Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.1
Konten dari Pengguna
Chairil Anwar di Antara Bebukunya
13 September 2017 19:12 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:19 WIB
Tulisan dari Ayung Notonegoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Chairil Anwar/ Kumparan
Chairil Anwar, penyair terbesar angkatan 45 itu, adalah seorang maniak buku. Di balik perawakannya yang ceking dan rambutnya yang awut-awutan tak tersisir itu, ia menjadi pembaca yang akut. Bahkan, sejak ia belia.
ADVERTISEMENT
Terlahir dari pasangan Toeloes bin Manan dan Siti Saleha binti Datuk Paduko Tuan pada 26 Juli 1922, Chairil hadir di tengah keluarga yang terdidik. Dan, tentunya, pecinta buku. "Papaku punya banyak sekali buku," kata Nini Toeraiza, adik tiri Chairil.
Kegemaran Chairil pada buku, selain menghasilkan karya yang luar biasa, tak jarang juga menyisakan masalah. Sewaktu kanak-kanak, ia pernah ditangkap polisi gara-gara membaca buku. Sebagaimana diceritakan oleh ibunya, Siti Saleha, kepada HB Jasin di tahun 1969.
Pada saat itu, ketika Chairil dan orang tuanya tinggal di Pangkalan Brandan. Bak seorang deklamator, Chairil membacakan bagian dari novel Layar Terkembang karya Sultan Takdir Alisjabana. Mengingat isi novel yang ditulis tahun 1936 itu mengusung tema emansipasi, suatu tema yang amat sensitif kala itu, menarik perhatian polisi. Tak ayal, Chairil pun diamankan ke kantor polisi. Ia dicecar dengan berbagai pertanyaan untuk mempertanggungjawabkan buku bacaannya itu.
ADVERTISEMENT
Kegemarannya pada buku semakin menjadi-jadi kala Chairil pindah ke Jakarta. Pergumulannya dengan para intelektual dan aktivis Batavia saat itu, membawa Chairil pada belantara buku yang tak terbatas. Ia membaca dimana saja. Di rumah "pamannya", Sultan Syahrir, di tempat-tempat nongkrong para aktivis, di rumah teman-temannya, di toko buku, perpustakaan, bahkan di tempat rekreasi sekalipun.
Hal inilah yang menarik hati Sumirat, seorang gadis yang berwajah lembut. Wanita yang oleh Chairil "dituliskan" dua sajak - "Mirat Muda, Chairil Muda" dan "Yang Terampas dan Yang Putus" - mengenang Chairil sebagai maniak baca yang tak peduli keadaan. Di sebuah tempat rekreasi populer pada saat itu, Clincing, Chairil kerap datang. Ia tak peduli dengan keramaian disekitarnya. Dengan tenangnya, ia membaca buku-buku tebal sembari bersandar pada batang pohon.
ADVERTISEMENT
"Sikap masa bodohnya terhadap keramaian membuatku tertarik," kenang Mirat, panggilan sayang Chairil pada Sumirat.
Mirat juga mengenang fragmen lain tentang Chairil dan bebukunya. Saat Chairil datang jauh-jauh ke Paron (Ngawi), untuk - nekad - melamar Sumirat. Ia tak membawa apapun di dalam koper yang ia bawa melamar itu. Hanya dua potong pakaian dan - tentunya - bertumpuk buku-buku tebal.
Lagi-lagi, kegemaran Chairil pada buku, mengantarkannya pada permasalahan. Ia terjangkit bibliokleptomaniak. Kecenderungan untuk mencuri buku-buku. Tidak hanya ia baca, tapi juga ia jual tuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sastrawan cum wartawan Mochtar Lubis membenarkan hal itu. Chairil tak pernah membayar utang kepadanya, kecuali dengan buku-buku hasil penggelapannya. Kalau tidak dari toko buku Van Dorp, toko buku terbesar kala itu, Chairil mencurinya dari perpustakaan USIS (United States Information Service).
ADVERTISEMENT
"Chairil menyumbang perpustakaan saya dengan buku-buku curiannya," ungkap Mochtar.
Yang paling dikenal aksi bibliokleptomanik dari Chairil adalah saat mengajak Asrul Sani "beraksi" di Van Dorp. Toko buku tersebut, terkenal menjual buku-buku berkwalitas. Dalam aksinya tersebut, Chairil dan Asrul Sani salah ambil buku dari yang sebenarnya mereka kehendaki. Tangan-tangan muslihat mereka justru mengambil buku berjudul "Also Sprach Zarathustra" karangan filsuf Friedrich Nietzsche.
Mengetahui sisi lain dari penyair "binatang jalang" ini, kerap kali dimanfaatkan oleh kawan-kawannya. Ketika mereka butuh buku bagus, Chairil akan dihubungi. Mereka mengandalkan Chairil untuk mengambil buku sonder bayar. Dan, untungnya, aksi Chairil menggelapkan buku itu, tak sekalipun ketahuan. Selalu aman. Tak seperti ketika menilap barang-barang lain.
Saat ada orang yang menyalahkan kebiasaannya tersebut, Chairil punya pembenarannya. Menurutnya, tak apa-apa mencuri kalau di toko milik orang Belanda.
ADVERTISEMENT
"Bangsa mereka juga merampok kekayaan negeri kita," kilahnya.
Penulis dengan referensi
* disadur dari Tempo edisi khusus kemerdekaan (15-21/8/2016)