Mendaki di ‘Kandang Celeng’

Ayesha Puri
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
10 Juli 2021 11:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayesha Puri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pemandangan dari Gunung Kembang (Sumber foto; Dokumentasi pribadi Adji Suria)
zoom-in-whitePerbesar
Pemandangan dari Gunung Kembang (Sumber foto; Dokumentasi pribadi Adji Suria)

Setiap gunung pasti ada ‘penghuninya’. Entah makhluk gaib atau hewan-hewan liar. Salah satunya adalah babi hutan. Keberadaannya sangat membuat jengkel para pendaki sebab acap kali mencuri makanan sampai ludes tak bersisa. Perjalanan liburan yang mestinya berkesan suka cita berbalik menjadi kesal tak karuan.

ADVERTISEMENT
Banyak orang menantikan masa liburan memang. Hari di mana tak lagi sibuk dengan segala bentuk tanggung jawab. Bisa meninggalkan rutinitas setiap hari, dengan senang hati. Rasanya senang sekali jika waktu liburan telah tiba. Banyak kegiatan yang dapat mengisi waktu libur. Membaca novel, maraton menonton film, berbelanja, piknik, hingga pergi ke suatu tempat bersama teman ataupun keluarga.
ADVERTISEMENT
Mendaki gunung dipilih Adji Suria untuk mengisi masa liburan semester. Maklum bagi seorang mahasiswa libur semester bagaikan mendapat rezeki nomplok. Jadi harus memanfaatkannya seelok mungkin. Mendaki adalah hobinya sejak duduk di bangku kelas X Sekolah Menengah Atas (SMA). Sempat kucing-kucingan dengan sang ibunda tak menyurutkan gelora di dada untuk menaklukan gagahnya sebuah gunung. Beberapa puncak gunung sudah berhasil ia gapai. Meskipun baru gunung-gunung yang ada di Pulau Jawa saja.
Kali ini Gunung Kembang menjadi destinasi pendakiannya. Julukan Gunung Kembang sebagai ‘adiknya Gunung Sindoro’ memiliki ketinggian 2.340 MDPL (Meter Di atas Permukaan Laut). Letaknya berada di daerah Wonosobo, Jawa Tengah. Bersama enam orang temannya, Adji mulai memacu sepeda motornya dari indekosnya yang berada di Yogyakarta. Langit senja yang mulai menggelap menemani perjalanan di kala itu. Sehingga mata tak begitu banyak menikmati pemandangan yang ada.
ADVERTISEMENT
Seperti biasa, sesampai di basecamp setiap pendaki harus melakukan registrasi terlebih dahulu dan mendata barang bawaannya. Pendataan ini fungsinya agar para pendaki tidak meninggalkan sampah selama mendaki. Hanya jejak kaki saja yang boleh ditinggalkan di gunung. Ungkapan itu sudah sangat santer di kalangan pecinta gunung.
Obrolan ringan, canda-tawa, bertegur sapa dengan pendaki lain menghiasi perjalanan selama pendakian. “Ayo Mas Mbak semangat, lima menit lagi puncak”. Kalimat itu menjadi lontaran antar-pendaki. Maksudnya untuk memberi semangat atau guyon saja. Deru napas yang memburu sesekali ia dan teman-temannya rasakan, terutama ketika melewati track tanjakan yang terjal. Sehingga beberapa kali ia mengambil jeda waktu untuk istirahat. Mengingat ada perempuan yang ikut dalam pendakian ini. Selain untuk mengumpulkan tenaga, istirahat juga ia gunakan untuk menunaikan kewajiban menghadap sang Khalik.
ADVERTISEMENT
Tepat pukul tujuh malam, ia dan teman-temannya sampai di puncak (lokasi untuk mendirikan tenda). Dalam keadaan gelap, samar-samar terlihat gagahnya Gunung Sindoro di seberang sana. Saat itu ia belum sempat menikmati indahnya pemandangan Gunung Kembang. Mengingat kondisi yang sudah gelap. Selama kurang lebih tiga jam lama perjalanan yang ditempuh, selama itu pula pundak mengangkat beban kurang lebih tiga kilogram. Ditambah kaki yang terus berjalan melewati track bebatuan hingga tanjakan. Lelah sudah pasti dirasakan.
Tanpa basa-basi Adji dan teman-temannya bahu-membahu mendirikan tenda sebagai tempat bermalam. Setelah tenda berdiri tegak, tugas selanjutnya adalah mengisi perut yang sudah keroncongan. Dinyalakan kompor portabel itu lalu mulai memasak beberapa bahan makanan untuk makan malam. Tak banyak perbincangan yang tercipta malam itu. Sebab setelah makan, mereka langsung tidur di tenda masing-masing.
ADVERTISEMENT
Karena tidur dengan lelap, tak terasa hari baru telah tiba. Sinar surya terpancar begitu cerah. Langit biru terbentang di atas sana. Udara sejuk sudah terasa dari dalam tenda. Ternyata ada ‘sesuatu’ yang ikut bermalam bersama di tenda milik Adji. Seekor anjing basecamp tidur melingkar persis di bawah kakinya. Saat meregangkan otot-otot yang agak kaku, Adji mendapati tenda bagian belakang yang sobek. Padahal tidak ada makanan di dalam tenda tersebut. Ia mulai merasakan firasat yang tidak enak.
Adji lalu keluar tenda untuk menghirup sejuk dan bersihnya udara di sini serta menikmati keagungan ciptaan Tuhan. Ia pun menyapa tenda yang berada di sampingnya itu dan tersenyum ramah. Saat orang lain sibuk menikmati pemandangan dan berswafoto ria, ‘tetangganya’ justru sibuk merapikan peralatannya. Karena kepo, ia memutuskan untuk bertanya. “Kenapa Mas?””Anu logistiknya habis semua dimakan ‘bagas (babi ganas)’ Mas”,”Loh bukannya sudah digantung? Sejak awal bukannya sudah diperingatkan kalau logistik sebaiknya digantung di pohon”,”Sudah telanjur capek, jadi gak sempat.” Mereka pun berlalu turun tanpa sarapan terlebih dahulu.
ADVERTISEMENT
Kejadian itu lumrah terjadi. Mengingat Gunung Kembang memang terkenal dengan julukan ‘kandang celeng’. Di kalangan pendaki, sebutan ‘celeng’ ini artinya “babi ganas (bagas)”. Babi ganas merupakan babi hutan yang berkeliaran di sekitar kawasan gunung. ‘Bagas’ ini tanpa segan mengambil makanan (logistik) yang susah payah dibawa oleh para pendaki.
Untuk menyiasati agar makanan tak digondol ‘bagas’, biasanya bahan logistik diletakkan di tempat yang agak tinggi. Dengan begitu babi-babi ganas itu akan kesulitan mendapatkannya. Di sisi lain makanan kita aman. Salah satu caranya yaitu dengan menggantungkan makanan di atas pohon. Tentu dilapisi dengan tas atau plastik.
(Ayesha Puri / Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)