh pebisnis yang umumnya berasal dari China.
Mereka akan membersihkan dan menghancurkannya yang nanti akan digunakan sebagai bahan industri. Tahun lalu China membeli lebih dari separuh sampah yang diekspor oleh Amerika Serikat.
Menurut sebuah penelitian di jurnal Science Advances, secara global sejak tahun 1992, 72 persen sampah plastik dunia semuanya diekspor menuju China dan Hong Kong. Namun mulai Januari tahun ini, China telah menutup akses untuk pasokan sampah ke negara tersebut karena merasa sampah daur ulang semakin tercemar oleh limbah plastik.
ADVERTISEMENT
Kebijakan lingkungan baru ini ditekankan oleh Beijing yang tidak lagi menghendaki China sebagai tempat pembuangan terakhir sampah-sampah dunia, bahkan daur ulang dari sampah-sampah tersebut.
Untuk sampah yang lain termasuk karton dan logam, China masih menerimanya dengan syarat tingkat kontaminasi limbah plastik tidak lebih dari 0.5 persen, ambang batas minimal yang bisa dilakukan oleh pabrik-pabrik sampah berteknologi tinggi di Amerika Serikat.
Para pelaku bisnis daur ulang di Amerika Serikat memperkirakan China akan menutup semua akses pembelian sampah daur ulang segala jenis pada 2020. Sementara tidak ada satu pun pembeli atau negara yang berani membeli sampah daur ulang sebanyak yang dilakukan China dan orang-orangnya.
Bukan hanya Amerika Serikat yang meradang akibat kebijakan baru China dalam pembelian sampah. Ada tiga perempat sampah di seluruh dunia yang kini kehilangan lahan perputarannya akibat kebijakan tersebut. Negara-negara berkembang yang dahulunya mengimpor sampah ke China mulai mencari cara memproses sampah.
ADVERTISEMENT
Sebelum kebijakan tersebut diterapkan, menurut tulisan lain di Phys, Jepang misalnya telah mengekspor sekitar 1,5 juta ton sampah per tahun, sebagian besar ke China. Kementerian Jepang mengatakan akan memperluas kapasitas dalam negeri untuk mengolah sampah dan mencegah pembuangan ilegal. Mereka berupaya untuk menciptakan bisnis daur ulang yang dijalankan oleh perusahaan dan pemerintahan negara sendiri.
Dampak Kebijakan China bagi Dunia
Ilustrasi sampah plastik (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi sampah plastik (Foto: Pixabay)
Kebijakan lingkungan China yang diumumkan pada Desember 2017 dengan nama “National Sword” secara permanen melarang impor limbah plastik non-industri pada Januari 2018.
Para ilmuwan dari University of Georgia menghitung potensi dampak kebijakan itu pada dunia global dan bagaimana kebijakan tersebut memengaruhi upaya mengurasi jumlah sampah plastik yang berakhir di pembuangan sampah atau di tempat-tempat yang membuat sampah itu merusak lingkungan.
ADVERTISEMENT
Para ilmuwan itu menerbitkan temuan mereka di jurnal Science Advances yang kemudian juga diterbitkan oleh Phys. “Kami tahu dari penelitian sebelumnya bahwa hanya 9 persen dari semua plastik yang pernah diproduksi telah didaur ulang, dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah atau lingkungan alam,” kata Jenna Jambeck, profesor di UGA College of engineering dan co-author,
“Sekitar 111 juta metrik ton sampah plastik akan direlokasi karena larangan impor hingga 2030, jadi kita harus mengembangkan program daur ulang yang lebih kuat di dalam negeri dan memikirkan kembali penggunaan dan desain produk plastik jika ingin berurusan dengan limbah ini secara bertanggung jawab.”
Impor tahunan global dan ekspor limbah plastik meroket pada 1993, tumbuh sekitar 800 persen hingga 2016. Negara-negara dengan ekonomi yang lebih maju di Eropa, Asia, dan Amerika mencapai lebih dari 85 persen dari seluruh ekspor limbah plastik global. Secara kolektif, Uni Eropa adalah eksportir teratas.
ADVERTISEMENT
“Sampah plastik pernah menjadi bisnis yang cukup menguntungkan bagi China, karena mereka dapat menggunakan atau menjual kembali limbah plastik daur ulang,” kata Amy Brooks, mahasiswa doktoral di UGA College of Engineering dan penulis utama penelitian ini.
“Tapi banyak plastik yang diterima China dalam beberapa tahun terakhir berkualitas buruk, dan hal itu menjadikan China sulit untuk menghasilkan keuntungan. Tahun-tahun belakangan China juga memproduksi lebih banyak sampah plastik di dalam negeri, sehingga tidak perlu bergantung pada negara lain.”
Untuk eksportir, biaya pemrosesan yang murah di China berarti bahwa pengiriman limbah ke luar negeri lebih murah daripada mengangkut bahan-bahan secara domestik melalui truk atau kereta api.
“Sulit untuk memprediksi apa yang akan terjadi pada sampah plastik yang sebelumnya diproses oleh bisnis China,” kata Jambeck. “Sebagian mungkin bisa dialihkan ke negara lain, tetapi kebanyakan negara tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk mengelola limbah dalam negeri sendiri, apalagi menerima limbah dari negara lain.”
ADVERTISEMENT
Ekspor limbah plastik ke China memberikan kontribusi tambahan 10 hingga 13 persen dari sampah plastik bagi negara yang mengalami kesulitan mengelola karena pertumbuhan ekonomi yang cepat.
“Tanpa ide-ide baru yang berani dan perubahan seluruh sistem, bahkan tingkat daur ulang saat ini yang relatif rendah tidak akan lagi dipenuhi, dan bahan daur ulang yang sebelumnya kemungkinan akan berakhir di tempat pembuangan sampah,” kata Jambeck. (Muhammad Aswar/YK-1)