Yes, Bebas Tes Calistung!

Ayu Rizki Susilowati
Penulis dan tenaga pendidik di institusi pendidikan SD Negeri 1 Pandansurat, Kec. Sukoharjo, Kab. Pringsewu, Lampung
Konten dari Pengguna
9 April 2023 6:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayu Rizki Susilowati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Picture by https://pixabay.com/id/photos/sempoa-kelas-menghitung-menangkal-1866497/
zoom-in-whitePerbesar
Picture by https://pixabay.com/id/photos/sempoa-kelas-menghitung-menangkal-1866497/
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Belum lama ini, pemerintah melalui Kemendikbudristek mengumumkan bahwa tes membaca, menulis dan menghitung atau yang akrab disingkat calistung resmi dihapuskan dalam penerimaan peserta didik baru tingkat sekolah dasar. Tentunya, hal ini disambut baik oleh para praktisi pendidikan maupun orang tua calon wali siswa. Bagaimana tidak? Anggapan masyarakat selama ini bahwa kemampuan kognitif merupakan hal terpenting dalam sebuah proses pendidikan, membuat para orang tua menitikberatkan kemampuan membaca, menulis dan menghitung (calistung) menjadi satu-satunya hal yang wajib dipelajari dan dikuasai anak sejak usia dini. Hal tersebut membuat bisnis lembaga pendidikan informal calistung bagi anak usia dini menjamur di masyarakat karena selalu ramai peminat. Orang tua berlomba-lomba untuk mengikutsertakan anak-anak mereka ke dalam pembelajaran calistung supaya anak-anak tersebut terlihat pandai secara akademis. Merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi orang tua apabila anak usia dini mereka sudah bisa membaca, menulis dan menghitung dengan baik.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak hanya orang tua. Bahkan banyak guru kelas awal di sekolah dasar mensyaratkan anak-anak usia dini yang akan melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya sudah menguasai calistung. Maka dari itu, tidak mengherankan jika terdapat lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) yang pembelajarannya sangat berfokus pada kemampuan calistung anak. Padahal, baik tidaknya proses pembelajaran tidak hanya diukur berdasarkan aspek kognitifnya saja. Namun banyak hal yang mestinya menjadi perhatian para penyelenggara pendidikan anak usia dini termasuk hal-hal yang termaktub dalam enam kemampuan fondasi anak usia dini.
Miskonsepsi yang terjadi di masyarakat tentang calistung telah lama pula menjadi perhatian praktisi pendidikan, maupun orang tua. Banyak yang beranggapan bahwa perkembangan anak usia dini belum waktunya untuk diberikan materi pembelajaran seperti membaca, menulis dan menghitung. Namun, dalam praktiknya masih banyak orang tua yang memberikan ekspektasi ke anak untuk mampu menguasai calistung sebelum masuk SD. Selain itu pula, kemampuan calistung masih kerap digunakan lembaga pendidikan dasar sebagai dasar penerimaan peserta didik baru. Melihat hal tersebut, Kemdikbudristek meluncurkan program Merdeka Belajar episode 24 yaitu Transisi PAUD-SD yang Menyenangkan. Transisi PAUD-SD di sini dimaknai dengan adanya penyesuaian diri dan lingkungan pada anak dari PAUD ke SD. Program ini mencoba menghilangkan miskonsepsi yang terjadi dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung proses pembelajaran yang seharusnya diperoleh anak usia dini dan sekolah dasar kelas awal, seperti penghapusan tes calistung saat masuk SD. Selain itu, seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa dalam mendidik anak usia dini serta SD kelas awal, perlu dibangun kemampuan dan fondasi hak mereka secara holistik tidak hanya kognitifnya saja sebagai bekal anak dalam melakukan pembelajaran selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, bukan berarti anak usia dini tidak diperbolehkan untuk mengembangkan kemampuan kognitifnya. Namun, pembelajaran tidak diperkenankan hanya berfokus pada aspek tersebut saja. Anak usia dini sangat perlu ditanamkan pendidikan karakter, serta kebiasaan literasi dan numerasinya. Literasi dan numerasi tidak hanya terpaku pada tiga kemampuan dasar yaitu membaca, menulis dan menghitung. Namun, mencakup pula dengan kemampuan menyimak, mengemukakan gagasan, serta menganalisa data. Selain itu, perlu adanya keselarasan antara pembelajaran di PAUD dengan SD kelas awal. Guru SD kelas awal perlu memastikan bahwa setiap siswanya memperoleh pembinaan keenam kemampuan fondasinya secara bertahap. Enam hal tersebut adalah nilai agama dan budi pekerti, keterampilan sosial dan bahasa, kematangan emosional, pemaknaan terhadap belajar positif, keterampilan motorik dan perawatan diri serta kematangan kognitif untuk mengikuti kegiatan pembelajaran. Aspek kematangan kognitif diletakkan di fase terakhir dalam fondasi penguatan transisi PAUD-SD menurut Kemdikbudristek.
ADVERTISEMENT
Saat transisi dari PAUD ke SD, guru kelas awal perlu menyusun rancangan kegiatan pembelajaran yang dimulai dari perkenalan siswa dengan lingkungan sekolahnya, maupun asesmen awal sebagai tahap perkenalan sekolah dengan siswa. Mengajari siswa membaca dapat dimulai dengan membedakan bunyi dan membunyikan gambar atau lambang yang dilihatnya dengan berbagai metode permainan yang menyenangkan. Selain itu, pembiasaan literasi pada anak usia dini maupun siswa SD kelas awal dapat dilakukan dengan cara bertukar informasi, menyimak cerita serta bersosialisasi dengan lingkungan sekitar. Sedangkan, untuk pembiasaan numerasi siswa dapat dilakukan dengan cara penanaman konsep matematis berdasarkan aktivitasnya sehari-hari (realistis). Hal yang perlu diingat oleh guru dalam pembiasaan numerasi adalah bahwa numerasi tidak hanya erat kaitannya dengan berhitung, namun cakupannya lebih luas dari itu di antaranya pemahaman siswa akan suatu pola, bentuk (geometri), pengukuran serta analisa suatu data.
ADVERTISEMENT
Ketika melakukan proses pembelajaran, baik PAUD maupun SD kelas awal, sekolah diharapkan menciptakan lingkungan yang ramah anak sehingga membuat mereka nyaman dalam beraktivitas di sekolah. Guru pun perlu menghindari labelling pada anak karena akan berakibat buruk terhadap pembentukan karakter mereka di usia dini. Memang, apabila dibayangkan tugas guru PAUD dan SD kelas awal terasa makin banyak karena adanya aturan dan kebijakan baru ini. Namun, kebijakan ini tentunya sudah diuji dan dikembangkan bersama ahli terkait, serta kondisi dan permasalahan di lapangan. Permasalahan tersebut apabila tidak segera dibenahi dan dicarikan langkah-langkah solutif akan menyebabkan permasalahan sistemik yang cukup serius terkait kemampuan anak di kemudian hari. Maka dari itu, perlu adanya kolaborasi dan pembelajaran aktif dari para praktisi pendidikan di tingkat PAUD maupun SD kelas awal, serta orang tua agar dapat menyamakan persepsi terkait transisi PAUD-SD yang menyenangkan demi perkembangan anak.
ADVERTISEMENT