Konten dari Pengguna

Manisnya Kopi dan Pahitnya Pengeluaran Mengapa Gen Z harus Tahu Latte Factor

Ayyu Puspitta
Mahasiswa Akhir dari Unversitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
31 Oktober 2024 5:41 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayyu Puspitta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar latte factor/Dok Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar latte factor/Dok Pribadi
ADVERTISEMENT
Generasi Z yang kini mendominasi panggung konsumsi tidak lepas dari tren gaya hidup yang serba cepat dan modern. Salah satu simbol gaya hidup ini adalah kopi, saat ini telah banyak kafe-kafe yang menjadi tempat para gen z untuk menghabiskan waktunya atau sekedar mengerjakan tugas dan bekerja dengan sistem WFC (Work From Cafe). Namun di balik manisnya kopi ada satu realitas pahit yang sering tidak disadari oleh mereka yaitu “Latte Factor”.
Survei yang dilakukan Jakpatmengenai jeniskopi yang sering dikonsumsi. Dok Jakpat.
zoom-in-whitePerbesar
Survei yang dilakukan Jakpatmengenai jeniskopi yang sering dikonsumsi. Dok Jakpat.
Keputusan konsumen dalam membeli kopi pada dasarnya dapat dilihat dari motifnya yaitu ingin atau butuh minum kopi. Kebutuhan dan keinginan ini juga tidak terlepas dari bagaimana rutinitas dan dorongan dari lingkungan sekitar. Saat ini munculnya berbagai varian kopi juga tidak terlepas dari banyaknya coffee shop yang menjadi rumah kedua terutamanya para gen z dalam mengekspresikan identitasnya. Lebih dari itu dari segelas kopi ini telah menciptakan simbol status sosial.
ADVERTISEMENT
Simbol Status Sosial
Berdasarkan hasil survey dari Jakpat menunjukkan 45% orang mengonsumsi kopi setiap harinya, sebanyak 66% Gen z mengaku minum kopi tiap hari, sementara 55% Millennial hanya sesekali, lalu 37% Gen x mengungkapkan bahwa minum kopi 2-3 kali sehari, sehingga tidak heran saat ini minum kopi lebih dari sekedar kebutuhan namun telah menjadi gaya hidup terutamanya pada kalangan gen z. Bahkan saat ini telah menjadi bagian identitas mereka dan menganggapnya sebagai ritual sosial atau cara untuk mengekspresikan diri. Budaya nongkrong di kafe salah satu bentuknya, kafe bukan hanya tempat untuk minum kopi, tetapi menjadi tempat sosialisasi, berkumpul, bekerja, belajar bahkan mendapatkan berbagai informasi. Kafe menawarkan suasana nyaman dengan desain interior estetik telah menjadi daya tarik para gen z untuk membagikannya pada sosial media. Selain itu varian kopi juga memiliki peran penting bagi mereka karena menjadi preferensi dalam menentukkan kualitas kopi tersebut. Hal ini pun diperkuat dengan penjelasan dari laman coffeetogo.co.uk bahwa gen z memiliki ekspektasi akan kopi berkualitas tinggi dan akan menikmati berbagai varian yang berbeda. Minum kopi telah menjadi status sosial, identitas dan citra diri mulai dari pilihan kopi hingga tempat di mana kopi itu dinikmati, semuanya dapat memberikan pesan tentang siapa dan bagaimana seseorang. Minum kopi saat ini menjadi representasi dari gaya hidup dan citra diri para gen z. Dimensi status sosial dari secangkir kopi bukan soal kepuasan pribadi lagi, melainkan identitas yang ingin mereka tampilkan di sosial media ataupun di kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Jebakan Pengeluaran kecil
David Bach, seorang penulis sekaligus motivator keuangan di Amerika Serikat yang mencetuskan istilah Latte Factor. Latte Factor mengacu pada pengeluaran kecil yang sifatnya rutin, tetapi sebenarnya tidak terlalu penting dan bisa ditiadakan. Istilah latte diambil Bach dari secangkir kopi. Membeli kopi menurut beach merupakan pengeluaran skala kecil yang jika dijumlahkan dalam sebulan atau setahun, totalnya bisa lebih besar dari biaya listrik dan air. Latte Factor berkaitan erat dengan gratifikasi instan. Hal ini berkorelasi dengan gen z yang cenderung bekerja dan bermain dalam waktu yang bersamaan dengan gaya santai, membuat mereka rentan terhadap jebakan konsumerisme. Latte Factor merupakan biaya diskresioner yang tampaknya sepele untuk dikeluarkan, dan mengalihkan perhatian dari sifat sebenarnya. Contoh ilustrasinya, jika rata-rata untuk membeli kopi, gen z perlu menghabiskan sekitar 50 ribu sekali minum saja, bagaimana jika membeli kopi sebanyak 12 kali dalam sebulan maka uang yang harus dikeluarkan sebesar 600 ribu, Pengeluaran yang besar ini harus ditanggung oleh mereka di tengah gaji yang pas-pasan. Menurut survei Indonesia Millennial Gen Z Report (IMGR) 2024, gen z di Indonesia menghasilkan uang tidak lebih dari 2,5 juta sebulan dan memiliki kekuatan untuk berbelanja yang lebih rendah dari generasi Millenial. Dengan gaji pas-pasan ini gen z harus menanggung pengeluaran yang tidak sedikit, namun juga harus memenuhi gaya hidup yang seringkali menjebak.
