Malapetaka Dunia Sains Tanpa Etika

Khofifah Azahra
Saya Khofifah, mahasiswa jurusan Pendidikan Fisika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
8 Desember 2021 16:10 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Khofifah Azahra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto : https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
Foto : https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
Ilmu pengetahuan bertujuan untuk memajukan perkembangan umat manusia namun apa jadinya jika kita bebas melakukan eksperimen mengerikan ke dalam tubuh manusia? Akan sekacau apa dunia sains jika kita tidak mengenal batas-batas etika dalam sains? Jawabannya dunia akan menjadi sangat mengerikan. Karena nyatanya di masa lalu banyak eksperimen sains gila yang bukanya menggunakan kelinci percobaan tetapi langsung menggunakan manusia sebagai alat percobaannya.
ADVERTISEMENT
Salah satu contoh kasusnya yaitu penelitian yang dilakukan kepada ratusan lelaki kulit hitam pengidap Sifilis di Amerika. Mereka dijadikan objek penelitian guna mengamati penyakit yang diderita tanpa diberi pengobatan sama sekali. Penelitian yang direncanakan untuk dilakukan beberapa bulan tidak pernah dihentikan hingga 40 tahun. Parahnya penelitian ini dilakukan tanpa adanya persetujuan dari para peserta. Hasilnya selain banyak yang menderita, ratusan lainnya meninggal sia-sia.
Foto : https://pixabay.com/
Kasus tersebut baru satu dari sekian banyaknya penelitian kelam yang pernah dilakukan dalam sejarah manusia. Kasus lain yang lebih mengerikan adalah penelitian yang dilakukan pada masa kejayaan Hitler. Pada saat itu, Hitler dan para dokter bawahannya menjadikan tawanan perang sebagai objek dari berbagai eksperimen gila. Mulai dari menyuntikkan secara paksa bakteri penyebab tipes, membuat ribuan orang menjadi mandul, hingga menyuruh para tawanan untuk merasakan kondisi di atas awan tanpa suplai oksigen. Perbuatan Hitler ini dianggap sebagai aib besar dalam dunia sains. Bahkan setelah kejadian tersebut lahirlah berbagai perjanjian internasional yang tujuannya untuk mencegah para ilmuwan yang tidak bermoral kembali ke laboratorium.
ADVERTISEMENT
Eksperimen-eksperimen Tadi memang sangat tidak manusiawi. Lantas apakah percobaan yang melibatkan manusia tidak diperbolehkan sama sekali? Jawabannya semua tergantung dari apakah manfaat penelitian yang dilakukan setimpal dengan risiko yang dihasilkan. Bisa dikatakan kita memerlukan adanya penjaga gawang sains yang dapat menjamin jika penelitian-penelitian yang dilakukan di seluruh dunia tidak melewati batas.
Foto : https://pixabay.com/
Karena hal tersebut, saat ini kita mengenal Komisi Etik Penelitian yang terdiri dari ilmuwan dan masyarakat umum. Ilmuwan di sini adalah para ahli di bidang ilmu sosial, kesehatan, hukum, sampai etika dan agama. Kemudian masyarakat umum bertugas untuk menyampaikan pendapat masyarakat yang tidak memiliki keahlian dibidang penelitian. Komisi etik menjaga apakah penelitian yang dilakukan sudah memperhitungkan dampak dan manfaat yang diperoleh. Jika ternyata nantinya penemuan yang dilakukan terbukti merugikan, maka hasil penelitian harus segera ditarik dan diuji kembali. Salah satu contoh kasusnya yaitu tragedi Thalidomide, obat anti mual bagi ibu hamil yang ternyata berbahaya untuk bayi di dalam kandungan. Obat ini awalnya ditarik dari pasaran namun kembali dipasarkan dengan aturan yang lebih ketat untuk mengobati penyakit lepra.
ADVERTISEMENT
Sekarang kita jadi paham bahwa menjadi seorang peneliti tidak bisa asal-asalan melakukan penemuan tanpa memperhatikan etika. Karena satu ide yang cemerlang di atas kertas jika tidak hati-hati bisa menjadi malapetaka bagi umat manusia.