Konten dari Pengguna

Stigma Sosial terhadap Whistleblower: Pengungkap Fakta Dianggap Pengkhianat?

AYU WULAN SARI
Mahasiswa Politeknik Statistika STIS
9 September 2024 11:37 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AYU WULAN SARI tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: canva.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: canva.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Di era yang semakin maju dan modern, informasi menjadi sangat mudah diakses, tetapi sering kali juga menjadi isu yang sensitif. Informasi yang didukung oleh bukti kuat memiliki kekuatan besar untuk mengungkap kebenaran. Namun, masih banyak orang yang belum memiliki keberanian untuk menyuarakan kebenaran tersebut. Mereka yang berani melakukannya sering disebut sebagai whistleblower. Meskipun tujuan mereka adalah mengungkap kebenaran, melindungi kepentingan umum, dan memperbaiki sistem banyak whistleblower yang menghadapi stigma sosial berat, dicap sebagai pengkhianat, dan bahkan menjadi korban pengucilan.
ADVERTISEMENT
Whistleblower adalah individu yang dengan keberanian mengungkapkan pelanggaran, penipuan, atau perilaku tidak etis di dalam organisasi, baik itu di sektor publik maupun swasta. Tindakan mereka sering kali didorong oleh rasa keadilan, tanggung jawab moral, dan keinginan yang kuat untuk melindungi kepentingan umum. Seorang whistleblower biasanya memiliki pengetahuan langsung tentang dugaan pelanggaran atau kejahatan karena berada atau bekerja dalam sebuah kelompok yang terorganisir di perusahaan, institusi publik, atau institusi pemerintah yang diduga melakukan kejahatan. Terkadang, whistleblower juga adalah saksi langsung, meskipun tidak terlibat dalam kejahatan tersebut. Ironisnya, orang yang tidak terlibat dalam kegiatan ilegal tersebut sering dianggap berbeda bahkan dikucilkan.
Dalam banyak kasus, whistleblower telah berjasa dalam mengungkap skandal besar yang melibatkan korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak asasi manusia, hingga masalah kesehatan dan keselamatan. Keberhasilan seorang whistleblower sangat bergantung pada kredibilitasnya yang didasarkan pada validitas bukti serta kepercayaan publik terhadap pengungkapnya. Dalam banyak kasus, jika karakter dan bukti yang disampaikan oleh whistleblower dapat dipercaya, potensi kerusakan reputasi terhadap pihak yang bersangkutan hampir tidak dapat dihindarkan. Contoh terkenal dari whistleblower adalah Edward Snowden, yang mengungkap program pengawasan massal oleh pemerintah Amerika Serikat dan Julian Assange, yang melalui WikiLeaks membocorkan dokumen rahasia yang mengungkap berbagai kebijakan kontroversial. Di Indonesia, ada Munir Said Thalib, yang mengungkap pelanggaran hak asasi manusia sebelum akhirnya terbunuh pada tahun 2004. Ketiga contoh ini menunjukkan bahwa tindakan seorang whistleblower dapat mengganggu status quo dan mengungkap kebenaran yang tidak diinginkan oleh pihak berwenang. Meskipun tindakan ini penuh risiko, dampaknya sering kali signifikan, memperkuat prinsip transparansi, dan memicu perubahan sistemik yang penting untuk menjaga integritas dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Stigma pengkhianat yang sering disematkan pada whistleblower dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, pengaruh dari pihak yang merasa dirugikan oleh pengungkapan tersebut. Organisasi atau individu yang terlibat dalam pelanggaran cenderung melakukan serangan balik terhadap whistleblower dengan menyebarkan narasi bahwa tindakan mereka adalah bentuk pengkhianatan terhadap kelompok mereka. Mereka akan melakukan provokasi untuk membalikkan opini publik dengan cara propaganda melalui media yang berpihak, sehingga whistleblower digambarkan sebagai individu yang tidak setia dan merusak reputasi kelompok.
Faktor kedua adalah budaya kolektivisme yang kuat di kalangan masyarakat, termasuk di Indonesia. Masyarakat kita sering kali memandang loyalitas kepada kelompok atau organisasi sebagai nilai yang lebih penting daripada kebenaran atau keadilan. Pada awalnya, mungkin seorang whistleblower merupakan bagian dari kejahatan tersebut. Namun, karena bertentangan dengan nurani dan prinsip, ia akhirnya memilih untuk mengungkapkan kebenaran. Akibatnya, whistleblower yang dianggap melanggar loyalitas ini sering diasingkan oleh kelompok sosialnya sendiri karena dianggap telah menghancurkan harmoni dan persatuan kelompok.
ADVERTISEMENT
Faktor ketiga adalah ketakutan terhadap perubahan. Kebenaran yang diungkap oleh whistleblower sering kali menuntut adanya perubahan dalam sistem atau tatanan organisasi yang ada. Namun, perubahan ini sering kali menimbulkan ketidaknyamanan dan ketidakpastian. Masyarakat cenderung lebih nyaman dengan status quo, meskipun ada ketidakadilan di dalamnya, daripada harus menghadapi konsekuensi dari pengungkapan kebenaran.
