Konten dari Pengguna

Lipstick Effect: Mengapa Kemewahan Kecil Menjadi Pelarian di Masa Sulit?

Ayyu Puspitta
Mahasiswa yang senang menulis isu-isu ekonomi dan sosial. Dari Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
4 Januari 2025 17:15 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayyu Puspitta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Lipstick Effect /Dok Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Lipstick Effect /Dok Pribadi
ADVERTISEMENT
Saat terjadi resesi ekonomi tidak semua industri mengalami kerugian, justru ada industri yang mengalami peningkatan penjualan walaupun ekonomi sedang tidak stabil, contohnya industri kosmetik.
ADVERTISEMENT
McKinsey Global Consumer Sentiment survey memperkirakan penjualan industri kecantikan menyentuh US$ 500 miliar dalam setahun atau sekitar Rp, 7,8 triliun. Sedangkan di Indonesia diperkirakan mencapai US$ 9,4 miliar pada tahun 2022 meningkat dibandingkan tiga tahun lalu yang ada di kisaran US$ 6 miliar, dan menurut data badan Statistik (BPS), industri kecantikan yang masuk dalam kelompok industri Kimia, Farmasi dan Obat Tradisional tumbuh 9,39% pada tahun 2020 dan 9,6 pada tahun 2021. Fenomena ini disebut sebagai Lipstick Effect yang menyatakan bahwa konsumen akan terus membelanjakan uangnya untuk kemewahan kecil selama kemerosotan ekonomi, tetapi tetap efek ini meluas. Peneliti Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS), Muhammad Anwar mengalihkan pola belanja dari barang-barang mewah atau mahal ke barang-barang yang lebih terjangkau. Akan tetapi, hal ini memberi kepuasan, terutama dalam situasi ekonomi yang sulit. Lipstick Effect ini menyoroti berbagai aspek penting dari perilaku konsumen dalam kondisi ekonomi yang buruk. Biasanya, pilihan barang apa yang akan ditukar dilihat dari preferensi dan prioritas konsumen untuk memanjakan diri secara umum menjadi lebih penting bagi konsumen dalam mengatasi stress dan frustasi sehari-hari. Lalu Bagaimana Lipstick Effect ini membentuk perilaku konsumen sehingga mereka rela mengalokasikan dananya disaat kondisi ekonomi tidak stabil ?
ADVERTISEMENT
Mengenal Lipstick Effect
Lipstick Effect pertama kali diperkenalkan oleh Leonard Lauder, mantan CEO Estée Lauder, yang menyaksikan peningkatan penjualan lipstick selama masa resesi. Fenomena ini tidak hanya berkaitan dengan produk kecantikan tapi juga mencerminkan dinamika psikologi konsumen. Lipstick Effect menjelaskan sebuah keberhasilan industri kosmetik selama masa Great Depresi, serta kinerja perusahaan selama kemerosotan ekonomi, teori ekonomi tradisional memprediksi bahwa, karena efek pendapatan, pengeluaran untuk kosmetik seharusnya menurun selama resesi. Namun industri kosmetik justru mengalami peningkatan. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, melihat fenomena Lipstick Effect sebagai naiknya permintaan barang non kebutuhan pokok saat menjelang resesi ekonomi. Masyarakat yang cenderung membeli barang mewah (luxuries), sebagai bentuk pencarian jalan keluar dari depresi ekonomi yang dialami. Lipstick Effect menggambarkan kecenderungan individu untuk menghabiskan uang pada produk-produk kecil dan terjangkau seperti halnya Lipstick. Konsep ini menyoroti perubahan perilaku konsumen yang mengutamakan produk yang dapat memberikan kepuasan emosional. Lipstick effect ini menjadi cara seseorang agar tetap bisa mendapatkan kebahagian ketika menghadapi ketidakpastian ekonomi dan melihat barang kecil sebagai barang mewah.
