Konten dari Pengguna

Anak Kita Sedang Terluka di Media Sosial, Tapi Kita Malah Memberinya Cermin

Ayu Puspitasari
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Boyolali
8 Mei 2025 11:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayu Puspitasari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar dihasilkan oleh Sora OpenAI, merupakan Ilustrasi anak menangis akibat tekanan digital, kurangnya empati dan refleksi yang justru memperparah luka emosional.
zoom-in-whitePerbesar
Gambar dihasilkan oleh Sora OpenAI, merupakan Ilustrasi anak menangis akibat tekanan digital, kurangnya empati dan refleksi yang justru memperparah luka emosional.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia yang bergerak cepat menuju digitalisasi total, anak-anak Indonesia tengah berada dalam pusaran deras representasi visual yang kian mengaburkan batas antara kepolosan dan kedewasaan. Media sosial, khususnya Instagram dan TikTok, telah menjadi panggung utama di mana anak-anak bukan hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor. Sayangnya, banyak dari mereka kini tampil bukan sebagai anak-anak, melainkan sebagai miniatur orang dewasa. Fenomena ini tidak hanya mengkhawatirkan, tetapi mendesak untuk segera ditangani.
ADVERTISEMENT
Salah satu studi UNICEF (2022) menunjukkan bahwa 4 dari 10 anak Indonesia usia 10-17 tahun telah aktif di media sosial sejak usia SD. Lebih mengejutkan, laporan Kominfo pada 2023 mencatat bahwa anak-anak di bawah umur adalah kelompok dengan pertumbuhan pengguna media sosial tercepat di Indonesia. Mereka terpapar konten dewasa, termasuk simbolisasi tubuh, gaya berpakaian sensual, hingga narasi cinta dan relasi yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan mereka.
Yang menjadi persoalan bukan hanya “apa yang mereka lihat,” tetapi juga “apa yang mereka tirukan.” Di tengah demam konten viral, banyak akun orang tua atau pengasuh justru mendorong anak-anak mereka untuk meniru gaya dewasa demi engagement. Ini terlihat dari bagaimana sejumlah akun publik mengunggah foto dan video anak-anak dengan pakaian dan pose dewasa, lengkap dengan caption romantis, meniru selebriti dewasa. Konten semacam ini kerap dibungkus dengan dalih “lucu,” “bakat modeling,” atau “calon selebgram,” padahal yang terjadi adalah eksploitasi visual yang bisa berdampak panjang pada pembentukan identitas anak.
ADVERTISEMENT
Menurut Psikolog Anak dan Remaja, Vera Itabiliana Hadiwidjojo, dalam wawancaranya (2023), paparan terhadap simbolisasi kedewasaan yang prematur bisa menyebabkan distorsi persepsi diri, gangguan citra tubuh, hingga hilangnya fase perkembangan psikologis yang penting. Anak-anak bukan hanya kehilangan masa kecilnya, tapi juga berpotensi tumbuh dengan krisis identitas. Namun, kesalahan tidak bisa ditumpukan pada anak semata.
Ini adalah tanggung jawab kolektif: orang tua, kreator konten, hingga regulator. Sejauh ini, Indonesia masih kekurangan regulasi khusus yang melindungi anak dari eksploitasi visual digital. Meski UU Perlindungan Anak telah mengatur soal eksploitasi secara umum, namun praktik-praktik manipulatif yang dibungkus dalam estetika konten belum tersentuh hukum secara memadai.
Kini saatnya kita bertanya: untuk siapa konten itu dibuat? Jika jawabannya adalah untuk “keuntungan dewasa,” maka kita sedang menggunakan masa kecil anak-anak sebagai alat dagang digital.
ADVERTISEMENT
Sudah saatnya ada regulasi yang mengatur batasan eksplisit penggunaan wajah dan tubuh anak di media sosial. Konten berbayar yang melibatkan anak perlu diawasi seperti halnya iklan di televisi. Edukasi literasi digital untuk orang tua juga harus diperkuat, bukan hanya soal keamanan siber, tapi juga etika representasi anak. Jika kita tidak bertindak sekarang, maka dalam beberapa tahun ke depan, kita akan menuai generasi yang tumbuh dalam krisis identitas dan kehausan validasi digital. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang dengan sadar menukar kepolosan masa kecil demi likes dan view semata.
Anak-anak berhak atas masa kecilnya. Dan kita, orang dewasa, wajib menjaganya.