ADVERTISEMENT
Memahami Latte Factor
Latte Factor pengeluaran kecil yang sering disepelekan tetapi jika terkumpul bisa menjadi jumlah yang besar dalam jangka panjang, namun para gen Z seringkali tergoda dengan pengeluaran impulsif seperti makanan cepat saji (minum kopi), langganan streaming atau produk teknologi terbaru. Memahami Latte Factor bukan berarti gen z tidak boleh menikmati gaya hidup modern seperti minum kopi di kafe, namun hal ini tentang memiliki kesadaran lebih mendalam tentang bagaimana uang dihabiskan. Menyadari bahwa 50.000 ribu sehari bisa diubah menjadi investasi masa depan membantu menciptakan mindset yang lebih bijak dalam mengelola uang. Bayangkan jika uang tersebut hanya dihabiskan untuk kopi setiap hari dimasukkan ke dalam investasi dengan bunga majemuk. Dalam waktu beberapa tahun nilai yang terkumpul bisa sangat signifikan. Hal ini justru kesempatan besar bagi generasi z untuk mempersiapkan diri menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.
ADVERTISEMENT
Mencapai Financial Freedom
Untuk menuju kebebasan finansial bagaimana kemampuan mengelola pengeluaran dengan bijaksana dan mengoptimalkan penghasilan. Jika secara terus-menerus menghabiskan uang pada hal-hal kecil yang sebenarnya tidak dibutuhkan atau tidak esensial tentunya akan kehilangan peluang untuk menabung. Di sisi lain, dengan mengelola pengeluaran kecil seperti latte factor, gen z bisa menciptakan sisa dana yang kemudian bisa dialokasikan ke investasi yang akan tumbuh seiring waktu.
Evaluasi keuangan secara menyeluruh seperti lacak pengeluaran harian dengan selalu mencatat uang yang dikeluarkan baik besar maupun kecil, Tinjau kembali kebutuhan vs keinginan, banyak dari pengeluaran kecil sebenarnya muncul dari keinginan, bukan kebutuhan seperti pembelian kopi, buatlah anggaran yang lebih ketat untuk mengurangi pengeluaran yang tidak penting. Alokasikan dana yang tersisa untuk dana darurat yang sewaktu-waktu dibutuhkan.
ADVERTISEMENT
Konsep Latte Factor menjadi pengingat bahwa kebiasan kecil, seperti membeli secangkir kopi setiap hari, bisa memiliki dampak besar pada kondisi keuangan. Secangkir kopi mungkin tampak sepele, tetapi pengeluaran kecil seperti ini bisa berdampak besar pada keuangan dalam jangka panjang. Generasi z yang saat ini dalam fase penting pembentukan karier dan keuangan perlu memahami perencanaan keuangan yang lebih baik, untuk membangun masa depan keuangan yang lebih baik tanpa harus mengorbankan gaya hidup modern yang mereka nikmati. Manisnya kopi mungkin memberikan kepuasan instan tetapi pahitnya pengeluaran yang tidak terkontrol bisa berdampak jauh lebih besar.