Stigma yang melekat pada whistleblower bukan hanya merusak reputasi mereka, tetapi juga berdampak serius pada kehidupan pribadi dan profesional mereka. Banyak whistleblower yang kehilangan karier, diancam, diintimidasi, atau bahkan harus hidup dalam pengasingan untuk melindungi diri dan keluarga mereka. Yang paling parah, mereka bisa mengalami masalah kesehatan mental seperti stres, depresi, dan kecemasan akibat tekanan yang mereka hadapi. Oleh karena itu, stigma dan konsekuensi ini sering kali membuat orang lain enggan untuk berbicara. Ketika masyarakat melihat bagaimana whistleblower diperlakukan, mereka menjadi takut akan mengalami hal yang sama, sehingga mengurungkan niat untuk mengungkapkan kebenaran. Dampak terburuknya adalah terciptanya budaya diam, di mana pelanggaran-pelanggaran terjadi tanpa ada yang berani untuk mengungkapnya.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi stigma terhadap whistleblower dan mencegah budaya diam, diperlukan beberapa langkah. Pertama, masyarakat perlu mengubah cara pandangnya. Kesadaran bahwa whistleblower bukanlah pengkhianat, melainkan pahlawan yang berani melawan ketidakadilan, harus ditanamkan. Pendidikan dan kampanye kesadaran publik dapat membantu mengubah pandangan ini dengan menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keberanian dalam mengungkap kebenaran. Kedua, diperlukan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi whistleblower. Banyak negara telah memiliki undang-undang yang melindungi whistleblower, tetapi pelaksanaannya sering kali lemah. Perlindungan ini harus mencakup tidak hanya keamanan fisik, tetapi juga perlindungan dari intimidasi dan diskriminasi di tempat kerja. Ketiga, media dan publik harus memainkan peran penting dalam mendukung whistleblower. Media harus bertanggung jawab dalam menyajikan informasi secara objektif dan mendukung upaya whistleblower untuk mengungkap kebenaran, bukan malah memperkuat narasi negatif yang merugikan mereka.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perlu disediakan wadah atau sarana sebagai jembatan bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, keluhan, atau temuan yang mereka dapati dengan jaminan kerahasiaan identitas pelapor. Tujuan utama dari hal ini adalah agar masyarakat tidak merasa terintimidasi dan mampu menumbuhkan keberanian untuk melapor tanpa rasa takut akan ancaman atau serangan balik. Sebuah contoh yang baik dari upaya ini adalah yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi D.I.Yogyakarta. Tim TIK BPS membangun aplikasi berbasis web bernama PANDU (Pusat Pengaduan Terpadu) yang menjadi sarana bagi seluruh pegawai di lingkungan BPS se-provinsi D.I.Yogyakarta untuk berkomunikasi langsung dengan Kepala BPS Provinsi D.I.Yogyakarta dalam menyampaikan pelaporan tanpa terungkapnya identitas mereka bahkan kepada kepala BPS sekalipun.
ADVERTISEMENT
Sistem di aplikasi PANDU dirancang sedemikian rupa dengan menggunakan enkripsi pada database sehingga pesan-pesan yang dikirimkan oleh pelapor tidak tersimpan dalam bentuk teks yang dapat dibaca. Dengan kata lain, tidak ada tabel atau data yang menyimpan isi pesan yang sebenarnya yang menjaga anonimitas pelapor secara menyeluruh. Langkah-langkah seperti ini sangat penting dalam membangun lingkungan yang aman dan terpercaya dimana keberanian untuk mengungkapkan kebenaran dapat terus tumbuh dan dilindungi. Hanya dengan dukungan yang kuat dan sistem yang aman, whistleblower dapat merasa terlindungi sehingga keberanian untuk mengungkap kebenaran dapat dijaga dan dihargai oleh masyarakat.
Sumber:
Asriansyah, M. F. (2023). The Power of Orang Dalam pada Whistle Blower System. Djkn.kemenkeu.go.id. Retrieved August 29, 2024, from https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kanwil-sumut/baca-artikel/16410/The-Power-of-Orang-Dalam-pada-Whistle-Blower-System.html
ADVERTISEMENT
Foxley, I. (2019). Overcoming stigma: Whistleblowers as ‘supranormal’ members of society? Ephemera Theory & Politics in Organization, 19(4), 847-864. http://www.ephemerajournal.org/
Turner, S. (2023, April 25). The systemic silent killer – ending the stigma around whistleblowing: a blog by Steve Turner. Patient Safety Learning - the hub. Retrieved August 29, 2024, from https://www.pslhub.org/learn/culture/whistle-blowing/the-systemic-silent-killer-%E2%80%93-ending-the-stigma-around-whistleblowing-a-blog-by-steve-turner-r9182/