Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Masa Depan Perempuan Indonesia
7 Januari 2023 13:32 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ayu Wulandari tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kita perlu mengetahui bahwa kekerasan berbasis gender sudah berlangsung sejak lama bahkan sebelum kemerdekaan Indonesia. Bukan rahasia umum lagi salah satu negara yang pernah menjajah Indonesia adalah Jepang. Penjajahan Jepang pada tahun 1942 sampai 1945 menjadi periode yang sangat kelam khususnya dalam tindak kekerasan dan perempuan sebagai korbannya.
ADVERTISEMENT
Dalam masa penjajahan Jepang banyak berupaya untuk membentuk lembaga sosial, seperti pembentukan lembaga-lembaga dan organisasi sosial, budaya, dan agama. Tidak hanya itu mereka juga menerapkan beberapa sistem untuk memobilisasi rakyat Indonesia salah satunya ialah “Sistem Perbudakan Seksual Militer Jepang” dengan cara paksa menyediakan perempuan-perempuan sebagai sarana praktik seksual untuk para tentara Jepang di semua wilayah pendudukan jepang di Indonesia.
Perbudakan ini disebut juga dengan istilah Jugun Ianfu. Pada saat itu para perempuan beranggapan diberi kesempatan untuk ikut andil dalam melawan orientalisme Barat. Namun tanpa disadari, yang dimaksud dengan “peran” tersebut mengarah pada sumbangan atau bantuan menggunakan “tubuh”.
Mirisnya dari eksploitasi manusia ini ialah mereka tidak pernah mendapatkan hak-hak kemanusiaan, justru sebaliknya mereka seringkali dikucilkan setelah latar belakang mereka terungkap. Pada masa itu Jugun ianfu dianggap sebagai peristiwa kelam yang menimpa perempuan sebagai korban kejahatan perang. Bahkan pemerintah Indonesia pun menganggap jugun ianfu sebagai suatu peristiwa yang patut dihapus dalam memori historis karena dianggap sebagai aib negara.
ADVERTISEMENT
Pada akhirnya para korban jugun ianfu mengalami penderitaan sepanjang hidup mereka, fisik mereka mengalami kerusakan pada organ reproduksi akibat kekerasan seksual yang dialami, secara psikologi pun mereka juga mengalami trauma berkepanjangan.
Lantas bagaimana cara para tentara Jepang mengeksploitasi Para Jugun Ianfu?
Para Jugun Ianfu ini dibawa ke sebuah tempat dengan pengawalan militer di sekitar tempat tersebut dan mereka menunggu tamu yang bertujuan untuk melampiaskan nafsunya kepada mereka. Para perempuan ini tidak pernah sedikitpun mendapatkan bayaran atas apa yang sudah mereka lakukan. Mereka hanyalah mendapatkan siksaan dan kesengsaraan dari hal yang sudah dilakukan.
Dalam beberapa kesempatan mereka mendapatkan pemeriksaan dari dokter Jepang yang bertujuan untuk melihat apakah mereka hamil atau tidak, jika mereka ketahuan hamil maka mereka akan dipaksa untuk melakukan tindakan yang cukup sadis yaitu dipaksa menggugurkan kandungannya.
ADVERTISEMENT
Perlakukan dari orang – orang Jepang pada saat itu sungguh tidak manusiawi. Oleh karena itu dalam masa pendudukan Jepang selama kurang lebih 3 tahun di Indonesia adalah masa terkelam dalam sejarah panjang penjajahan di Indonesia.
Setelah para perempuan korban Jugun Ianfu tidak lagi dipekerjakan oleh tentara Jepang hidup mereka dalam kemiskinan karena sulit untuk mencari pekerjaan. Mereka juga harus hidup terisolasi dengan menanggung rasa malu seorang diri akibat kekerasan yang diterima pada masa lalu.
Terdapat sedikitnya 127 dan 131 dokumen mengenai jugun ianfu, dana 4 di antaranya menyebutkan adanya keterlibatan militer Jepang dengan praktik jugun ianfu. Jugun ianfu merupakan bentuk hegemoni yang ditanamkan Jepang di Indonesia. Tujuan jepang dalam membangun jugun ianfu sebenarnya adalah untuk kepentingan militer jepang sendiri. Akan tetapi mereka bersembunyi di balik semangat hakko-ichiu, di mana bangsa-bangsa Asia harus bersatu untuk menentang imperialisme Negara Barat(Savitri 2019).
