Perjuangan Ibuku untuk Pendidikan Anaknya

Ayesha Puri
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
15 Juli 2021 14:17 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayesha Puri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi foto kebahagiaan seorang ibu melihat anaknya saat wisuda (sumber foto: Istockphoto)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi foto kebahagiaan seorang ibu melihat anaknya saat wisuda (sumber foto: Istockphoto)
ADVERTISEMENT
Kulit yang mulai kendur dan munculnya kerutan di wajah ibuku menandakan bahwa ia sudah tak muda lagi. Tegas, disiplin, dan pekerja keras sudah menjadi prinsip dalam hidupnya. Tetapi ibuku tak sekaku yang dibayangkan, terkadang senyumnya terbit tak kala melihat kucing-kucing peliharaannya bertingkah konyol. Saat itu pula aku berharap agar senyum itu abadi di wajahnya. Namun ketika anaknya berbuat salah atau melakukan hal yang keliru ibuku bisa berubah bak singa yang hendak menerkam mangsanya. Meskipun begitu, segalak-galaknya singa ia tak pernah tega untuk memakan anaknya sendiri.
ADVERTISEMENT
Perempuan yang lahir pada tahun 1973 di desa kecil di Cilacap tak mengira akan menikah di usia muda. Saat dipersunting ayahku, ibu baru berusia 21 tahun. Di lubuk hatinya, ibuku masih ingin bekerja dan mengembangkan diri. Karena tujuan ibuku mengadu nasib ke ibu kota tak lain agar bisa memperbaiki rumah di kampungnya dan mengenyam pendidikan. Maklum, ibu hanya orang kampung, pendidikannya pun hanya tamat sampai Sekolah Dasar (SD).
Disela-sela bekerja, ibuku mengambil sekolah kecantikan, sekolah salon, dan menjahit. Sudah tak mempunyai pendidikan tinggi setidaknya tidak miskin kemampuan. Bukannya tak ada keinginan untuk melanjutkan pendidikan tetapi jarak sekolah yang terlalu jauh dari rumah serta tidak adanya kendaraan membuat ibuku harus mengurungkan niatnya.
ADVERTISEMENT
Dua tahun berselang setelah menikah dengan ayahku lahirlah jagoan kecil, anak pertamanya (kakakku). Saat itu, kondisi ekonomi keluargaku sangat stabil. Jadi ibu bisa membeli susu formula yang berhadiah buku cerita bergambar. Buku itu kakakku lihat dengan seksama layaknya sudah pandai membaca. Padahal usianya baru menginjak tiga tahun. Melihat potensi itu, ibuku memutuskan di usia lima tahun untuk menyekolahkannya ke Taman Kanak-Kanak (TK). Dewasa ini mungkin sudah hal lumrah, tapi di tahun 2002-an sangat jarang ada orang tua yang mau memasukkan anaknya di TK.
Karena saat itu aku sudah lahir dengan menyandang predikat anak bungsu dan usiaku belum genap satu tahun, jadi ibu harus pintar-pintar membagi waktu antara pekerjaan rumah dan mengantar anak sekolah. Meskipun begitu, keteguhan hatinya untuk menyekolahkan anak tak pernah goyah. Kata ibu, pendidikan itu penting dan dengan pendidikan bisa mengubah nasib seseorang.
ADVERTISEMENT
Aku pun harus mengenyam pendidikan di usia belia. Sayangnya, nasibku tak sebaik kakakku. Ayah berhenti dari pekerjaannya. Ekonomi keluarga semakin memburuk. Tetapi ibu masih nekat menyekolahkanku di TK. Ibuku juga memasukkan kami di Taman Pendidikan Al-Quran (TPA) semacam les ilmu agama. Apalagi saat itu aku dan kakakku sama-sama sudah masuk SD ditambah harus ikut les di TPA. Pastinya membutuhkan biaya lebih padahal ekonomi sedang mandek.
Apapun akan ibuku lakukan demi pendidikan anak-anaknya. Mulai dari berbisnis keripik pisang, menerima pesanan membuat baju, hingga menjual kue saat hari raya tiba. Ibu sebagai sekolah pertama bagi anaknya juga mengajari dan membimbing dalam banyak hal. Tentang disiplin, kerja keras, dan kemandirian.
