Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mesir, Sudan dan Ethiopia Berkonflik di Sungai Nil: Begini Upaya Penyelesaiannya
22 Januari 2024 12:20 WIB
Tulisan dari Ayu Maruti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sungai Nil merupakan Sungai terpanjang kedua di dunia yang menjadi sumber mata air yang mengaliri 11 negara di Benua Afrika. Sungai Nil sendiri memiliki dua anak Sungai yakni Nil Biru dan Nil Putih yang akan bertemu di Utara Khartoum, ibukota Sudan, kemudian berlanjut mengalir ke Mesir dan berakhir di Delta Besar, dan berlanjut hingga Laut Mediterania. Keberadaan Sungai Nil sangat penting bagi keberlangsungan pemenuhan kebutuhan air di negara yang di alirinya. Seiring dengan kebutuhan air yang meningkat bagi setiao engara untuk kebutuhan domestiknya menyebabkan kompetisi untuk mendapatkan jatah air yang lebih banyak untuk negaranya. Hal inilah yang mengakibatkan konflik Sungai Nil ini dengan melibatkan 3 negara yakni Mesir, Sudan dan Ethiopia yang memiliki tingkat kebergantungan paling tinggi terhadap aliran air Sungai Nil.
ADVERTISEMENT
Sejarah Konflik
Konflik di Sungai Nil ini mulanya terjadi pada tahun 2011 ketika Ethiopia mengumumkan akan membangun suatu bendungan yang bernama Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD). Tujuan Pembangunan GERD sendiri ialah untuk dijadikan pembangkit listrik tenaga air di Ethiopia yang bersumber dari air Sungai Nil. Sayangnya, hal tersebut tak direspon positif oleh Mesir dan Sudan karena kedua negara ini merasa terancam akan aliran air yang dapat berkurang ke negaranya. Terjadinya konflik di Sungai Nil yang melibatkan Mesir, Sudan dan Ethiopia adalah karena dibangunnya GERD oleh Ethiopia di bagian hulu tanpa ada kesepakatan dengan negara-negara lainnya. Pembangunan tersebut oleh Mesir dianggap melanggar perjanjian 1959 tentang pembagian air Sungai Nil. Mesir menganggap GERD sebagai ancaman keamanan bagi negaranya mengingat dampak yang akan ditimbulkan dari GERD jika gagal dalam pengelolaaanya yang dapat berimbas terhadap bendungan bendungan yang ada di Sungai Nil. Tindakan sepihak yang dilakukan oleh Ethiopia untuk membangun GERD tanpa kesepakatan dengan negara lain yang dirugikan oleh pembangungan ini berpotensi mengancam kesejahteraan dan keberadaan jutaan warga Mesir dan Sudan.
Upaya Penyelesaian Konflik
ADVERTISEMENT
Kesulitan dalam penyelesaian konflik ini ialah setiap negara saling meyakini dengan argumennya masing-masing, berbagai upaya diplomasi telah dilakukan untuk mengurai konflik ini sejak 2011, namun belum menciptakan kesepakatan yang pasti hingga kini. Berikut merupakan upaya penyelesaian yang pernah dilakukan untuk menangani konflik ini:
1. Pembentukan International Panel of Experts (IPoE) pada tahun 2012 untuk menilik dan mengumpulkan pemahaman akan segala aspek dalam Pembangunan GERD seperti manfaat, biaya dan dampak GERD. IPoE terdiri dari dua perwakilan masing-masing negara serta empat orang ahli untuk mengkaji GERD. Laporan IPoE menghasilkan kebermanfaatan Pembangunan GERD. Namun, Mesir dan Sudan menghendaki studi lanjutan akan dampak yang akan terjadi bagi negara hilir seperti negara mereka.
2. Pembentukan National Expert Committee (NEC) atau Dewan Nasional Tripartit (TNC) pada tahun 2014. TNC terdiri dari anggota dari setiap negara yang bertugas memilih kelompok konsultan internasional untuk melakukan studi yang direkomendasikan IPoE. TNC sendiri melanjutkan studi lanjutkan yang direkomendasikan dalam IPoE. Namun, masih gagal karena perbedaan pendapat dalam memilih konsultan internasional untuk melakukan studi. Mesir menuntut pembangunan bendungan dihentikan sampai penelitian selesai, namun permintaan tersebut ditolak oleh Ethiopia.
ADVERTISEMENT
3. Declaration of Principles (DoP) atau Deklarasi Prinsip-Prinsip) pada tahun 2015. Dalam DoP ini ketiga negara telah bersepakat untuk bekerjasama dalam menyelesaikan pembahasan GERD secara damai dengan penandatanganan DoP yang memiliki 10 prinsip. Kemudian yang menjadi pembahsan selanjutnya adalah regulasi pengisian air untuk GERD serta operasional bendungan itu. Ethiopia menghendaki pengisian GERD dalam 3 tahun yang kemudian ditentang oleh Mesir karena khawatir berimbas pada berkurangnya volume air bagi engaranya. Hal ini kemudian memicu konflik kembali setelah sebelumnya mereka bersepakat akan pengakuan keberadaan GERD.
4. Pembentukan National Independent Scientific Research Group (NISRG) pada tahun 2018 untuk mengamati dampak, teknis pengisian serta operasional GERD. NISRG berhasil menetapkan empat prinsip untuk kesepakatan bendungan yang kemudian menjadi landasan oleh Mesir untuk membuat proposal terkait jumlah air yang harus dialirkan GERD ke Mesir. Namun, proposal tersebut ditolak oleh Ethiopia.
ADVERTISEMENT
5. Penggunaan good office atau jasa baik dengan mengundang Amerika Serikat dan Bank Dunia pada tahun 2019 dalam proses negosiasi ketiga negara ini yang berperan sebagai pengamat. Mereka berunding sebanayk 3 kali pertemuan, namun dalam pertemuan yang terakhir Ethiopia menarik diri dari proses tersebut pada tahun 2020. Ethiopia menolak menandatangani perjanjian akhir yang diusulkan AS karena baik AS maupun Bank Dunia telah keluar dari koridornya sebagai pemberi jasa baik.
6. Keterlibatan DK PBB atas permintaan Mesir dan Sudan DK PBB pada tahun 2021 setelah Ethiopia mulai mengisi bendungan tanpa kesepakatan yang melegalkan hal tersebut. Namun, permintaan ini ditanggapi PBB dengan merekomendasikan penyelesaian secara regional yakni melalui Uni Afrika dan menngingatkan tindakan yang dilakukan secara sepihak tanpa adanya kesepakatan bersama.
ADVERTISEMENT
7. Keterlibatan Uni Afrika untuk melakukan mediasi pada konflik ini di tahun 2021 juga menagalami jalan bantu karena setipa negara masih memegang argumennya masing-masing.
Hingga kini, ketiga negara masih melakukan proses pembicaraan secara damai untuk menyelesaikan konflik akibat GERD ini yang telah terjadi lebih dari 10 tahun sejak awal pengumuman pembangunan.