ADVERTISEMENT
Praktik perbudakan seksual yang dilakukan oleh tentara jepang pada masa Perang Dunia ke-2 termasuk dalam kejahatan transnasional yang dilakukan tidak hanya di Indonesia, melainkan juga di sebagian wilayah Asia Pasifik dan Asia Tenggara seperti cina, Taiwan, Korea Selatan, Malaysia, Singapura, Myanmar,termasuk Filipina. Jugun ianfu tidak hanya menjadi masalah internal Negara Jepang, tetapi juga permasalah internasional yang termasuk praktik kejahatan perang dan pelanggaran Hak Asasi Manusia terutama bagi perempuan saat itu(Kristi 2016).
Setelah berakhirnya perang, mantan jugun ianfu mengalami tekanan akibat dari penderitaan selama penjajahan Jepang. Kesehatan yang terus memburuk serta tidak adanya perawatan yang memadai, mengakibatkan banyak dari mereka yang meninggal dunia. Bahkan banyak dari mereka yang menderita trauma akibat penyiksaan seksual di usia belia. Rasa bersalah karena telah menjadi jugun ianfu selalu membayangi kehidupan mereka. Mereka juga mendapatkan tekanan dari masyarakat yang memandang mereka sebagai bekas pelacur dan manusia tidak berharga, menyebabkan mereka sulit untuk mendapatkan pekerjaan di lingkungannya(Suliyati 2018).
ADVERTISEMENT
Pada tanggal 28 April tahun 1951, Jepang melakukan sebuah perjanjian perdamaian san fransisco yang diikuti oleh 48 negara bersama Negara-negara pasifik yang pernah di bawah pendudukan militer Jepang.
Isi perjanjian perdamaian san fransisco tersebut mengenai kompensasi yang tercantum dalam pasal 14 yaitu: “Jepang diharapkan segera berunding dengan Kekuatan Sekutu yang wilayah miliknya diduduki tentara Jepang dan dirusak oleh Jepang, dengan maksud membantu membayar rampasan perang kepada Negara-negara tersebut untuk biaya perbaikan dari kerusakan yang telah disebabkan, dengan cara menyediakan bantuan rakyat Jepang dalam produksi, pemulihan dan pekerjaan lain untuk kekuatan sekutu seperti tersebut.” Berdasarkan dari pasal 14 tersebut Filipina dan Vietnam selatan masing-masing menerima kompensasi pada tahun 1956 dan 1959 (Pradita, 2019).
ADVERTISEMENT
Namun sayangnya kompensasi itu tidak sampai pada tangan perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi korban Jugun Ianfu. Entah bagaimana isu Jugun Ianfu di Indonesia lenyap begitu saja, tidak pernah terdengar sesuatu yang menyebutkan Jugun Ianfu lagi pada masa sekarang bahkan setelah berakhirnya masa penjajahan Jepang, ketika ada kampanye feminisme tidak pernah menyinggung soal Jugun Ianfu yang pernah terjadi di Indonesia seolah-olah Jugun Ianfu tidak pernah terjadi. lain halnya dengan filipina, pada saat itu Filipina mendesak pemerintahan Jepang untuk ganti rugi atas kekerasan terhadap perempuan Filipina pada saat Jepang menduduki Filipina.
Dengan latar belakang sejarah yang sama tentang bagaimana perempuan di Filipina dan juga Indonesia menjadi budak seks para tentara Jepang, tetapi kedua negara ini memiliki cara yang berbeda dalam mengatasi permasalahan tersebut. Dapat dilihat bahwa Filipina lebih sigap dalam menangani masalah para korban Jugun Ianfu hal ini dilihat dari perjuangan kelompok kepentingan di Filipina saat itu mencari cara agar kasus Jugun Ianfu ini sampai pada telinga Internasional dan akhirnya hal tersebut sampai pada pemerintahan jepang yang akhirnya membuahkan hasil, para korban Jugun Ianfu mendapatkan bantuan berupa uang kompensasi sebagai rasa pertanggungjawaban Jepang pada para korban Jugun Ianfu.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Indonesia sama sekali tidak terdengar sama sekali perihal Jugun Ianfu sekan permasalahan itu tidak pernah ada padahal di beberapa literatur telah membahas adanya praktik jugun Ianfu di Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya kelompok kepentingan seperti di Filipina yang semangat memperjuangkan hak perempuan. Hadirnya perbedaan kelompok kepentingan masing-masing negara antara filipina dan Indonesia ternyata memberi pengaruh terhadap bagaimana kedua negara berhasil menangani isu feminisme di masing-masing negara, dalam menangani isu Feminisme Filipina berhasil mendirikan sebuah partai yang secara khusus membahas tentang perjuangan membela, mencari keadilan bagi perempuan di sana dengan representasi partai Gabriela Womens Party.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Setelah masa lalu kelam para perempuan Indonesia yang dilatarbelakangi oleh Jugun Ianfu adakah gerakan perempuan yang secara khusus mencari keadilan untuk pada korban Jugun Ianfu tersebut? Kenyataannya adalah tidak ada.
