Konten dari Pengguna

Mengelola Gaji Pertama Tantangan Finansial Gen Z di Era Konsumerisme

Ayyu Puspitta
Mahasiswa Akhir dari Unversitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara
6 November 2024 10:57 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayyu Puspitta tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gen z dan uang/ Sumber dok pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gen z dan uang/ Sumber dok pribadi
ADVERTISEMENT
Mendapatkan gaji pertama menjadi sebuah kebahagian karena momen tersebut perjuangan selama 1 bulan terjun ke dalam dunia profesional. Keinginan untuk membeli barang atau hal-hal yang disukai lebih lebih besar karena telah memiliki uang sendiri. Apalagi saat ini media sosial menjelma menjadi pasar online yang menyediakan berbagai kebutuhan sehingga memudahkan khususnya gen z untuk membeli sesuatu, selain itu adanya tawaran promo di setiap produk yang dipasarkan menambah rasa keinginan membeli produk tersebut dengan jumlah yang banyak. Namun hasil survei Jajak Pendapat (Jakpat) menunjukkan bahwa mayoritas atau sebanyak 53,4% responden ternyata mengaku akan memberikan gaji pertama mereka kepada orang tua. Dan urutan kedua menggunakan gaji pertama untuk membeli barang yang diinginkan dengan persentase mencapai 43,8%, di urutan ketiga digunakan untuk menabung dengan presentasi 42,5 dsb, urutan keempat untuk mentraktir keluarga dengan persentase 20,6, urutan kelima untuk sedekah dengan persentase 20,6 dan di urutan terakhir untuk mentraktir teman dengan persentase 9,6.
ADVERTISEMENT
Survei yang dilakukan oleh Jakpat/ Sumber GoodStats
Memberikan gaji pertama terhadap orang tua masih menjadi salah satu tradisi yang dilakukan oleh seorang anak kepada orang tua nya. Hal ini dilakukan karena sebagai tanda syukur atau tanda terima kasih kepada orang tua karena telah mendukung mereka. Namun tak jarang para gen z justru kesulitan dalam mengelola gaji pertamanya. Lalu apa saja tantangan dalam mengelola gaji pertama untuk para gen z ?
Terjebak Menjadi Generasi Sandwich
Sandwich generation atau generasi sandwich diperkenalkan pertama kali pada 1981 oleh Dorothy A. Miller, seorang profesor dan direktur praktikum University of Kentucky, Lexington, Amerika Serikat. Menurut Miller, arti generasi sandwich adalah sekelompok individu yang menanggung beban kehidupan orang tuanya, diri sendiri dan anaknya. Berbeda dengan inisiatif memberikan gaji pertama kepada orang tua generasi sandwich lebih menekankan “seperti kewajiban” membiayai keluarganya yang terdiri dari orang tua, saudaranya dan dirinya bahkan. Generasi sandwich ini bukan hanya sekedar khayalan semata namun sudah menjadi fenomena yang ada dalam masyarakat.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan hasil survei Data Indonesia.id, hampir separuh atau 46,3% di Indonesia menjadi generasi sandwich. Mereka harus terhimpit oleh beban keuangan lantaran punya tanggung jawab menghidupi diri sendiri, orang tua, dan anaknya dalam waktu bersamaan. Menjadi bagian dari Generasi sandwich tentunya tidak mudah karena memiliki peran double antara menanggung biaya keluarga dan menanggung biaya dirinya sendiri. Tak ayal jika Gen z yang terjebak dalam generasi sandwich cukup sulit untuk mengelola gaji pertamanya. Survei yang dilakukan oleh espos bisnis hasil survei penelitian menunjukkan bahwa ada beberapa dampak menjadi generasi sandwich seperti merasa bersalah jika tak mampu penuhi kebutuhan keluarga, dan merasa khawatir pada masa depannya sendiri. Di tengah upah yang tidak terlalu besar dan peran menanggung peran sebagai generasi sandwich, gen z dipaksa harus lebih cerdas dalam mengelola kondisi keuangannya.
ADVERTISEMENT
Fenomena Fomo dan Media Sosial
Fomo atau Fear of Missing Out kecemasan jika kehilangan momen atau informasi. Fomo dapat menimbulkan seseorang merasa tertinggal dan berpikir bahwa kehidupan orang lain di media sosial lebih menyenangkan dibanding hidupnya, mereka berusaha mengikuti tren demi terlihat bahagia dan keren. Fenomena fomo ini bisa membuat gen z tidak bisa mengontrol dirinya untuk membeli barang karena keinginan untuk mengikuti tren yang di media sosial. Fomo ini berkaitan erat dengan emosional dan psikologis dan media sosial berperan penting dengan memanfaatkan hal tersebut untuk meningkatkan rasa konsumerisme.
