Ketika Ngaji Tak Hanya Alif Ba Ta

Ayung Notonegoro
Bercerita tentang sejarah dan ihwal literasi
Konten dari Pengguna
22 Agustus 2017 11:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayung Notonegoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kata ngaji merupakan kosa kata dalam bahasa Jawa. Diserap dalam bahasa Indonesia menjadi mengaji. Ngaji sendiri, dalam bahasa Jawa, berasal dari kata aji yang mendapat imbuhan ng-. Artinya, adalah proses untuk menjadi atau mendapatkan aji.
ADVERTISEMENT
Kata aji sendiri bermakna martabat atau kehormatan. Dalam pepatah Jawa dikenal, ”ajine raga saka busana, ajine ati saka lati,” yang maknanya kurang lebih, “martabatnya badan berdasarkan busana, sedangkan martabatnya hati, berdasarkan lisannya.” Dengan demikian, ngaji adalah upaya untuk memperoleh atau menjadi bermartabat.
Untuk menjadi bermartabat sendiri, tak hanya dengan belajar ilmu agama sebagaimana yang kita pahami dari mengaji selama ini. Tapi, juga bisa dibangun dengan mempelajari hal-hal lainnya yang tak bersangkut paut secara langsung dengan jagad spiritualitas manusia. Ilmu jurnalistik misalnya.
Jurnalistik – dengan para jurnalis sebagai pelakunya – merupakan bagian dari peradaban kemanusiaan. Mereka menyebarkan informasi dan mengabarkan sesuatu kepada publik tentang pengetahuan. Bayangkan, jika kerja-kerja jurnalistik tersebut tak ada dalam kehidupan manusia. Maka informasi dan pengetahuan pun tak akan tersebar dan berkembang. Mampet di satu dua orang saja.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, acara yang bertajuk “IPNU Ngaji Jurnalistik Bareng Kumparan” yang dihelat PC IPNU Banyuwangi di aula PCNU Banyuwangi, Selasa pagi (22/8) memiliki makna ganda. Acara tersebut, tidak sekedar melatih seseorang tentang menulis jurnlistik di era digital, tapi juga menyisipkan pesan, bahwa jurnalistik adalah bagian dari membangun martabat kemanusiaan. Di tengah banjir berita hoax dan framming yang tendensius, kerja jurnalistik yang berorentasi membangun peradaban, membangun martabat kemanusiaan menemukan titik urgensinya.
Hadir dalam kegiatan tersebut, dua narasumber dari Kumparan. Pertama, Alfons Y, tim engagement Kumparan, yang menceritakan seluk beluk portal berita satu-satunya di Indonesia yang memadukannya dengan media sosial tersebut. Bagaimana mengajak masyarakat luas untuk ikut serta mengabarkan dan membagikan informasi kepada khalayak luas. “Citizen Journalism, kurang lebih demikian yang kita usung,” terang pria berambut sebahu itu.
ADVERTISEMENT
Sedangkan narasumber satunya lagi adalah tim editor Kumparan, Rina Nurjanah. Perempuan berkerudung tersebut, memaparkan tentang pentingnya menulis di era digital. Ada tantangan tersendiri untuk menyajikan tulisan digital dari pada tulisan di media cetak. “25 persen orang lebih lambat membaca digital dari pada cetak,” ungkapnya sembari mengutip survei Nielsen.
Maka, lanjut Rina, menulis di era digital harus bisa menampilkan kekhasan tersendiri, sehingga benar-benar menarik. Untuk bisa menarik, tidak hanya dengan sudut pandang baru dan informasi yang segar, namun juga bisa dikolaborasikan dengan berbagai konten lain. Seperti gambar, video, dan lainnya. “Tidak harus dengan menggunakan kata-kata yang bombastis, tetapi isinya bohongan,” tukasnya.
Waba’du, ngaji tak hanya sekedar, sebagaimana yang kita kenal selama ini. Tapi, ngaji juga bisa dengan mempelajari apapun.
ADVERTISEMENT