Menilik Syiah Sampang di Indonesia

Ayyun Afrahillaila Ara
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Arab UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
27 Juni 2022 18:28 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayyun Afrahillaila Ara tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi santri yang sedang mengaji (Sumber: Pexels.com)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi santri yang sedang mengaji (Sumber: Pexels.com)
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negara dengan keberagaman, baik keragaman budaya, ras, suku bangsa, kepercayaan, agama, dan bahasa. Sudah menjadi keharusan bagi masyarakat untuk dapat menerima keberagaman ini. Namun, cara masyarakat dalam menyikapi keberagaman kerap menjadi masalah dan menimbulkan konflik. Jika dilihat dari tahun ke tahun, konflik agama seolah tetap menjadi juara di urutan pertama dalam daftar perbincangan umat. Seperti yang sudah disinggung sebelumnya bahwa indonesia memiliki banyak keragaman, aliran keagamaan Islam salah satunya. Berbagai aliran keagamaan dapat kita jumpai di sini. Kemunculan keragaman aliran keagamaan Islam tidak lepas dari konteks lokal dan sosial-politik yang melatarinya. Hal ini bisa dipandang sebagai khazanah keagamaan, namun di sisi lain kita dapat menemukan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain berkecamuk, saling bertolak belakang, dan merasa paling benar hingga berujung pada konflik.
ADVERTISEMENT
Perjalanan aliran keagamaan Islam menghasilkan dua kerangka besar di Nusantara yang dikelompokkan menjadi Sunni (ahlusunnah wal jamaah) dan Syiah (mazhab ahlulbait). Kedua kelompok tersebut berjalan seiringan di tengah arus kebudayaan, namun antara satu sama lain saling beririsan.
Pada tahun 1979, reaksi terhadap gerakan Syiah pasca Revolusi Iran sudah terlanjur marak dan krusial dibincangkan. Revolusi Iran berhasil mengubah Iran dari Monarki di bawah pimpinan Shah Mohammad Reza Pahlavi menjadi Republik Islam oleh Ayatullah Agung Ruhollah Khomeini. Pengaruhnya hingga ke taraf internasional, di mana banyak mengubah tata perpolitikan dunia serta menjadi pegangan ideologi revolusioner bagi para pemuda khususnya bagi intelektual Indonesia.
Syiah yang saat itu begitu populer menyebabkan kekhawatiran pada Arab Saudi, negeri yang menjadi “musuh” bebuyutan Iran. Saudi Arabia melakukan upaya untuk menangkal perkembangan Syiah, termasuk di Indonesi, misalnya dengan menerbitkan buku-buku anti-Syiah. Pada tahun 1982, MUI Pusat menggelar seminar tentang Syiah yang berisikan kajian tentang ajaran Syiah yang berujung pada perspektif bahwa Syiah sesat. Sejak saat itu muncul gerakan anti Syiah di Indonesia. Gerakan tersebut sangat bergemuruh dan diikuti persekusi verbal dan non verbal. Tak hanya itu, masuknya paham Syiah di Indonesia dengan penyebaran buku-buku yang menampilkan sikap penolakan terhadap Syiah berdampak pada reaksi yang ditunjukkan masyarakat Indonesia. Karena Syiah berhasil menjadi satu-satunya ideologi negara Timur yang berani menentang kepemimpinan kekuasaan ekonomi dan politik Barat, maka tak aneh jika respon dari mayoritas masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda merasa terancam. Pada 1 Juli 2000, Syiah mulai membentuk kelompok yang dinamai Ikatan Jemaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Dengan demikian, tingkat ketegangan kelompok Sunni dan Syiah pun meningkat.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya konflik kalangan Sunni dan Syiah mulai terjadi setelah peristiwa wafatnya Nabi Muhammad SAW. Di Indonesia, konflik Sunni-Syiah yang terjadi di Pulau Madura berujung pada peristiwa kekerasan dan pembunuhan serta terusirnya pemeluk Syiah dari kampung halaman. Konflik Sunni-Syiah di Madura sebenarnya telah terjadi sejak tahun 2004. Syiah yang hadir di tengah-tengah masyarakat Sunni fanatik ini adalah kelompok Islam minoritas.