Dengan banyaknya produk-produk yang dijual di market place, media sosial, dan tawaran promo secara tidak langsung mempengaruhi emosional para gen z untuk bisa membeli produk tersebut. Lembaga Survei dari NielsenIQ, mencatat bahwa terjadi kenaikan yang pesat soal jumlah konsumen yang berbelanja melalui e-commerce dari tahun 2020-2021 dengan jumlah mencapai 32 juta orang pada tahun 2021 atau naik sekitar 88% dari tahun 2020. Hal ini disebabkan oleh tren media sosial sebagai tempat untuk memperlihatkan gaya hidup mewah, menjadi tempat untuk berniaga sehingga terjadi peningkatan konsumen serta penjualan pada belanja berbasis online. Gaya hidup dan fomo hadir sebagai manifestasi dari tekanan sosial yang berakar dari nilai-nilai kapitalisme. Media sosial dengan algoritmanya terus-menerus mempromosikan trend terkini, mampu menciptakan siklus rasa konsumerisme pada kalangan gen z. Media sosial menjadi sarana untuk memanipulasi pola konsumsi sehingga membentuk pemikiran untuk berperilaku materialistis. Fomo dan media sosial menjadi salah satu tantangan bagi para gen z untuk mengelola gajinya dimana mereka yang terbiasa dengan media sosial tentunya akan sering menjumpai hal-hal yang membuat mereka fomo tetapi di satu sisi mereka pun harus dapat mengatur kondisi keuangannya. Terlebih saat ini kondisi ekonomi belum stabil mengakibatkan belum ada kepastian yang nyata.
ADVERTISEMENT
Buying Impulsif
Buying Impulsif Salah satu perilaku belanja yang dilakukan tanpa perencanaan sebelumnya, karena ditimbulkan oleh dorongan emosional yang bersifat seketika. Buying Impulsif ini juga bisa terjadi akibat adanya rasa fomo yang terjadi pada gen z. Hasil riset dilakukan oleh Mckinsey and Company menunjukkan sebanyak 24% konsumen generasi z di Indonesia memiliki sifat premium shopaholics dan senang menghabiskan waktu mereka untuk membandingkan suatu produk atau jasa sehingga mereka bisa melakukan impulse buying atau pembelian tidak terencana. Hasil riset lain yang dilakukan oleh lembaga riset valassis menunjukan terdapat beberapa stimulus promosi penjualan yang berdampak terhadap konsumen khususnya generasi z.
Buying Impulsif ini dapat membentuk motivasi untuk melakukan pembelian tanpa mempertimbangkan jangka panjangnya namun lebih fokus pada aspek kesenangannya saja. Hal ini berkorelasi dengan kebiasaan dan gaya hidup para gen z yang mana lebih memfokuskan pada rasa kesenangan sementara dibandingkan tingkat kebermanfaatannya.
ADVERTISEMENT
Laporan Global Web Index (GWI) menyatakan jika alasan gen z berbelanja impulsif karena adanya penawaran menarik saat berbelanja online, selain itu alasan lain yaitu untuk mengapresiasi diri sendiri atau self reward.
Apresiasi diri ini dilakukan oleh para gen z untuk merayakan “kebahagian” setelah bekerja selama sebulan. Tak jarang gen z melakukan belanja online karena terpengaruhi oleh diskon, promo, gratis ongkir yang ditawarkan oleh marketplace. Penting bagi para gen z untuk dapat mengatur hasil jerih payahnya selama bekerja atau gaji sebulannya agar tidak terpengaruhi oleh fenomena buying impulsif ini dan membuat pengeluaran lebih banyak.
Era Konsumerisme
Terdapat sebuah ideologi mengenai konsumerisme, yaitu sugesti yang memaknai kehidupan manusia yang dilihat dari apa yang dikonsumsi bukan apa yang dihasilkan. Ideologi dari konsumerisme tersebut merupakan suatu bentuk pengalihan dimana setiap masyarakat akan mengalami hasrat dalam berkonsumsi yang tidak ada habisnya. Dengan mengonsumsi komoditi, bagi masyarakat konsumen dapat memberikan suatu identitas sosial. Pemaknaan ini sejalan dengan era konsumerisme saat ini yang didukung oleh teknologi membuat era konsumerisme tidak ada batasnya. Munculnya berbagai platform e commerce dan media sosial sebagai market menimbulkan perubahan dalam tatanan jual beli. Promo iklan yang mempengaruhi para konsumen tak terkecuali gen z telah menghasilkan fenomena seperti impulsive buying dan fomo. Era konsumerisme dengan mudahnya mempengaruhi kalangan gen z agar bisa terjebak dalam permainan harga yang diterapkan pasar sehingga mereka sulit untuk mengelola keuangan secara tepat. Hal ini pun didukung dengan indikator lain seperti fomo, impulsive buying serta terjebak sebagai generasi sandwich.
ADVERTISEMENT
Pentingnya Memahami Literasi Keuangan
Menurut Program for International Student (PISA) pada tahun 2012, literasi keuangan adalah pengetahuan tentang pemahaman keuangan yang digunakan untuk membantu serta meningkatkan kesejahteraan materi oleh individu maupun kelompok dalam kehidupan ekonomi. Memahami literasi keuangan sebagai wujud untuk mengelola keuangan dengan tepat sesuai kebutuhan tidak hanya untuk memenuhi keinginan semata. Mendukung untuk meningkatkan produktivitas dalam mengelolah keuangan serta memberikan pondasi untuk para gen z dalam mempertimbangakan segala seuatu yang akan dikeluarkan melalui keuangannya seperti membeli barang, membantu membiayai keluarga, orang tua. Selain itu dapat membantu mengakses kualitas hidup yang lebih baik dengan perencanaan pengelolaan keuangan yang tepat.
Penting sekali untuk memahami literasi keuangan bukan sekedar sebatas teori saja namun pengaplikasiannya dalam kehidupan nyata sehingga tantangan yang dihadapi para gen z dalam mengelolah keuangan terutama saat gaji pertama bisa teratasi dan digunakan secara bijak atau sesuai kebutuhan bukan keinginan.
ADVERTISEMENT