Konten dari Pengguna

Belajar dari Studi Doktoral Dua Tokoh Bangsa

Ayu Novita Pramesti
Aparatur Sipil Negara yang melayani guru, tenaga kependidikan, dan pemangku kepentingan di bidang pendidikan di Direktorat Jenderal GTK, Kemendikbud
15 Juli 2024 9:43 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayu Novita Pramesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi wisuda. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Dari sekian banyak tokoh bangsa yang dimiliki Indonesia, ada dua tokoh yang memperoleh privilege untuk menempuh studi doktoral di luar negeri. Mereka adalah Salim Said dan Mardjono Reksodiputro.
ADVERTISEMENT
Saya telah membaca perjalanan hidup kedua tokoh tersebut. Adapun kisah ketika mereka menempuh studi doktoral sangat berkesan bagi saya sehingga saya ingin membagikannya dalam tulisan singkat ini.
Salim Said
Seniman, wartawan, diplomat, ilmuwan. Itulah keempat peran yang pernah dijalankan Salim Haji Said. Pria kelahiran Pare-Pare yang baru wafat pada 18 Mei 2024 ini berhasil menyelesaikan studi doktoral di Ohio State University (OSU). Ketika menempuh studinya, Pak Salim banyak menghabiskan waktu untuk membaca.
Dalam kisah studi yang ditulis beliau sendiri di bukunya yang berjudul ‘Dari Gestapu ke Reformasi’, beliau menyebutkan bahwa bacaan tiap kuliah betul-betul “mengerikan”. Suatu kali beliau iseng menghitung halaman buku yang harus dibaca, yaitu sekitar 13.000 halaman. Jumlah halaman buku tersebut harus beliau baca dalam 10 pekan sebagai bahan untuk menulis makalah.
ADVERTISEMENT
Selain tantangan untuk banyak membaca, Pak Salim juga menghadapi tantangan yang lain, yaitu mata kuliah statistik. Beliau tidak terlalu pandai dalam berhitung sejak sekolah, sehingga beliau belajar statistik pada seniornya asal Indonesia yang juga berkuliah OSU. Agar tidak mengganggu seniornya itu, beliau memutuskan untuk belajar statistik dengan seorang mahasiswa Amerika dengan bayaran tujuh setengah dolar per jam.
Selain itu, beliau juga mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan tugas kelas statistik kapan saja, asal selesai sebelum ujian akhir. Hal tersebut beliau peroleh berkat lobi supervisornya kepada pengajar mata kuliah statistik.
Suatu hari, beliau pernah merasa sakit. Ketika diperiksa di Health Centre kampus, dokter mengatakan beliau sehat-sehat saja. Kemudian, dokter bertanya mata kuliah apa yang belum selesai. “Statistik,” jawab beliau. "That is your trouble,” kata dokter itu tersenyum. Setelah lulus mata kuliah statistik, beliau tidak sakit lagi.
ADVERTISEMENT
Ada pesan berharga dari Pak Salim terkait pengalaman studinya ini. Beliau selalu mengatakan bahwa tidak semua yang memperoleh gelar doktor di Amerika itu cemerlang, tapi semua mereka pernah bekerja keras. Pesan itu sepertinya juga relevan bagi yang menempuh studi doktoral di mana saja.
Mardjono Reksodiputro
Dekan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) periode 1984-1990 ini mendapatkan kesempatan untuk menempuh studi doktoral di Universitas Utrecht, Belanda. Pak Boy, begitu beliau biasa dipanggil, berencana akan membuat disertasi mengenai hukum acara pidana yang berkaitan dengan hak asasi manusia.
Pak Boy sudah berdiskusi panjang lebar dengan promotornya, Prof. A.A.G Peters untuk menentukan topik penelitian disertasinya. Namun, beliau tidak dapat fokus pada studi doktoralnya karena harus bolak-balik Jakarta-Utrecht untuk menjalankan tugas sebagai Dekan FHUI. Sebenarnya, Pak Boy mampu menulis 15-20 halaman sesuai dengan bidang ilmunya. Tetapi, beliau menyerah ketika diminta menulis disertasi paling sedikit 200 halaman.
ADVERTISEMENT
Inilah nasihat Pak Boy untuk kita semua, khususnya bagi yang sedang menempuh studi doktoral,” Membuat disertasi itu seperti membangun rumah. Kita harus punya gambarnya, mau ditempatkan di mana. Ini beranda, kamar tidur, dapur, dan seterusnya. Kita juga harus mempunyai waktu yang cukup dan konsentrasi yang penuh untuk membangunnya”
Walaupun tidak berhasil meraih gelar doktor, Pak Boy dikukuhkan menjadi Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum FHUI pada 30 Oktober 1993. Waktu itu, pidato pengukuhannya berjudul Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Melihat kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi. Vivant Professores!