Awal mula aliran ini berkembang di tengah masyarakat Madura karena seorang anak dari Kiai Makmun, seorang ulama yang awalnya Sunni di Nangkernang, Desa Karang Gayam, Sampang bernama Tajul Muluk. Tajul Muluk dikirim oleh ayahnya ke Yayasan Pesantren Islam (YAPI) di Bangil, Pasuruan. Pesantren tersebut dikenal dengan pesantren yang cenderung pada mazhab Syiah. Pada Tahun 1993, Tajul berangkat ke Arab Saudi untuk menimba ilmu di Pondok Sayyid Muhammad Al-Maliki. Di sana, ia bertemu dengan seorang mahasiswa penganut Syiah di Universitas King Abdul Aziz sekaligus pemilik kitab-kitab Syiah yang kemudian dipelajari oleh Tajul. Tahun 1999, ia pulang untuk menggantikan kepemimpinan ayahnya yang sudah sepuh. Pada tahun 2003, ia mulai menyebarkan ajaran Syiah. Tajul Muluk memiliki strategi kepemimpinan yang cukup baik hingga mendapat pengakuan dari masyarakat di Desa Karang Gayam.
ADVERTISEMENT
Pada tahun 2004, sejumlah warga desa yang merupakan murid Kiai Makmun mewakafkan sebidang tanah untuk mengembangkan pesantren kecil beraliran Syiah yang diberi nama Misbahul Huda. Pengajar di pesantren ini adalah Tajul Muluk dan para alumni YAPI. Dalam waktu yang cukup singkat, sekitar tiga tahun, ratusan warga di Pulau Garam tersebut telah menjadi pengikut Syiah dan murid Tajul yang setia. Pada tahun itu juga Tajul mendapat reaksi dari para ulama setempat, di antaranya Ali Karrar Shinhaji, pemimpin pondok pesantren Darut Tauhid, di Desa Lenteng, Proppo, Pamekasan. Karrar berkeberatan dan tidak menyetujui aktivitas dakwah Tajul Muluk. Baginya, Syiah adalah mazhab dalam Islam yang sesat. Para ulama lainnya juga keberatan dengan dakwah Tajul, namun kala itu mereka masih menghormati Kiai Makmun. Setelah Kiai Makmun meninggal karena sakit, para ulama menentang keras penyebaran Syiah tersebut dan intimidasi sudah mulai terjadi sejak saat itu.
ADVERTISEMENT
Tragedi di Sampang, sebuah tempat di bagian timur pulau Jawa, Indonesia menjadi salah satu contohnya. Persekusi terhadap Syiah menjadi tanda masalah besar di Indonesia, negara yang dianggap sebagai model negeri Islam moderat demokratis. Adanya kampanye kebencian atas kelompok Syiah yang muncul sejak beberapa tahun lamanya menjadi titik utama terjadinya kejadian pembakaran rumah milik pemimpin Syiah Sampang, Tajul Muluk.
Desember 2011, aksi massa terjadi di pemukiman Syiah di Sampang. Kelompok Syiah menyebut aksi tersebut sebagai 'serangan' dan kelompok Sunni menyebutnya sebagai 'bentrokan'. Sejumlah rumah serta pesantren kelompok Syiah habis terbakar dan seluruh warga Syiah diungsikan ke luar kampung. Pada maret 2012, pimpinan kelompok Syiah Sampang, Tajul Muluk alias Ali Murtadho ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan penodaan agama. Juli 2012, Pengadilan Tinggi Jawa Timur menjatuhkan hukuman empat tahun kurungan penjara terhadap Tajul Muluk karena terbukti melakukan penodaan agama. Lalu, Agustus 2012, penyerangan terhadap kelompok Syiah kembali terjadi dan memakan korban jiwa. Warga Syiah yang terdampak kembali diungsikan untuk menghindari konflik lanjutan antar dua kelompok tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada Juni 2013, penyintas Syiah yang mengungsi di GOR Sampang dipindahkan ke rusun yang sudah disiapkan pemerintah di Sidoarjo setelah mendapat tentangan dari kelompok anti-Syiah di Sampang. Relokasi pengikut Syiah Sampang sebenarnya bukanlah alternatif yang bijak karena konflik tersebut adalah konflik terbuka yang didasari oleh perbedaan keyakinan dan pemahaman beragama. Hasilnya akan menjadikan preseden buruk bahwa perbedaan dalam beragama dan berkeyakinan dapat menyebabkan warga terusir dan direlokasikan.
Hampir sepuluh tahun pasca terusir dari kampung halaman para penyintas Syiah asal Sampang masih menyandang status sebagai pengungsi. Para pengungsi mendapat bantuan dana dari pemerintah tiap bulan sebesar Rp.709.000 per orang. Untuk menambah pemasukan, kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pengupas kelapa dengan upah Rp.150 per butir.
