Konten dari Pengguna

Kursi Menteri: Untuk Negeri atau Balas Budi?

axsel Dwiki darmawan
seorang mahasiswa jurusan Ilmu Politik yang saat ini sedang berkuliah di UIN Sunan Ampel Surabaya
27 November 2024 11:13 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari axsel Dwiki darmawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi dibuat menggunakan AI. Hak cipta gambar sepenuhnya milik penulis
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi dibuat menggunakan AI. Hak cipta gambar sepenuhnya milik penulis
ADVERTISEMENT
Pemilihan Presiden telah usai, tetapi berbagai kontroversial masih menyelimuti situasi politik saat ini. Dimulai dari pelanggaran konstitusi, pembentukan koalisi yang sangat gemuk, dan penambahan jumlah kursi menteri dalam pemerintahan yang kini meningkat dari 34 menjadi 48 menteri
ADVERTISEMENT
Ada yang berpendapat bahwa peningkatan jumlah menteri ini didasarkan karena Indonesia adalah negara yang besar, sehingga perlu adanya kementerian yang lebih banyak untuk mengelola urusan negara di berbagai urusan. Disatu sisi, banyak juga yang mengkritik langkah ini semata-mata sebagai tindakan yang didorong oleh kepentingan politik dan pembagian jatah untuk simpatisannya.
Wacana tentang penambahan jumlah kementerian di pemerintahan Prabowo Subianto setidaknya telah mencuat setelah ia terpilih sebagai presiden. Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara pun mulai mengemuka, meskipun undang-undang tersebut tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional. Baleg DPR mengadakan rapat pleno untuk membahas revisi yang mengubah batasan jumlah kementerian, menjadikannya lebih fleksibel sesuai dengan kebutuhan presiden. Langkah ini disampaikan dengan tujuan untuk memberikan keleluasaan kepada presiden dalam membentuk kementerian untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Pertanyaan tentang apakah penambahan jumlah kursi kementerian yang semakin gemuk merupakan langkah untuk kebaikan negara atau sekadar balas budi memang perlu dijawab oleh presiden terpilih, Prabowo Subianto. Namun, meskipun demikian, masyarakat tetap memiliki hak untuk berspekulasi dan memberikan pandangannya mengenai hal ini.
Pertama, kemenangan dalam pemilihan presiden tidak sekedar berakhir pada pencapaian jabatan yang diraih dengan susah payah, tetapi juga membawa tuntutan politik yang harus dipenuhi dengan harga yang mahal. Setelah meraih posisi nomor satu di Indonesia, presiden terpilih dihadapkan pada berbagai tanggung jawab dan tekanan untuk memenuhi janji-janji politik serta membangun aliansi yang dapat mendukung pemerintahannya. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan politik tidak hanya tentang kemenangan, tetapi juga tentang bagaimana menghadapi konsekuensi dan tantangan yang menyertainya.
ADVERTISEMENT
. Masyarakat saling berspekulasi bahwa keputusan ini tampak sebagai upaya untuk mempermudah pembagian jabatan kepada anggota koalisi adalah hal yang lumrah, mengingat Revisi UU Kementerian negara terasa dikebut tanpa mempertimbangkan pendapat publik maupun dari akademisi. Partai-partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) semuanya saling berharap untuk mendapatkan jumlah kursi yang banyak dalam pemerintahan. Asumsi ini semakin diperkuat mengingat ketika banyak partai yang sebelumnya dianggap sebagai oposisi kini turut serta gabung ke dalam koalisi pemerintahan yang dilantik pada 20 Oktober. Hal ini menciptakan kesan bahwa perubahan ini lebih mengutamakan kepentingan politik daripada kepentingan publik, sehingga menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat.
Kedua, Semakin banyak kementerian berarti semakin rumitnya struktur pemerintahan. Mantan Perdana Menteri Inggris sekaligus peraih nobel bidang sastra Sir Winston Churchill menerangkan bahwa Harga dari kebesaran adalah tanggung jawab, Presiden terpilih Prabowo Subianto harus siap untuk menghadapi dan menanggung tanggung jawab yang besar atas segala tindakan pembentukan kabinet yang gemuk.
ADVERTISEMENT
Berbagai negara yang telah mempraktikkan kabinet gemuk akan berdampak pada berbagai sektor, Nigeria misalnya yang menerapkan jumlah 40 kementerian pada pemerintahan Muhammadu Buhari. Praktik korupsi semakin banyak sebab posisi menteri diisi berdasarkan kepentingan politik, bukan kompetensi individu. Lebih dari itu kebingungan dalam birokrasi juga muncul, sehingga terjadi tumpah tindih fungsi dan tugas di tubuh pemerintahan.
Tentu tak ada yang melarang jumlah kementerian yang semakin banyak ditujukan dengan dalih mewujudkan Indonesia emas 2045. Itu adalah hak prerogatif yang dapat dijalankan oleh presiden. Namun persoalan menjadi berbeda apabila pembentukan kabinet gemuk dilatarbelakangi oleh tuntutan politik akibat koalisi gemuk pula.
Pikiran Masyarakat itu sangatlah sederhana, mereka hanya menginginkan presiden terpilih dapat mewujudkan visi dan misinya dengan sepenuh hati dan segala kontrol pemerintahan didasarkan keputusan yang sekurang-kurangnya keburukan tanpa ada pertimbangan balas budi. Sekarang dan seterusnya, saya, Anda, kita dan seluruh masyarakat Indonesia menaruh harapan besar kepada presiden prabowo subianto dalam mewujudkan cita-cita luhur bangsa ini.
ADVERTISEMENT