Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.102.2
Konten dari Pengguna
Praktik Tokenisme dalam Dunia Politik, Bagaimana Bisa Terjadi?
25 Juni 2022 6:26 WIB
Tulisan dari Ayu Anggraini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Keberadaan kaum minoritas sering dipandang sebagai posisi yang kurang menguntungkan. Secara sederhana, minoritas sendiri dapat diartikan sebagai kelompok kecil dalam suatu wilayah atau populasi. Penggolongan kelompok minoritas dapat bersumber dari ras, gender, etnis, dan lain sebagainya.
Lisdarniati dan Effendi (2019), menyebutkan bahwa kelompok minoritas mengalami kesulitan untuk bisa diterima oleh kelompok yang lebih mayoritas. Dalam dunia politik, kelompok minoritas yang jumlahnya di bawah 50% dari total populasi akan mengalami kesulitan dalam memenangkan demokrasi. Hal ini membuat posisi kelompok minoritas menjadi semakin tidak menguntungkan.
Namun, sebenarnya terdapat hal lain yang turut memperburuk posisi kelompok minoritas, yaitu adanya praktik tokenisme. Hogg dan Vaughan dalam bukunya yang berjudul Social Psychology (8th edition) menyebutkan bahwa tokenisme atau tokenism merupakan satu dari tiga jenis diskriminasi implisit (diskriminasi yang diekspresikan secara halus dan tersembunyi). Lalu, apa yang dimaksud dengan tokenisme itu sendiri?
Tokenisme mengacu pada tindakan positif yang relatif kecil terhadap kelompok minoritas. Tindakan tersebut dilakukan dengan tujuan untuk menangkis tuduhan prasangka dan diskriminasi serta pembenaran untuk menolak tindakan positif yang lebih besar dan bermakna ke depannya. Secara lebih sederhana, tokenisme dapat diartikan sebagai tindakan setengah hati atau tidak tulus terhadap kelompok tertentu, di mana terdapat prasangka yang terlibat di dalamnya.
Lalu, bagaimana praktik tokenisme dapat terjadi dalam dunia politik? Sekarang mari kita coba renungkan sejenak fenomena politik yang terjadi di negeri kita. Pernahkah Anda melihat atau membaca berita tentang politik di mana suatu partai politik menjadikan kelompok minoritas sebagai tokoh yang memegang peranan penting dalam partai mereka? Misalnya, seorang wanita dicalonkan sebagai seorang ketua, orang etnis Tionghoa dipilih sebagai calon bupati bagi populasi masyarakat Jawa, atau tokoh dari suku minoritas tertentu mendapatkan kursi penting dalam pemerintahan.
Beberapa contoh di atas dapat merujuk pada praktik tokenisme dalam dunia politik. Namun, hal yang perlu ditekankan di sini adalah ada atau tidaknya prasangka yang mendasari tindakan tersebut. Apabila suatu partai politik memberi posisi penting bagi kelompok minoritas hanya untuk tujuan menghindari tuduhan prasangka dan diskriminasi maka tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai praktik tokenisme.
Hal ini kemudian menjadi tantangan baru untuk menilai kapan suatu tindakan dapat dikatakan sebagai praktik tokenisme atau bukan. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, tokenisme merupakan bentuk diskriminasi implisit, yaitu diskriminasi yang dilakukan secara halus atau tidak terlihat secara jelas. Sebab, ada tidaknya prasangka tentu akan sulit diketahui oleh orang lain di luar kelompok atau partai politik tersebut.
Selanjutnya, pertanyaan yang mungkin muncul dari praktik tokenisme adalah bagaimana dampaknya terhadap kelompok minoritas? Bukankah justru kelompok minoritas akan merasa diuntungkan dengan hal ini? Jika kita perhatikan secara sekilas, tokenisme tampak menawarkan kesempatan baru yang menguntungkan bagi kelompok minoritas. Namun, benarkah hal tersebut?
Faktanya, Hogg dan Vaughan (2018), menjelaskan bahwa tokenisme dapat memiliki konsekuensi yang merusak pada harga diri kelompok minoritas. Misalnya, seorang tokoh dari suku minoritas yang kemudian dicalonkan untuk menjadi ketua partai politik dapat memiliki kekhawatiran. Apakah tokoh tersebut dicalonkan karena memang dia memiliki kompetensi yang layak atau hanya untuk menutupi tuduhan prasangka dan diskriminasi terhadap partai politiknya? Hal ini kemudian dapat berimbas pada harga diri tokoh tersebut.
Dari segi psikologi, harga diri yang rendah dapat memberi dampak yang negatif bagi perkembangan individu. Harga diri dapat mencerminkan seberapa puas individu terhadap dirinya sendiri serta berkaitan pula dengan kondisi mentalnya. Harga diri yang rendah dapat menyebabkan individu mengevaluasi secara negatif dirinya sendiri. Hal ini kemudian akan berpengaruh pada menurunnya produktivitas, terganggungnya hubungan interpersonal, munculnya rasa pesimis, dan dampak negatif lainnya.
Melihat dampak buruk yang ditimbulkan dari adanya praktik tokenisme maka sudah sepatutnya kita mulai peduli dengan isu tersebut. Pada dasarnya, diskriminasi bisa sangat dekat dengan kehidupan kita, tetapi wujudnya sangat sulit dilihat karena dimanifestasikan secara implisit. Namun, hal ini bukan berarti kita akan mengabaikan hal tersebut, bukan?
ADVERTISEMENT