Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Kembalinya Peranan Agama dalam Sejarah Perkembangan Hubungan Internasional
26 Juni 2021 5:43 WIB
·
waktu baca 3 menitDiperbarui 13 Agustus 2021 14:06 WIB
Tulisan dari Al Ayyubi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Latar Belakang Pemisahan Agama
Teman-teman, sebelum memperincikan keterkaitan isu HI dengan agama mari kita tinjau latar belakang sejarahnya. Terutama bagaimana agama dipisahkan dari perihal Hubungan Internasional. Sulit dipungkiri dalam perkembangan tradisi HI nilainya cenderung posivitisme di mana rasionalitas dan perihal kepentingan duniawi diutamakan – sehingga nilai normatif sebagaimana agama dikesampingkan.
ADVERTISEMENT
Hal demikian terjadi tidak lepas dari empirisme sejarah bahwa Hubungan Internasional modern eksis pada Perjanjian Westphalia (1648) yang mana setiap negara menjadi berdaulat dan berdamai setelah tragedi pertempuran yang berlangsung pada Perang 30 Tahun.
Trauma bangsa Eropa terhadap keberadaan agama yang hanya digunakan untuk berkonflik dan bermusuhan menghadirkan gagasan sekularisme untuk memisahkan agama dengan politik. Posisi agama pun kemudian menjadi semakin termarginalkan oleh pandangan sekuler yang mendominasi ilmu HI seperti liberalisme, realisme, konstruktivisme, dan lain sebagainya.
Semua muncul di bawah payung tradisi positivis Hubungan Internasional selama ratusan tahun. Pada saat itu juga State System dan Capitalist System diperkenalkan pada kacamata sekularisme yang memberi kontribusi gadang terhadap studi relasi antar negara.
ADVERTISEMENT
Kembalinya Pandangan Agama dalam HI
Belum selesai sampai di sana, polemik mengenai ilmu HI kerap kali terjadi dalam rentetan sejarah. Lambat laun positivisme yang mutlak mengagungkan rasionalitas terancam dominasinya oleh kalangan posmodernisme, pospositivisme, dan lainnya. Mereka berpandangan akal pikiran tak bisa sepenuhnya digunakan dalam menuntaskan masalah manusia. Setelah Perang Dunia Kedua pemikiran positivisme tergeserkan oleh kritik-kritik perspektif pospositivis yang menghasilkan juga teori Non-Barat. Di situ Hubungan Internasional dari perspektif Islam, China, dan Asia Timur diperkenalkan secara luas untuk melengkapi teori HI yang Barat sentris. Itu pula menjadi momen kembalinya peranan agama dalam aspek Hubungan Internasional.
Kita dapat meninjau, dalam perspektif Islam teori Hubungan Internasional versi Barat tidak bisa diadopsi secara utuh karena sulit dipungkiri HI Barat terkonstruksi oleh pengalaman Eropa yang berbeda dengan empirisme Peradaban Islam. Islam dalam interpretasinya bisa menjadi sekuler dengan memprioritaskan kepentingan dunia, namun itu semua akan kembali sebagai wujud ibadah kepada Allah. Jadi hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia berkaitan satu sama lain serta tidak bisa dipisahkan begitu saja – seperti definisi sekuler barat. Tidak salah bila menurut Acharya (2010) teori HI Barat dibangun atas pencapaian kolonialisme dan imperialisme sehingga tidak bisa dipraktikkan secara menyeluruh.
ADVERTISEMENT
Ayat Al-Quran berbunyi “Lakum dinukum wa liyadin” (Q.S. Al-Kafirun: 06) dapat menjadi landasan nilai pluralitas pada perspektif Islam dalam menanggapi keberagaman di kancah internasional. Dimarginalkannya agama dalam HI klasik tidak bisa seutuhnya dibenarkan karena perihal demikian bertentangan dengan pluralisme, sehingga ada eloknya agama kembali diposisikan dalam HI. Konsep Rahmatan lil ‘Alamin Islam sendiri serupa dengan universalisme kemanusiaan yang dapat melengkapi pandangan HI barat agar lebih normatif.
Adapun menurut Maliki (2009) dalam jurnalnya, perlu diketahui nilai protestan mempengaruhi HI yang sekuler, sehingga HI versi Barat yang modern pun tetap memiliki spirit Kekristenan di mana akal budi manusia (rasionalitas) merupakan wahyu Tuhan. Metafor modernitas sebagai ibu dan bapa sebagai Kristen yang selaras termasuk nilai Kristen yang ada dalam gagasan sekuler HI. Jadi sulit dinafikan kalau Hubungan Internasional selama ini dilengkapi oleh nilai dan kultur beragam agama sehingga keberadaan agama tak patut bila terus-terusan dimarginalkan.
ADVERTISEMENT
Isu Agama menjadi Penting dalam Studi HI Kontemporer
Pasca peristiwa 9/11, peranan agama semakin diperkuat dalam Hubungan Internasional. Persepsi dan stigma antar agama semakin menguat sehingga para pakar dan cendekiawan HI semakin menggali serta menghubungkan nilai agama dalam studi mereka. Benturan peradaban yang digagas Huntington sebelum 9/11 pun semakin menjadi pembahasan berpolemik, tidak banyak yang menyetujui konsep Clash of Civilization. Contoh kritik menurut saya terletak pada pemetaan identitas Uighur yang dianggap peradaban Sinic, padahal secara identitas masih amat erat dengan Peradaban Islam. Jadi tidak salah bila ada asumsi atau dugaan pandangan Huntington seolah-olah membenarkan asimilasi paksa. Sebab menurut artikel BBC Indonesia (03/03/2021), kamp konsenterasi yang dibuat di Xinjiang memiliki tujuan utama untuk asimilasi terstruktur.
ADVERTISEMENT
Dan agama memang masih perlu dilibatkan pada masa kontemporer ini karena agama bisa berperan menjawab persoalan yang tengah terjadi di dunia. Contohnya inisiasi Dialog antar Peradaban yang dilanjutkan pada Aliansi Peradaban (2005) agar menjembatani setiap peradaban supaya saling memahami demi menjaga perdamaian. Seyed Mohammad Khatami (2001) selaku mantan Presiden Iran menarik untuk dikaji mengingat idenya mempertemukan setiap peradaban yang identitasnya berbeda dengan melibatkan banyak aktor seperti filsuf, cendekiawan, seniman, dan lain-lain. Semua dilakukan untuk menyelaraskan rentetan sejarah peradaban dan berbagai aspek identitas yang tercakup.