Perjuangan ibuku tak sia-sia. Selama SD baik aku dan kakakku langganan menjadi juara kelas. Untuk membantu meringankan bebannya, ibu menyarankan agar kakakku bersekolah di Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN). Sebab ayah masih mengganggur. Terbayang beban berat yang ibu pikul selama tujuh tahun ayahku tidak bekerja.
ADVERTISEMENT
Meskipun jaraknya jauh, tetap kakakku lakukan. Jarak rumahku sampai jalan raya untuk menemukan angkutan perkotaan (angkot) sekitar 1 kilometer. Gawai pun masih langka. Maka sering kali ia berjalan kaki. Sebenarnya ada ojek, tapi ongkosnya yang tidak cukup. Hal itu pun aku alami. Lelah sudah pasti. Percayalah Tuhan Maha Adil, saat berjalan ada saja orang yang menawarkan tumpangan. Rezeki memang tak ke mana. Bahkan tak jarang ayah mengantarkan ku sampai sekolah untuk mengirit ongkos.
Beruntungnya, ketika aku SMP ayah sudah mendapat pekerjaan. Fasilitas yang berkaitan dengan pendidikan juga orang tuaku sediakan. Harganya lumayan mahal tetapi demi pendidikan selalu diusahakan yang terbaik. Lagi, perjuangan orang tuaku membuahkan hasil. Aku kembali menyabet peringkat sepuluh hingga juara kelas. Bahkan, dipilih sebagai perwakilan di ajang Olimpiade Sains Nasional Ilmu Pengetahuan Sosial (OSN IPS) tingkat Kabupaten Bogor lalu meraih peringkat 20 besar dari lebih 200 perserta.
ADVERTISEMENT
Di jenjang SMA, aku dan kakakku bersekolah milik pemerintah. Meskipun ayahku sudah mendapat pekerjaan tetapi semakin tinggi pendidikan semakin tinggi pula biaya yang harus dikeluarkan. Berbagai cara pun ibuku lakukan untuk membiayai pendidikan anak-anaknya. Mulai dari menggadaikan motor di leasing, menjual perhiasan bahkan sampai cincin pernikahannya ia relakan. Tentu atas persetujuan ayahku. Tujuannya hanya sau, anaknya bisa meraih pendidikan yang tinggi.
Dengan prinsip yang tak pernah goyah, ibukku mendorong kakakku untuk melanjutkan pendidikan di perkuliahan. Gayung pun bersambut. Kakakku mau melanjutkan pendidikannya. Berbagai tes kakakku ikuti dan akhirnya diterima di lembaga pendidikan yang bekerja sama dengan Universitas Indonesia. Benar, CCIT-FTUI.
Wisuda kakakku menjadi momen penuh haru. Perjuangan yang dilakukan ibu dan ayah berbuah manis. Menghadiri dan melihat anaknya diwisuda dengan penuh rasa bangga. Setelah lulus dari CCIT-FTUI, kakakku direkrut oleh salah satu perusahaan. Gajinya belum terlalu besar tetapi sudah bisa membantu lubang utang ibuku.
ADVERTISEMENT
Melihat itu aku pun semakin sadar harus semakin serius menjalani pendidikan. Sebab ada orang yang berjuang mati-matian demi pendidikanku. Aku buktikan dengan prestasi yang ku raih selama SMA. Namaku tak pernah absen mengisi deretan peringkat lima besar. Karena tak mau lagi melihat ibu banting tulang, aku berniat masuk Pendidikan Tinggi Negeri. Bersyukur, aku dapat diterima sebagai mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta.
Ibuku menjadi panutan ku dalam mendidik anak kelak. Ia sosok yang tegas, disiplin, tak pernah mengeluh, pekerja keras, intinya dia adalah sosok wanita yang luar biasa. Aku harap, ibu selalu panjang umur agar kelak bisa melihat kesuksesan anakmu yang sudah kau perjuangan bertahun-tahun lamanya.
(Ayesha Puri / Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta)
ADVERTISEMENT