Konten dari Pengguna

Kontribusi IQ, EQ, dan SQ pada Pembelajaran Anak

Ahmad Awtsaqubillah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
6 Oktober 2024 9:19 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Awtsaqubillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Allan Mas dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kursi-bangku-seni-kesenian-5622346/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Allan Mas dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kursi-bangku-seni-kesenian-5622346/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
A. Kontribusi IQ, EQ, dan SQ pada Pembelajaran Anak
a. Pengertian Intelligence Quotient (IQ) Intelligence Quotient atau yang lebih dikenal sebagai IQ, adalah istilah yang pertama kali diperkenalkan oleh psikolog asal Prancis, Alfred Binet, pada awal abad ke-20 untuk mengelompokkan tingkat kecerdasan manusia. Kemudian, Lewis Terman dari Universitas Stanford mengadaptasi tes IQ Binet dan menyusunnya dengan norma populasi, sehingga dikenal sebagai tes Stanford-Binet. Pada masanya, kecerdasan intelektual dipandang sebagai satu-satunya bentuk kecerdasan yang hanya berhubungan dengan aspek kognitif setiap individu. Beberapa teori menyatakan bahwa kecerdasan adalah kemampuan dasar yang berkaitan dengan orientasi kognitif, seperti menyelesaikan masalah matematika, memecahkan teka-teki, atau menulis puisi. Ketika dikaitkan dengan proses pembelajaran, kecerdasan merupakan kapasitas untuk belajar dari pengalaman, menggunakan proses metakognitif untuk meningkatkan pembelajaran, serta kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Alfred Binet (1857-1911) adalah orang pertama yang memperkenalkan IQ sebagai ukuran kecerdasan dan ia melihat kecerdasan berdasarkan tiga elemen utama, yakni arah, adaptasi, dan kekritisan. Lewis Terman dari Stanford kemudian mengembangkan konsep Binet dan membagi kecerdasan menjadi empat kategori: 1) penalaran verbal, 2) kuantitatif, 3) figural/abstrak, dan 4) memori. Klasifikasi ini dikenal sebagai kecerdasan Binet Stanford. Selanjutnya, Wechsler mengukur IQ berdasarkan tiga aspek: 1) skor verbal, 2) skor performa, seperti melengkapi dan menyusun gambar, serta 3) kombinasi dari aspek verbal dan performa. 6 IQ (Intelligence Quotient) sering dikaitkan dengan kemampuan seseorang dalam menjawab soal atau memecahkan masalah akademik. Hasil tes kecerdasan biasanya dinyatakan dalam bentuk IQ yang merupakan angka yang dihasilkan setelah jawaban dari tes kecerdasan diolah. Angka tersebut menunjukkan tingkat intelegensi. Semakin tinggi angkanya, diasumsikan semakin tinggi pula tingkatintelegensi siswa yang mengikuti tes. Dari pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa IQ adalah hasil dari tes intelegensi dalam bentuk angka, sehingga tes intelegensi sering disebut sebagai tes IQ.
