news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

UU ITE, Amnesti, dan Negara Hukum

Ayon Diniyanto
Dosen pada Jurusan Hukum Tata Negara IAIN Pekalongan. Hobi membaca dan menulis
Konten dari Pengguna
8 Oktober 2021 13:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayon Diniyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Ayon Diniyanto*
Ilustrasi UU ITE Foto: Maulana Saputra/kumparan
Prisiden Joko Widodo dikabarkan menyetujui pemberian amnesti kepada Saiful Mahdi yang merupakan dosen pada salah satu perguruan tinggi. Saiful Mahdi sebelumnya diputus bersalah berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor 432/Pid.Sus/2019/PN Bna dan dikuatkan dengan Putusan Pengadilan Tinggi Banda Aceh Nomor 104/PID/2019/PT BNA. Saiful Mahdi berdasarkan putusan pengadilan tersebut, dianggap telah memenuhi rumusan Pasal 27 Ayat (3) juncto Pasal 45 Ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik selanjutnya dalam tulisan ini disebut UU ITE.
ADVERTISEMENT
Seperti yang diberitakan kumparan.com, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Moh Mahfud MD menyatakan bahwa Presiden telah menyetujui pemberian amnesti untuk Saiful Mahdi. Pemberian amnesti dari Presiden adalah kewenangan yang diberikan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) menyatakan bahwa Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat. Artinya Presiden harus memperhatikan pertimbangan dari DPR terlebih dahulu untuk melaksanakan pemberian amnesti. Walaupun dalam UUD 1945 Pasal 14 ayat (2) tidak ada ketentuan Presiden harus mengikuti dan melaksanakan pertimbangan DPR.
Jika pemberian amnesti dari Presiden kepada Saiful Mahdi terlaksana setelah terlebih dahulu memperhatikan pertimbangan DPR, maka pemberian amnesti dari Presiden Joko Widodo setidaknya merupakan pemberian amnesti yang kedua, dalam kaitan dengan kasus pidana UU ITE. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun. Baiq Nuril Maknun merupakan terpidana berdasarkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 574/K/Pid.Sus/2018. Baiq Nuril Maknun berdasarkan putusan kasasi tersebut dianggap memenuhi rumusan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 55 ayat (1) UU ITE.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya apa yang dimaksud dengan amnesti? Amnesti mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah “pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak pidana tertentu”. Jadi dengan kata lain amnesti merupakan pengampunan atau penghapusan pemidanaan kepada terpidana.
Pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah, mengapa terjadi pemberian amnesti dari Presiden kepada pelanggar UU ITE? Apakah hukum dalam hal ini UU ITE belum memberikan keadilan bagi masyarakat? Sehingga Presiden sebagai Kepala Negara harus turun tangan untuk memberikan amnesti dalam rangka memberi keadilan bagi masyarakat? Pertanyaan tersebut tentu menarik untuk dijawab.
Pemberian amnesti oleh Presiden Joko Widodo kepada Baiq Nuril Maknun dan Saiful Mahdi (jika terlaksana) menandakan bahwa ada rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat akibat adanya UU ITE. UU ITE seolah belum memberikan rasa keadilan secara substansi dan menyeluruh kepada masyarakat. Oleh karena itu perlu melakukan evaluasi terhadap UU ITE. UU ITE perlu direvisi (diubah) kembali khususnya terkait dengan pasal-pasal yang berpotensi terjadinya kriminalisasi dan pasal-pasal karet. Hal ini agar tidak ada kejadian seperti Baiq Nuril Maknun dan Saiful Mahdi. Perlu ada konstruksi yang ideal dan lebih mencerminkan keadilan dalam UU ITE.
Infografik 9 Pasal Karet di UU ITE. Foto: kumparan
UU ITE jika benar direvisi kembali, maka harus lebih demokratis, responsif, dan aspiratif. UU ITE harus sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan lebih memberikan keadilan. Jangan sampai Presiden terus memberikan amnesti kepada pelanggar UU ITE. Mamang benar bahwa amnesti merupakan kewenangan konstitusional yang dimiliki Presiden. Namun dalam hal ini, penyelesaian kasus terkait UU ITE jangan sampai selalu bermuara di Presiden. Hal ini tentu kurang efektif dalam penegakan hukum jika penegakan hukum selalu bermuara berada di tangan Presiden. Mengingat dalam penegakan hukum juga ada ranah pengadilan (kekuasaan yudikatif). Putusan dari pengadilan terkait dengan penegakan hukum juga harus dihormati dan dilaksanakan. Oleh karena itu penting untuk melakukan perbaikan hukum termasuk perbaikan UU ITE agar penegakan hukum dapat berjalan dengan tepat.
ADVERTISEMENT
Indonesia telah kita ketahui semua merupakan negara hukum. Hal tersebut secara tegas tercantum dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3). Konsekuensi dari negara hukum, maka hukum harus dijadikan sebagai panglima. Peraturan perundang-undangan sebagai hukum harus ditegaskan. Namun sebelum menegakan hukum atau peraturan perundang-undangan. Perlulah dibentuk peraturan perundang-undangan yang mampu memberikan keadilan bagi masyarakat. Jangan sampai hukum atau peraturan perundang-undangan ditegaskan, tetapi hukum atau peraturan perundang-undangan tersebut tidak memberikan keadilan bagi masyarakat.
*Penulis merupakan Dosen pada Jurusan Hukum Tata Negara IAIN Pekalongan