ADVERTISEMENT
Perubahan Makna Kemewahan
Lipstick effect mencerminkan transformasi mendalam dalam cara kemewahan yang telah dipersepsikan oleh masyarakat modern saat ekonomi sedang sulit. Dulu nya kemewahan identik dengan barang-barang mewah seperti mobil, perhiasan mahal namun seiring perkembangan sosial budaya yang masif membawa perubahan besar dalam konseptualisasi kemewahan. Perubahan besar tersebut tercermin dalam konsep kemewahan baru. Konsep in mempresentasikan konseptualisasi definitif dari proses demokratisasi kemewahan yang progresif, menjelaskan bagaimana permintaan barang mewah mengalami pertumbuhan yang dramatis. Merek-merek tergoda untuk memperoleh semua kemungkinan keuntungan yang terkait dengan ledakan permintaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Gelombang baru konsumen sedang bergerak, meluas ke segmen yang lebih rendah, konsumen ini mengekspresikan permintaan yang lebih kuat dan lebih kuat untuk kualitas, eksklusivitas dan kemewahan. Beberapa perubahan sosio-ekonomi utama yang memicu pertumbuhan kemewahan baru (misalnya, pendapatan riil yang lebih tinggi, tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Konsumen baru mengekspresikan “tingkat kualitas dan cita rasa yang lebih tinggi’ kualitas dan cita rasa yang lebih tinggi, juga berhubungan dengan barang-barang kebutuhan dasar. Karena konsumen akan menghargai hubungan emosional dengan barang dan jasa dan memperhatikan panutan sosial dan titik referensi dan emosional dari produk ini justru lebih penting.
ADVERTISEMENT
Kemunculan New Luxury menjadi ekspresi yang paling terlihat dari perubahan makna kemewahan dalam masyarakat di mana kemewahan tidak lagi menjadi indikator dari kepemilikan kelas sosial yang jelas. Lebih menekankan pada kualitas, emosional dan personal sehingga produk lebih sekedar dari nilai yang materil dan hal ini menciptakan fenomena lipstick effect.
Lipstick Effect dalam Ekonomi
Lipstick effect mencerminkan bagaimana konsumen menyesuaikan pola belanja saat krisis ekonomi, dalam resesi, konsumen umumnya mengurangi pembelian barang-barang besar seperti mobil, rumah atau perangkat elektronik namun mungkin tetap ingin membeli barang kecil untuk merasakan kenyamanan, seperti contohnya kosmetik. Dampaknya terhadap ekonomi adalah perubahan konsumsi dari barang-barang kebutuhan sekunder atau tersier menjadi kebutuhan yang dianggap”mewah dan terjangkau.
ADVERTISEMENT
Selama masa ekonomi yang sulit, orang cenderung membeli lebih banyak “kemewahan kecil” yaitu produk yang mewakili pembelian untuk memanjakan diri, seperti kosmetik perilaku aneh seperti itu secara intuitif dapat dijelaskan sebagai cara frustasi dan stress sehari-hari yang berasal dari kondisi ekonomi yang dialami oleh orang-orang. Profesor ekonomi dan sosiologi Juliet Schor dalam bukunya yang berjudul “The Overspent American” pada tahun 1998. Berteori bahwa perempuan yang kekurangan uang membeli lipstik mahal sebagian karena lipstik karena barang tersebut bisa mereka gunakan kembali di tempat umum dan menjadikan produk tersebut terlihat mewah. Fenomena ini memperlihatkan bahwa konsumen cenderung membeli barang-barang kecil atau terjangkau saat kondisi ekonomi sedang menurun, meski pengeluaran besar mungkin ditunda, keinginan untuk membeli barang yang lebih murah sebagai penghiburan diri justru meningkat. Ketika orang merasa kurang mampu membeli barang mahal, mencari alternatif kecil yang tetap memberi kepuasan. Dalam hal ekonomi hal tersebut memperlihatkan perubahan pola konsumsi dari barang-barang kebutuhan sekunder atau tersier menjadi kebutuhan yang dianggap “mewah terjangkau.” Hal ini dapat menimbulkan peningkatan permintaan karena barang-barang ini menjadi pelarian bagi konsumen yang tetap ingin merasa nyaman tanpa mengeluarkan banyak uang. Lipstick Effect memberikan kerangka kerja untuk menganalisis hubungan antara kemerosotan ekonomi dan pola konsumsi. Secara lebih intuitif krisis ekonomi mungkin telah membuat orang kaya tidak secara terbuka memamerkan kekayaan mereka dengan barang yang terlihat mahal, untuk menghindari kecemburuan dan kemarahan dari masyarakat berpenghasilan rendah akan melihat hal ini sebagai hal ekstrem yang berlawanan dari kontinum tersebut yaitu konsumen berpenghasilan rendah, peningkatan konsumsi yang tidak mencolok dapat dianggap sebagai konsekuensi dari penurunan ekonomi yang tajam.