ADVERTISEMENT
b. Pengertian Emotional Quotient (EQ) EQ merupakan jenis kecerdasan kedua yang dimiliki oleh manusia yang merupakan kepanjangan dari emotional quotient atau kecerdasan emosional. Berbeda dengan IQ, EQ berfokus pada pengelolaan emosi dan bekerja di wilayah hati. Secara sederhana, EQ adalah kemampuan untuk memahami, menilai, mengelola, dan mengendalikan emosi diri. EQ berhubungan dengan perasaan, seseorang dengan EQ tinggi cenderung lebih mengutamakan perasaan daripada logika. Beberapa karakteristik orang yang memiliki EQ dominan meliputi kemampuan berempati, mudah mengekspresikan dan memahami perasaan, mampu mengendalikan amarah, pandai bersosialisasi dan beradaptasi, cerdas dalam menyelesaikan masalah, serta bersikap hormat, ramah, setia, dan tekun.16 Kecerdasan Emosi (EQ) adalah kemampuan mengelola perasaan serta potensi diri,dan memotivasi diri dalam belajar dan bekerja untuk mencapai kesuksesan dan prestasi. Kemampuan ini memungkinkan seseorang untuk tetap stabil meskipun menghadapi tekanan dari luar, serta menjadi pribadi yang menyenangkan dan memberikan pengaruh positif kepada orang lain. 17 Orang dengan kecerdasan emosi tinggi ditandai oleh kemampuan pengendalian diri yang sangat baik. Mereka dapat menghadapi orang yang menjengkelkan tanpa terbawa emosi, dan mampu mengelola perasaannya dengan sabar dan dewasa. Individu seperti ini mampu memotivasi diri sendiri untuk terus berprestasi, bekerja keras, serta menunjukkan inisiatif dan kreativitas. Mereka juga penuh semangat dan dapat membuat orang lain merasa senang dan bahagia dengan kehadirannya. Mereka memberikan dampak positif bagi orang di sekitarnya, menenangkan mereka yang sedang mengalami kesulitan, dan menjadi contoh sikap yang baik. Dengan kata lain, mereka memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah dan berhasil keluar dari situasi sulit, serta mampu mengelola perasaan mereka dalam berbagai situasi, termasuk saat menghadapi komentar negatif atau merasa dipermalukan di depan umum. Mereka memiliki manajemen diri yang baik dan percaya diri, menjadikannya pribadi yang lebih matang.18 Kecerdasan intelektual (IQ) hanya berkontribusi sebesar 20% terhadap kesuksesan, sementara 80% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain, termasuk kecerdasan emosional (EQ). EQ mencakup kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, mengatasi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, mengatur suasana hati, menunjukkan empati, serta bekerja sama dengan orang lain. 19 Kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memahami perasaan diri sendiri, merasakan empati terhadap perasaan orang lain, dan mengelola emosi dengan cara yang dapat meningkatkan kualitas hidup.
ADVERTISEMENT
c. Pengertian Spiritual Qoutient (SQ) Spiritual quotient (SQ) atau kecerdasan spiritual berasal dari kata spiritual dan quotient. Spiritual berarti batin, Rohani, keagamaan. Sedangkan, quotient atau kecerdasan berarti sempurnanya perkembangan akal budi, kepandaian, ketajaman pikiran.28 Spiritual quotient (SQ) adalah landasan yang diperlukan untuk menjalankan Intelligence Quotient (IQ) dan Emotional Quotient (EQ) secara efektif. Kecerdasan spiritual dianggap sebagai jenis kecerdasan yang paling penting dibandingkan dengan kecerdasan lainnya karena hubungannya dengan keyakinan atau agama. Namun, SQ tidak selalu terkait dengan agama secara langsung. Ada aspek di luar agama yang juga termasuk dalam ranah SQ, yaitu jiwa. Oleh karena itu, SQ juga dikenal sebagai kecerdasan jiwa, yang berfungsi untuk membantu kita membangun diri secara menyeluruh. SQ berasal dari intuisi atau perasaan hati. Dengan SQ, kita dapat menjadi lebih kreatif dalam menghadapi masalah pribadi dan menyelesaikan berbagai masalah dengan baik untuk mencapai ketenangan dan kedamaian hati. Kecerdasan spiritual atau SQ memungkinkan kita untuk memaknai setiap kegiatan atau tindakan hidup sebagai bentuk ibadah, sehingga lebih berhubungan dengan kemampuan seseorang dalam konteks ibadah.
ADVERTISEMENT
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. (2007). ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan. Jakarta: Penerbit Arga
Aizid, Rizem. (2017). Cerdas Total. Yogyakarta: Safirah. Ashshidieqy, Hasbi. (2018). Hubungan Kecerdasan Spiritual terhadap Prestasi Belajar Siswa. Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 70-76.