ADVERTISEMENT
Sebagian besar pengikut Tajul mengaku siap dibaiat dan kembali ke ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Sunni). Namun, tidak sedikit yang kecewa terhadap putusan tersebut dan memutuskan untuk tetap berada di ajaran itu. Harapan pengungsi setelah dibaiat kembali ke Sunni adalah bisa pulang ke kampung halaman di Sampang. Masyarakat Sampang merasa khawatir jika mantan pengikut Syiah itu kembali akan terjadi konflik lagi. Kebanyakan dari mereka masih trauma dan yang paling membekas adalah saling caci-memaki. Tajul mengakui bahwa keinginannya kembali ke ajaran Ahlussunnah wal Jamaah bukan paksaan dan bukan karena putus asa karena bertahun-tahun di pengungsian, tetapi karena ia seperti menyadari bahwa yang dilakukannya selama ini keliru. Namun, harapannya yang ingin kembali ke kampung halaman setelah dibaiat malah menjadi tanda tanya, apa motif sebenarnya ia memutuskan kembali ke ajaran Sunni?
ADVERTISEMENT
Kerusuhan yang terjadi di Sampang selain dari motif keyakinan, juga berasal dari motif penghinaan terhadap tradisi. Masyarakat Madura begitu lengket dengan tradisinya. Bahkan, bagi orang Madura, tradisi adalah agama. Maka jika terjadi perbedaan pendapat tanpa adanya toleransi, konflik penghinaan terhadap tradisi bisa saja terjadi lalu mengakibatkan permusuhan. Karena banyaknya perbedaan antara dua kelompok ini, beberapa orang akan merasa lebih mudah tersinggung jika yang diyakini bertahun-tahun diusik oleh sebagian yang lain.
Jika melihat dari apa yang terjadi di Sampang, berbagai tafsir akan muncul. Saya pribadi berpendapat kejadian tersebut bukan akibat dari perihal sederhana. Melainkan akumulasi pertikaian dan perbedaan sedari lama. Ada pihak yang merasa dirugikan dan terancam. Terlihat dari pengadangan yang dilakukan masyarakat Sampang terhadap anak-anak pengikut Syiah yang hendak kembali ke pesantren untuk menimba Ilmu. Mengapa targetnya adalah anak-anak? Saya menganggap karena masyarakat meyakini bahwa anak-anak adalah investasi besar untuk kemajuan Syiah ke depannya. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Benarkah Syiah itu sesat dan menyesatkan?” Jika demikian, apakah kekerasan menjadi boleh dilakukan untuk merespon atas ketidaksetujuan terhadap keberagaman?
ADVERTISEMENT
Terlepas dari sesat atau tidaknya ajaran Syiah, kekerasan bukanlah jalan keluar. Konflik perbedaan aliran keagamaan Islam ini tidak kemudian dapat melegitimasi kelompok mayoritas untuk dapat melakukan kekerasan terhadap penganut ajaran yang bersifat minoritas. Jika memang tuduhan bahwa ajaran Syiah itu sesat, maka pemerintah harus mengupayakan kebijakan sebagaimana peraturan undang-undang yang berlaku. Namun, untuk menjawab apakah ajaran itu sesat atau tidak harus dilakukan kajian menyeluruh dengan melibatkan para ulama yang terpercaya. Karena untuk mendapatkan perspektif suatu masalah, harus melibatkan objek yang akan diteliti melalui orang yang ahli dalam hal tersebut.
Tidak akan bisa menyesatkan Syiah dengan metode Sunni. Karena mungkin saja bagi Syiah itu baik, namun bagi Sunni tidak dan sebaliknya, maka diperlukan kajian menyeluruh. Jika tidak terdapat jalan keluar dari titik masalahnya, maka upaya penerimaan dan saling menghargai adalah jalannya. Baik Sunnni maupun Syiah tidak boleh asal bicara atau menulis. Semua yang terucap dan tertulis harus berdasarkan data dan fakta, sehingga tidak merugikan kedua belah pihak.
ADVERTISEMENT
Kekerasan dan intimidasi serta penyerangan yang sampai menelan korban jiwa tidak akan pernah dapat ditolerir, baik dari sudut pandang hukum maupun kemanusiaan. Meskipun begitu, jika dilihat dari sudut pandang hukum, masih ada peraturan yang berpotensi mendiskriminasikan kelompok agama minoritas, karena pada dasarnya pembentukan undang-undang dilakukan oleh penguasa dari golongan mayoritas. Sifat fanatik menyebabkan masyarakat Indonesia mudah tersulut emosi. Sifat tersebut menghasilkan energi negatif karena akan berujung pada suatu pemikiran bahwa yang berbeda itu salah. Menimbulkan sifat sombong karena merasa lebih baik dari yang lain. Lalu, mirisnya tidak lagi dapat berpikir logis.