ADVERTISEMENT
Lipstick Effect Sebagai Ekspresi
Lipstick Effect di dorong oleh keinginan untuk “memperlakukan” diri sendiri dengan lebih hemat dan mengurangi pengeluaran untuk pakaian atau perhiasan namun sebagai penggantinya mereka membeli kosmetik yang dirasa memiliki harga yang lebih murah dibandingkan pakaian ataupun perhiasan. Adapun perilaku merias diri mengekspresikan identitas diri, mendapatkan kepercayaan diri atau dilihat sebagai orang yang santun. Penelitian perilaku konsumen dari New york Institute of Technology, Colleen Kritik mengungkapkan faktor terjadinya lipstick effect dari kacamata psikologi. “Dia menjelaskan, ketika sumber daya terbatas, konsumen akan melakukan dua cara untuk mengatasinya secara psikologis.
Mengurangi kelangkaan dengan mendapatkan lebih banyak uang.Upaya mendapatkan kendali, sebab sejatinya manusia memiliki keinginan untuk mengendalikan hidupnya. “Ketika kendali kita diambil dari satu dominan, kita mencoba mengalihkannya ke dominan lain, salah satu caranya adalah dengan mengendalikan barang yang kita beli,” dikutip dari verywell Mind. Banyak yang percaya bahwa efek ini sebagian besar lebih bersifat psikologis, selain itu fenomena lipstick effect ini memiliki implikasi besar dalam memahami dinamika pasar konsumen yang mengalokasikan dana untuk pembelian kecil yang memberikan kepuasan emosional. Perusahaan yang memanfaatkan lipstick effect dengan meluncurkan produk kecil atau versi mini dari barang premium untuk menarik konsumen yang menikmati kemewahan dalam skala yang lebih terjangkau. Lipstick effect menciptakan rasa inklusivitas, meskipun seorang tidak mampu membeli barang mewah dalam skala besar, pembelian barang kecil memberikan pengalaman menikmati sesuatu yang terasa ”istimewa.” Konsumen ingin tetap menunjukkan kekuatan mereka dalam beradaptasi meskipun ekonomi tidak ideal.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Konsep kemewahan dalam Lipstick Effect ini lebih dari terkait dengan konteks dan diri sendiri. Konsumen dapat menganggap sebagai barang dan jasa yang relatif murah yang dibeli pada waktu tertentu dan dalam situasi ekonomi tertentu bahkan dapat muncul sebagai barang mewah dan konsumen tidak terlalu tertarik untuk memamerkan kekayaan, melainkan lebih memperhatikan diri pribadi mereka. Lipstick membuat kebutuhan konsumen akan kompensasi menjadi nyata terutama di masa ekonomi yang sulit Namun hal ini juga merupakan manifestasi dari perubahan makna kemewahan di abad ke 21. Sebuah teori yang telah diamati sejak tahun 1930-an dalam penelitian terhadap pola belanja konsumen selama masa depresi besar menunjukkan bahwa ketika pengeluaran untuk pakaian menurun, dan justru pengeluaran untuk kosmetik.
ADVERTISEMENT