Konten dari Pengguna

Menjelajahi Perkembangan Konsep Diri, Moral, Nilai, dan Sikap pada Anak

Ahmad Awtsaqubillah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.
6 Oktober 2024 9:19 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ahmad Awtsaqubillah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto oleh Oleksandr P dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kamar-tidur-sikat-kuas-menyikat-7676908/
zoom-in-whitePerbesar
Foto oleh Oleksandr P dari Pexels: https://www.pexels.com/id-id/foto/kamar-tidur-sikat-kuas-menyikat-7676908/
ADVERTISEMENT
A. Perkembangan Konsep Diri
Perkembangan konsep diri sejalan dengan perkembangan aspek-aspek psikologis lainnya. Konsep diri mengacu pada bagaimana seseorang memahami dirinya sebagai pribadi ketika ia dihadapkan dengan tugas-tugas yang diberikan padanya untuk berkembang. Jika seseorang dihadapkan pada tantangan untuk mengembangkan potensinya sesuai dengan tuntutan tugas dan tanggung jawab yang harus mereka selesaikan, mereka akan berusaha mendefinisikan diri. Pendefinisian diri seperti, "Aku anak yang hebat dan pasti akan berhasil", akan mendorong anak untuk menghadapi tugas dan beban yang diberikan kepadanya. Pendefinisian diri yang negatif juga cenderung berdampak negatif pada upaya anak untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawabnya.
ADVERTISEMENT
Konsep diri seseorang tidak stagnan dan tidak berubah sepanjang waktu; sebaliknya, mereka berubah seiring dengan perkembangan emosi, sosial, kognitif, dan personal mereka. Perkembangan ini juga membentuk bahasa yang digunakan untuk mengekspresikan eksistensi diri mereka. Keluarga, sekolah (tenaga pendidik), teman sebaya, orang dewasa, dan institusi nonformal lainnya adalah beberapa tempat yang sangat mempengaruhi pembentukan konsep diri seseorang. Konsep diri adalah keseluruhan aspek dari domain yang dipahami dan dapat ditunjuk bila kita mengatakan "I and me" (Combs, Avila, Purkey, Arkoff, 1985). “I” di sini berfungsi sebagai subjek, sedangkan “me” berfungsi sebagai objek. Menurut Atwater, konsep diri adalah pandangan yang menyeluruh bagaimana "I" memahami diri saya (I see myself); tersusun dari keseluruhan persepsi tentang "I and me" bersamaan dengan perasaan, nilai, dan kepercayaan yang merujuk pada diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Sedangkan menurut Runyon, konsep diri merupakan bangunan persepsi yang merujuk pada "self", sehingga individu dapat mengatakan pada dirinya "who I am" atau "who he/she is", dan tersusun dari berbagai ide atau konsep tentang "himself/herself"; "who he is, what he stands for, where he lives, what he does or does not do, and the like". Burn juga merumuskan bahwa konsep diri diartikan sebagai segala keyakinan seseorang pada diri sendiri. Dalam definisi lain, konsep diri merupakan kumpulan pengetahuan, ide, sikap, dan kepercayaan tentang apa yang terdapat dalam diri sendiri (Krause, Bochner, Duchesne, 2007). Jadi dari beberapa definisi tersebut konsep diri akan menentukan siapa seseorang itu dalam kenyataannya, siapa seseorang itu menurut pikirannya, dan akan menentukan bisa menjadi apa seseorang itu menurut pikirannya sendiri.
ADVERTISEMENT
B. Perkembangan Moral, Nilai dan Sikap
Perwujudan nilai, moral dan sikap tidak terjadi dengan sendirinya. Proses yang dilalui seseorang dalam pengembangan nilai-nilai hidup tertentu adalah sebuah proses yang belum seluruhnya dipahami oleh para ahli (Surakhmad, 1980: 17). Apa yang terjadi dalam diri seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala serta tingkah laku orang lain. Menurut Spranger, nilai diartikan sebagai suatu tatanan yang dijadikan panduan oleh individu untuk menimbang dan memilih alternatif keputusan dalam situasi sosial tertentu. Dalam perspektif Spranger, kepribadian manusia itu terbentuk dan berakar pada tatanan nilai-nilai dan kesejarahan. Meskipun menempatkan konteks sosial sebagai dimensi nilai dalam kepribadian manusia, tetapi Spranger tetap mengakui kekuatan individual yang dikenal dengan istilah "roh subjektif" (subjective spirit). Sementara itu, kekuatan nilai-nilai budaya merupakan "roh objektif" (objective spirit).
ADVERTISEMENT
Istilah Moral berasal dari kata latin "Mos, Moris, dan Mores", yang berarti adat istiadat, kebiasaan, peraturan, nilai-nilai atau tata cara dalam kehidupan. Moral pada dasarnya merupakan rangkaian nilai tentang berbagai macam perilaku yang harus dipatuhi atau kaidah norma dan pranata yang mengatur perilaku individu dalam hubungannya dengan kelompok sosial dan masyarakat. Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral atau aspek kepribadian yang diperlukan seseorang dalam kaitannya dengan kehidupan sosial secara harmonis, adil, dan seimbang (Mohammad Asrori, 2008.155) dan (Yusuf: 2007: 132). Menurut Purwadarminto moral juga diartikan sebagai ajaran baik dan buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya. Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan suatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku karena moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang baik dan perbuatan yang salah.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai moral itu seperti seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan keamanan, memelihara kebersihan dan memelihara hak orang lain, larangan berjudi. mencuri, berzina, membunuh, dan meminum khamr. Seseorang dapat dikatakan bermoral apabila tingkah laku orang tersebut sesuai dengan nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh kelompok sosialnya. Proses penyadaran moral tersebut berangsur tumbuh melalui interaksi dari lingkungannya di mana ia mungkin mendapat larangan suruhan, pembenaran atau persetujuan, kecaman atau celaan, atau merasakan akibat-akibat tertentu yang mungkin menyenangkan atau memuaskan mungkin pula mengecewakan dari perbuatan-perbuatan yang dilakukannya.