Indonesia sebenarnya tidak anti terhadap kaum minoritas. Indonesia melahirkan banyak keragaman, namun cara masyarakat Indonesia dalam merespon keberagaman dijalankan berbeda-beda. Ada yang menerimanya dengan ramah, ada pula yang sentimen dan merasa terancam. Berbagai konflik dialami kaum minoritas salah satunya pengusiran pengikut Syiah dari kampung halaman. Kepulangan para pengungsi bukanlah tidak mungkin, karena sejak tulisan ini dibuat, pada 29 April 2022 sudah terdapat 14 keluarga yang dipulangkan dengan jumlah 54 jiwa. Bupati setempat masih terus mengupayakan kepulangan para pengungsi dan akan melakukannya secara bertahap. Bagaimana respon warga Sampang terkait kepulangan itu? Tentunya, semua akan berjalan secara alami bersamaan dengan itu dibutuhkannya adaptasi dan akan memakan waktu yang cukup lama.
ADVERTISEMENT
Kaum minoritas tidak layak mendapatkan perlakuan semena-mena. Karena sama halnya kita, mereka juga manusia. Kurangnya kesadaran dan sifat menghargai perbedaan menjadikan tindakan diskriminatif tetap mengakar di Indonesia. Serta kurangnya mengutamakan dialog dalam setiap permasalahan. Kejadian di Sampang bukanlah contoh satu-satunya. Namun, dari kejadian itu bisa menyadarkan kita bahwa keragaman di Indonesia begitu besar dan kuat. Tradisi begitu kokoh dijunjung. Keyakinan begitu kuat dipegang. Maka tak asing jika perdebatan dan konflik bermunculan walau hanya soal masalah kecil.
Baik Sunni maupun Syiah sama posisinya sebagai warga negara Indonesia. Tak ada yang boleh melarang mau mengikuti agama dan kepercayaan yang mana, bahkan negara pun tidak berhak. Negara hanya boleh memfasilitasi. Urusan keyakinan diserahkan kepada masing-masing individu. Pikiran selalu melahirkan tafsir dan tafsir itu tidak ada yang salah. Itulah mengapa banyak aliran-aliran baru disekeliling kita yang dilahirkan dari tafsir baru. Meski begitu, gerakan yang membahayakan umat, membuat umat terpecah belah, haruslah tetap dikaji secara menyeluruh guna mengedukasi dan meredam api emosi masyarakat sehingga tidak melakukan perbuatan tidak layak.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan Syiah di Sampang, Sunni dan Syiah bisa hidup berdampingan di Banjaran. Pengikut Sunni Syiah tidak berdebat, nyaris tanpa gesekan, termasuk masalah peribadatan. Dalam kegiatan sehari-hari atau dalam kegiatan bersama, seperti maulid nabi, isra mi’raj dan kegiatan keagamaan lainnya, keduanya saling berpartisipasi. Keharmonisan begitu terjaga. Ketika kerusuhan Sampang terjadi, masyarakat Syiah Banjaran cenderung was-was terhadap orang asing di luar komunitas mereka yang datang ke sana. Hal ini menunjukkan bahwa kerusuhan Sampang telah berimbas ke daerah lain. Begitu juga yang terjadi di Bondowoso Sikap masyarakat disitu justru merepresentasikan sikap menghargai keragaman, sehingga menjaga konstitusi, menjaga harmoni dan relasi Sunni-Syiah. Sikap itulah yang harus ditanamkan dan dibangun agar perpecahan tidak menjadi konsumsi umat setiap saat.
ADVERTISEMENT
Keragaman di Indonesia ini mengharuskan kita untuk memiliki sikap toleransi, atau cara kita merespon keberagaman. Cara pandang kita bisa diarahkan menuju ke puncak gunung pemikiran dengan dua jalan, yaitu melalui toleran atau intoleran. Keduanya akan bertemu di puncak gunung sebuah pemikiran yang darinya akan menghasilkan cara pandang yang merendahkan manusia atau cara pandang yang memanusiakan manusia.
Maka dari itu, minoritas sebaiknya bukan dihempas atau diasingkan, tetapi diberikan ruang bebas untuk menjalankan apa yang telah menjadi keyakinannya selama mereka tetap berpegang pada esensi keagamaan, yaitu memuliakan manusia.