Konten dari Pengguna

Penyebab Anak Mudah Emosi kepada Orang Tua

Muhammad Anwar Mulyaman
Mahasiswa UIN Jakarta 2021
6 Februari 2025 15:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Muhammad Anwar Mulyaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Muhammad Anwar Mulyaman, By: dok pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Muhammad Anwar Mulyaman, By: dok pribadi
ADVERTISEMENT
Mendidik anak merupakan kewajiban setiap orang tua, untuk menjadikan anak sebagai tumbuh kembang yang hebat. Namun, kadang kala sebagian orang tua kurang tepat dalam mendidik anak. Maka dari itu, sangat penting bagi orang tua untuk mempelajari ilmu parenting terhadap anak. Terutama pada saat anak menginjak masa remaja, masa tersebut merupakan masa transisi yang sangat penting dalam kehidupan seseorang, karena terjadi perubahan fisik, emosional, dan sosial.
ADVERTISEMENT
Masa remaja umumnya dimulai pada usia sekitar 10-13 tahun dan berakhir pada usia sekitar 18-21 tahun. Selama masa ini, remaja mengalami pertumbuhan yang pesat, baik secara fisik maupun mental. Dengan pendidikan yang cukup bagi anak, sangat membantu pertumbuhan dan perkembangan secara fisik, intelektual, sosial dan emosional.
Pola asuh yang hangat dan responsif memberikan dampak positif pada perkembangan sosial dan emosional anak, sedangkan pola asuh yang otoriter dapat menghambat perkembangan emosional yang positif bagi anak tersebut. Pola asuh juga menjadi faktor yang dapat membantu mempengaruhi tingkat emosional yang baik pada anak. Hal ini sangat bergantung pada peran orang tua yang menjadi figur bagi anak dalam mencontohkan emosional dan mengelola kesabaran yang baik.
ADVERTISEMENT
Penyebab Anak Mudah Emosi
Pada dasarnya anak merupakan peniru yang ulung, mereka akan terbentuk sesuai pada apa yang dilihat dan dirasakan. Seperti pernyataan di atas, pola asuh yang otoriter akan membentuk anak menjadi pribadi yang keras terhadap keinginannya. Sebagian besar orang tua di Indonesia masih menerapkan pola asuh yang otoriter, tanpa pernah mendengarkan dan bermusyawarah bersama anak dalam mengambil keputusan.
Karena ini merupakan tantangan dalam lingkungan keluarga, seperti konflik antar anggota, kurangnya komunikasi, atau pengabaian emosional, dapat berdampak negatif pada perkembangan sosial-emosional remaja. Remaja yang mengalami ketidakstabilan di rumah cenderung menunjukkan perilaku sosial atau cara berpikir yang tidak sehat dalam menghadapi masalah (maladaptif), seperti isolasi sosial atau agresivitas.
Anak akan bertumbuh dengan pola pikir yang keras, dan cenderung lebih sering marah akan respons terhadap orang tua. Karena anak tidak merasa dirinya ada, mereka akan lebih merasa dirinya tidak dihargai dan didengar. Padahal, komunikasi harus dilakukan dua arah yang saling mendengarkan dan mempertimbangkan keputusan yang terbaik bagi keduanya, antara orang tua dan anak.
Muhammad Anwar Mulyaman, by: dok pribadi
Solusi Bagi Orang Tua
ADVERTISEMENT
Orang tua yang tidak menginginkan anaknya bertumbuh dengan emosi yang tidak baik, maka perlu melakukan pola asuh yang hangat dan responsif yang dapat memberikan dampak positif pada perkembangan sosial dan emosional anak. Pasalnya, dinamika keluarga memiliki peran utama dalam pembentukan pola perilaku remaja, keluarga yang memberikan contoh positif melalui komunikasi yang terbuka dan pengasuhan yang responsif cenderung menghasilkan remaja yang lebih stabil secara emosional dan mampu menjalin hubungan sosial yang lebih sehat.
Komunikasi terbuka memungkinkan remaja untuk merasa didengar dan dihargai, sehingga mereka lebih mudah mengekspresikan emosi dan pandangan mereka. Pola asuh seperti ini juga dapat menghindarkan anak dari sifat berbohong atau manipulatif, yang hal tersebut adalah suatu keuntungan bagi mereka di masa depan.
ADVERTISEMENT