Piaget dan Kohlberg menekankan bahwa pemikiran moral seorang anak, ditentukan oleh kematangan kapasitas kognitifnya. Tahap perkembangan moral menurut Piaget dibagi menjadi tiga, yaitu:
ADVERTISEMENT
1. Tahap yang terjadi pada usia 4-7 tahun, disebut sebagai tahap Realisme Moral (Pra-Operasional). Artinya anak-anak menganggap moral sebagai suatu kenyataan yang ada dalam kehidupan sosial. Pada tahap ini, anak akan memusatkan pada akibat-akibat perbuatan, dan hukuman atas pelanggaran yang bersifat otomatis.
2. Tahap kedua, terjadi pada usia 7-10 tahun. Tahap ini disebut sebagai masa transisi (Konkret-Operasional). Ciri khas dari tahap ini adalah perubahan secara bertahap ke pemilikan moral tahap kedua.
3. Terakhir, tahap ketiga terjadi ketika manusia berusia 11 tahun ke atas. Pada tahap ini, perkembangan moral bertepatan dengan tahap perkembangan kognitif formal operasional itu menunjukkan bahwa manusia pada awal masa “yuwana” dan “pascayuwana”, yaitu masa remaja awal dan masa setelah remaja sudah memiliki persepsi yang jauh lebih maju dari pada sebelumnya. Pada tahap ini, manusia akan memandang moral sebagai sebuah perpanduan yang terdiri atas otonomi moral (sebagai hak pribadi), realisme moral (sebagai kesepakatan sosial), dan resiprositas moral (sebagai aturan timbal balik).
ADVERTISEMENT
Selanjutnya, menurut Kohlberg perkembangan moral manusia terjadi dalam tiga tingkatan besar. Setiap tingkatan perkembangan terdiri atas dua tahap perkembangan yang meliputi:
1. Tingkat moralitas prakonvensional, yaitu ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana (usia 4-10 tahun) yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
a. Tahap 1: Memperhatikan ketaatan dan hukum
b. Tahap 2: Memperhatikan pemuasan kebutuhan
2. Tingkat moralitas konvensional, yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana (usia 10-13 tahun) yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
a. Tahap 3: Memperhatikan citra “anak baik”
b. Tahap 4: Memperhatikan hukum dan peraturan
3. Tingkat moralitas pascakonvensional, yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana (usia 13 tahun ke atas) yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial.
ADVERTISEMENT
a. Tahap 5: Memperhatikan hak perseorangan
b. Tahap 6: Memperhatikan prinsip-prinsip etika
Sedangkan Sikap, menurut Fishbein (1985) ialah predisposis (kecenderungan) emosional yang dipelajari untuk merespons secara konsisten terhadap suatu objek. Sikap merupakan variabel laten yang mendasari, mendireksi, dan memengaruhi perilaku. Sikap diekspresikan ke dalam kata-kata atau tindakan hasil reaksi terhadap objek, baik orang, peristiwa, situasi, dan lain sebagainya. Sesuai dengan konsep Chaplin (1981) dalam Dictionary of Psychology menyamakan sikap dengan pendirian. Menurutnya Sikap yaitu predisposisi atau kecenderungan yang relatif stabil dan berlangsung terus-menerus untuk bertingkah laku atau bereaksi dengan suatu cara tertentu terhadap orang lain, objek, lembaga atau persoalan tertentu. Sikap merupakan predisposisi untuk mereaksi terhadap orang, lembaga atau peristiwa, baik secara positif maupun negatif atau predisposisi untuk melakukan klasifikasi dan kategorisasi.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, dapat ditarik konklusi mengenai hubungan moral, nilai dan sikap dalam perkembangannya, bahwa nilai merupakan dasar pertimbangan bagi individu untuk melakukan sesuatu, moral merupakan perilaku yang seharusnya dilakukan atau dihindari, sedangkan sikap merupakan predisposisi atau kecenderungan individu untuk merespons terhadap suatu objek atau sekumpulan objek sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang ada dalam dirinya. Sistem nilai mengarahkan pada pembentukan nilai-nilai moral tertentu yang selanjutnya akan menentukan sikap individu sehubungan dengan objek nilai dan moral tersebut. Dengan sistem nilai yang dimiliki, individu akan menentukan prilaku mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindarkan. Ini akan tampak dalam sikap dan perilaku nyata sebagai perwujudan dari sistem nilai dan moral yang mendasarinya. Keagamaan merupakan fundamen dan spirit bagi lahirnya sistem dan konsep nilai, moral, dan sikap yang dimiliki individu yang termanifes dalam perilaku individu terkait, dalam kehidupan sehari-harinya (Mohammad Asrori, 2008:162).
ADVERTISEMENT
Diantara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri invidu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual, disuusl oleh penghayatan nilai tersebut, dan yang kemudian tumbuh di dalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya, serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut. Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap menjadi pengetahuan. Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan. Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap adalah:
1. Menciptakan komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif.
ADVERTISEMENT
2. Menciptakan iklim lingkungan yang serasi
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup itu umumnya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminn nilai hidup tersebut. Artinya, usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata-mata tetapi juga mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif di mana faktor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Sunarto; Hartono, Agung. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta.
Soemanto, Wasty . (2012). Psikologi Pendidikan Landasan Kerja Pemimpin Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
ADVERTISEMENT
Suhada, Idad. (2017). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.