Konten dari Pengguna

Belajar Pendidikan Karakter dari Thomas Lickona (Buku: Educating for Character)

22 Mei 2017 7:33 WIB
clock
Diperbarui 14 Maret 2019 21:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayu Sukmayani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Belajar Pendidikan Karakter dari Thomas Lickona (Buku: Educating for Character)
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Karakter adalah tujuan tertinggi dalam sebuah pendidikan. pendidikan karakter saat ini banyak menjadi sorotan karena banyak hal, salah satunya adalah karena ternyata pendidikan sebelumnya belum mampu mencetak manusia yang tidak hanya terdidik secara intelektual namun juga terdidik secara spiritual, akhlaq dan moral. Dalam buku Thomas Lickona yang berjudul “Educating for Character” banyak menceritakan dan menjelaskan terkait bagaimana menanamkan karakter dalam pendidikan. Pada BAB 11 tentang Kesadaran Nurani, penulis banyak membahas tentang karakter disiplin dan tanggung jawab terhadap pekerjaan.
ADVERTISEMENT
Dalam bukunya, Lickona menyoroti permasalahan-permasalahan dalam dunia pendiidkan yang dirasakan langsung oleh para Guru, dalam penelitiannya beberapa ahli lainnya ia banyak menemukan permasalahan terkait menurunnya kebiasaan siswa dan motivasi belajar siswa. Kebiasaan dan motivasi ini kemudian berdampak pada kualitas siswa tersebut. Dijelaskan kembali bahwa “pada 20 tahun terakhir ini pendidikan di Amerika mengalamipenurunan dibandingkan dengan di wilayah Asia. Pada sebuah tes internasional tentang pencapaian akademik di 19 mata pelajaran, siswa-siswa Amnerika Serikat mencapai peringkat akhir di 7 mata pelajaran, termasuk Algebra dan Biologi.
Seorang Psikoanalis ternama Bruno Bettelheim menyatakan bahwa pencapaian pada suatu bidang membutuhkan karakter disiplin pribadi antara lain: menekanprinsip kesenanganmaksudnya adalah siswa harus ditanamkan prinsip bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian. Banyak gangguan dan godaan ketika siswa akan menyelesaikan tuga maupun pekerjaannya, dengan menanmkan prinsip tersebut siswa akan terhindar dari godaan gadjet, nonton TV, dan sebagainya. Selanjutnya adalah prinsip realitas, artinya adalah siswa memiliki prinsip bahwa untuk sukses di masa depan pendidikan adalah sebuah investasi yang menjanjikan, berdasarkan teori human Capital, pendidikan akan menghasilkan keuntungan di masa depan dimana manusia yang terdidik akan akan memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih layak dengan penghasilan yang lebih tinggi. Namun sayang, para remaja khususnya, dewasa ini belum memiliki kemampuan itu. Mereka belum bisa “menunda kepuasan” dan tergoda dengan hal-hal duniawidan bersifat sementara dan mengorbankan waktu mereka yang berharga untuk hanya sekedar bersenang-senang.
ADVERTISEMENT
Bila dilihat dari sudut pandang nilai pendidikan, menurut Lockona langkah pertama yanng harus dilakukan oleh sekolah adalah memperlaakukan pekerjaan seperti memiliki kepentingan moral dan bekerja sebagai pembelajaran sepertiaktivitas moral yang berkontribusi dalam pengembangan karakter. Kedua, menyadari bahwa sekolah bukan hanya melibatkan pendidikan yang buruk, tetapi juga moral yang buruk, jika untuk alasan apapun siswa tidak melakukan pekerjaan sebagai suatu pembelajaran. Dan yang terakhir adalah menemukan apa yang harus pendidikan perjuangkan pada era pengembangan karaktersnya itu.
Menurut Green, kesadaran nurani membuat kita melakukan pekerjaan dengan baik, apapun seharusnya itu. Untuk memiliki kesadaran nurani yang berkembang, kita harusmemiliki kapasitas measakan kepuasan saat pekerjaanselesai dnegan baik dan merasa malu saat pekerjaan dilakukan dengan ceroboh. Sebuah sekolah yang membuat komitmen untuk mengembangkan kesadaran nurani dan nilai-nilai pekerjaan lainnya harus menggunakan strategi pembelajaran kooperatif. Dengan pembelajaran kooperatif ini, akanmembantu siswa dalam mengembangkan rasa kerjasama karena mereka bergantung pada temannya untuk melakukan pekerjaan itu. Kelompok kooperatif dapat mentransformasikan etika antikerja sebaya menjadi positif sebaya untuk bekerja dengan baik.
ADVERTISEMENT
Ed Wynnes, seorang profesor pendidikan dari Universitas Illionis di Chicago, mengobservasi bahwa kewajiban pertama seorang guru sebagai pendidik moral adalah mengajar dengan baik. Seringkali guru harus mencoba menyampaikan ekspektasi tinggi mereka di hadapan siswa yang memiliki ekspektasi rendah pada dirinya sendiri. Guru yang baik bukan hanya menentukan standar yang tinggi tetapi mereka pun membantu siswanya membuat standar terebut menjadi milik mereka. Misalnya, Jo Daley, seorang guru kelas 6 sekolah Katolik di Thunder Bay, Ontario, membantu perkembangan kesadaran nurani siswanya dengan mengajarkan strategi untuk evaluasi diri.
Ekpektasi tinggi menjadi sangat efektif saat dikombinasikan dengan dukungan penuh. Menerjemahkan ekspektasi tinggi menjadi pengajaran yang efektif juga berarti mengakomodasi gaya belajar yang berbeda-beda. Guru harus mampu memenuhi semua gaya beljar siswa, baik gaya belajar audio, visual, maupun kinestetik. Sehingga setiap kebutuhan anak dalam belajar dapat terpenuhi dengan biak. Selain gaya belajar yang berbeda-beda, siswa juga memiliki ketertarikan yang berbeda-beda. Ini adalah tantangan bagi seorang guru. karena, ketika pelajaran tidak sesuai dengan ketertarikan siswa maka pelajaran tersebut akan menjadi sangat membosankan. Ini akan berakibat pada motivasi belajar siswa, sehingga mengemas pelajaran dan tugas siswa kedalam hal-hal yang menjadi kegemaran mereka menjadi solusi yang tepat. Disinilah kreatifitas seorang guru di pertaruhkan.
ADVERTISEMENT