ADVERTISEMENT
Di Umur panjang Indonesia yang sudah merdeka ini kita tidak bisa menolak kenyataan dengan sebelah mata bahwa memang ada gerakan perempuan di Indonesia. Namun hal pentingnya adalah apa yang sudah dilakukan gerakan perempuan tersebut? Efektifkan dalam memberikan berdampak untuk kesejahteraan perempuan-perempuan di Indonesia. Beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan di di bawah ini mungkin bisa membantu menjawab.
Berita-berita di atas merupakan 0,1% dari kejadian-kejadian kekerasan perempuan lainnya. Hal ini disebabkan karena di negara berkembang, salah satunya adalah Indonesia partisipasi perempuan dalam politik sangat rendah dibandingkan dengan keterlibatan kamu laki-laki pada politik, hal ini bukan tanpa sebab, adanya faktor agama dan juga budaya dalam keterlambatan gerakan wanita untuk sampai ranah politik. Dalam masalah agama contohnya, terdapat beberapa agama yang masih kuat memandang sinis keterlibatan perempuan dalam ranah publik sangat bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan, perempuan tidak memiliki kewajiban sebagai seorang pemimpin karena hakikatnya adalah pemimpin itu adalah seorang laki-laki jadi perempuan tidak memiliki tempat untuk menggantikan posisi laki-laki sebagai pemimpin.
ADVERTISEMENT
Budaya pun menjadi penghambat pergerakan wanita, dalam hal ini budaya yang dimaksud adalah dampak dari sistem patriarki yang sangat melekat dari zaman dahulu pada masyarakat Indonesia bahwasanya wanita itu lemah dan tidak berhak berada pada ranah publik(Kiftiyah, 2019). Maka dari itu sulit bagi gerakan perempuan di Indonesia dapat bekerja dengan maksimal seperti di Filipina yang secara kompak memperjuangkan suara perempuan.
Dari tidak adanya perjuangan untuk para Jugun Ianfu di Indonesia, bukan hal yang mengherankan apabila di Indonesia masih marak terjadinya kekerasan terhadap perempuan, berita yang bertebaran tentang kekerasan terhadap perempuan masih terus kita dengan hingga hari ini, karena kasus kekerasan terhadap perempuan pada masa penjajahan Jepang yang merupakan kasus terbesar dalam sejarah Indonesia Pun terlupakan begitu saja lalu bagaimana Indonesia dapat membereskan masalah-masalah kekerasan lain yang marak terjadi pada era globalisasi seperti saat ini, kasus KDRT misalnya atau yang lebih tragis adalah pernikahan dini yang sering terjadi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sistem patriarki di Indonesia yang sampai saat ini masih ada pun turut memperkeruh isu perempuan di Indonesia. Bayangkan beberapa tahun ke depan dunia kita telah memasuki industri 5.0 yang di mana tenaga manusia akan digantikan oleh tenaga robot atau mesin-mesin otomatis untuk melakukan pekerjaan yang sebelumnya dilakukan oleh manusia hal tentunya dapat menyebabkan masalah bagi pekerja manusia terutama perempuan. Banyak pekerja yang kehilangan pekerjaan mereka karena digantikan oleh robot, pada masa sekarang saja perempuan masih dianggap lemah untuk melakukan pekerjaan apa pun selain pekerjaan rumah.
Bagi mereka yang masih menganut sistem patriarki perempuan hanyalah perempuan yang hanya bisa membereskan rumah dan menyusui anak tak sepantasnya berada di luar rumah untuk bekerja. Apalagi nanti ketika industri 5.0 sudah bekerja makin hilang kesempatan perempuan untuk tampil di dunia karena pekerjaan akan didominasi oleh robot dan bahkan kesempatan kerja untuk laki-laki sudah makin sedikit apalagi untuk perempuan.
ADVERTISEMENT