Upaya Menjaga Motor Hasil Panen Singkong Abah

Ayesha Puri
Mahasiswa Jurnalistik Politeknik Negeri Jakarta
Konten dari Pengguna
22 Juli 2021 14:17 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayesha Puri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Motor Astrea Prima (sumber foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Foto Motor Astrea Prima (sumber foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Motor Astrea Prima produksi tahun 1990-an itu masih dipakai sepupuku yang lahir tahun 2000-an. Motor itu milik Abah (kakek) yang ia beli saat panen pertama tanaman singkongnya. Meskipun usia motor itu sudah setengah abad tetapi larinya masih gagah seperti anak milenial. Seperti motornya, sang Tuan -abahku- juga masih gagah wara-wiri ke kebun kencurnya. Tak jarang anak muda menggunakan motor itu untuk mengojek.
ADVERTISEMENT
Motor tersebut sempat rusak dan hanya menjadi pajangan saja di rumahku. Body motornya yang tak lagi lengkap semakin cocok untuk dimuseumkan alias disimpan di gudang saja. Bertahun-tahun kondisi motor itu tidak ada perubahan. Sesekali dihidupkan oleh bapakku untuk memastikan apakah mesinnya masih berfungsi atau tidak. Ternyata produksi zaman dahulu memang tak diragukan lagi kualitasnya. Bahkan si Jagur -sapaan untuk motor abah- tak pernah turun mesin sekalipun layaknya motor produksi tahun 2000-an. Apabila sudah lima tahun pemakaian ada saja problem-nya.
Bukannya tak ada niatan untuk memperbaiki motor tersebut hanya saja belum ada biayanya. Bapak sempat bertanya ke saudaraku yang paham mengenai mesin. Katanya butuh dana satu jutaan. Sedangkan waktu itu prioritas bapakku adalah untuk membiayai sekolah aku dan kakakku saja sudah keteteran. Sebenarnya ada dua anak abahku yang lain tapi semuanya perempuan. Alhasil bapakku yang sepatutnya menjaga barang bersejarah milik abah.
ADVERTISEMENT
Aku sempat bertanya kepada ibuku mengapa si Jagur tak dijual saja. Lagipula tidak dipakai juga dan mau diperbaiki juga tak ada biaya. “Engga boleh dijual sama Abah. Abah beli ketika panen tanaman singkongnya. Hasilnya banyak lalu uangnya langsung dibelikan motor”, jelas ibuku. Ibuku juga mengatakan bahwa waktu itu orang belum banyak yang punya motor. Saat itu motor jadi salah satu barang mewah. Dengan membeli motor, abahku merasa ada kebanggan tersendiri.
Khawatir si Jagur semakin tak terawat, dengan berat hati bapak menitipkan motor itu kepada saudaraku yang mengerti mesin itu. Bapak hanya berharap suatu hari nanti bisa punya uang lebih sehingga motor itu bisa kembali didekapannya. Jadi bapak bisa merawat motor itu dan membelikan aksesoris seperti sayap dan body motor, lampu, dan lain-lain sehingga tampak lebih rapi dan layak dipakai berkendaraan di jalanan.
ADVERTISEMENT
Setelah kakakku menyelesaikan pendidikannya dan mendapat pekerjaan, kondisi ekonomi keluargaku semakin membaik. Tanggung jawab bapak hanya tinggal aku saja. Bapak akhirnya bisa menyisihkan uang untuk membelikan keperluan si Jagur. Akhirnya bapak menghubungi saudaraku itu untuk mengambil motor tua itu. Karena motor dititipkan oleh seseorang yang mengerti motor pasti dirawat dengan apik. Jagur kembali ke tangan bapakku dengan kondisi yang jauh lebih baik. Atas persetujuan Kementerian Keuangan keluargaku yakni ibuku maka bapak membeli aksesoris si Jagur. Jadi jagur bisa mejeng di jalan raya ala-ala eighty’s-ninety’s.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa ‘tren’ akan terus berulang. Beberapa tahun lalu gaya eighty’s-ninety’s kembali melanda anak remaja, mulai dari pakaian, aksesoris, hingga kendaraan tua. Motor tua menjadi incaran anak muda bahkan harganya melambung tinggi. Aku yang mengetahui tren itu langsung saja bilang ke bapak untuk melepas si Jagur. Lagi dan lagi, bapak mempertahankan motor itu.”Sayang motor tua dan sudah jarang. Nanti bapak mau belikan body sama lampu belakang. Pokoknya bapak mau bagusin deh.” Hubungan bapak dan anak antara abah dan bapakku membuat mereka teguh mempertahankan barang kebanggaan itu.
ADVERTISEMENT
Mungkin bapak juga memiliki kenangan manis dengan motor itu. Kuda besi itu yang menemaninya menghabiskan masa muda bersama kawan-kawannya. Membelah dinginnya malam dengan motor Astrea Prima milik abah. Dengan motor itu pula, bapak mengantar pacarnya selamat sampai tujuan. Salah satunya ibuku yang menjadi pemilik jok belakang motor tua itu. Atas dasar itu yang membuat bapak tak mau melepas motor tua itu.
Bukannya aku tak sayang dengan si Jagur, aku hanya berpikir logis saja. Untuk apa mempertahankan barang yang kurang bermanfaat. Meskipun sudah diperbaiki tapi namanya motor tua performanya tak sebaik dulu. Contohnya saja bensinnya selalu menetes di lantai rumah saat terparkir. Hal itulah yang membuatku jengah. Jagur bisa dipakai tapi hanya untuk jarak yang tidak terlalu jauh.
ADVERTISEMENT
Aku juga berterima kasih pada motor tua itu. Saat di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) mamah sering menjemputku menggunakan motor tua itu. Ketika menungganginya, aku merasa ada di tahun 90-an sebab motor itu tak bisa melaju terlalu kencang maka mau tak mau harus pelan-pelan. Menikmati semilir angin di jalan raya, hitung-hitung melepas penat setelah seharian bekutik dengan pelajaran di sekolah.
Sepupuku menjadi tuan ketiga bagi motor Abah. Ia jadikan motor itu sebagai kendaraannya ke sekolah SMA. Ia pun semakin memoles kuda besi tua itu agar tampak lebih menarik. Motor itu pun ia jadikan untuk mencari uang jajan tambahan. Karena tak jarang ada orang yang mencari ojek. Walau ongkosnya tak seberapa cukuplah untuk membeli rokok.
ADVERTISEMENT
Kini motor itu ‘sehat’ dan mondar-mandir ke sana ke mari. Seperti pemilik pertamanya yakni abahku yang masih gagah bolak-balik ke kebunnya meski usianya sudah memasuki 90 tahun. Rasanya senang keduanya sama-sama sehat. Bahkan motor itu kini menjadi barang bermanfaat.
Penolakan kedua kalinya untuk menjual motor tua Abah membuatku tersadar. Abah, bapak dan keluarga ini memiliki banyak kenangan dengan motor itu terutama abah. Motor itu bukti kesukseksan abah sebagai petani di masa itu. Kemudian bapak menjaga motor itu sebaik mungkin sebagai bentuk kecintaan dan baktinya kepada orang tua. Kini keberadaannya menguntungkan. Aku juga sering menggunakannya untuk ke pasar. Larinya juga tak kalah dengan motor jaman sekarang. Masih gesit. Seperti abahku yang masih gagah berjalan ke sana kemari meski umurnya sudah menginjak usia 80-an.
ADVERTISEMENT