BTS x PLTS: Sambungkan Wilayah Terluar Indonesia dengan Energi Surya

Azis Saputra
Renewable Energy Engineering and Business Development
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2022 10:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azis Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Perkembangan komunikasi yang sangat masif kian tak terbendung. Kemudahan teknologi yang ditawarkan membuat orang semakin mengalami ketergantungan akan hal tersebut. Bagaimana tidak, melalui kemudahan komunikasi kini jarak tidak lagi menjadi penghambat. Bahkan sebuah penelitian yang dilakukan oleh Digital GFK ASIA membuktikan bahwa orang Indonesia menghabiskan waktu sedikitnya 5,6 jam dalam sehari bersama gawai mereka.
ADVERTISEMENT
Namun sadarkah kita bahwa selama waktu yang kita habiskan bersama gawai tersebut, selama itu juga kita berkontribusi dalam menciptakan climate change? Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Mari kita mulai pembahasan menarik ini dari mengenal BTS.
Ilustrasi menara BTS (Sumber: Pexels.com/MagicK)
Semakin pesatnya pengguna gawai dan internet, sejalan dengan semakin meningkatnya pelanggan operator seluler. Itu artinya infrastruktur pendukung pun akan semakin meningkat. Salah satunya adalah peningkatan jumlah BTS (Base Transceiver Station).
BTS adalah infrastruktur telekomunikasi yang memfasilitasi komunikasi nirkabel antara perangkat komunikasi dan jaringan operator. Fungsinya mengirimkan dan menerima sinyal radio ke perangkat komunikasi seperti telepon seluler, dan jenis gawai lainnya. Dengan BTS inilah kita akhirnya dapat berkomunikasi satu sama lain walau terpisah oleh jarak.
Saat ini, lebih dari 500.000 BTS telah dibangun di Indonesia. Masing-masing operator seluler terus berkompetisi menjadi penyedia jaringan terbaik. Jika kita urutkan operator dari jumlah BTS terbanyak secara berturut-turut, maka telkomsel berada pada posisi teratas dengan 237 ribu BTS. Diikuti XL Axiata, Indosat Ooredoo, Smartfren, hingga yang terbaru Hutchison. Namun bagian menariknya bukan terletak pada angka-angka tersebut. Melainkan fakta yang menunjukkan bahwa BTS membutuhkan pasokan listrik yang besar. Lantas dimana letak permasalahannya?
ADVERTISEMENT
Permasalah utamanya terletak pada sumber listrik yang besar tersebut masih dipasok oleh energi fosil. Kita ambil contoh BTS telkomsel Kabupaten Bengkayang dengan kapasitas 660 Watt dan beroperasi selama 24 jam, konsumsi listrik bisa mencapai 15,840 Wh. Jika kita asumsikan 500 ribu BTS di Indonesia memiliki kapasitas yang sama, maka kebutuhan listrik bisa mencapai 7,92 MWh. Artinya dibutuhkan setidaknya 7,9 ton batubara dengan menggunakan perhitungan konsumsi batubara/kWh 1 kg. Dari angka tersebut, maka akan menghasilkan 7,4 ton emisi CO2. Itulah besar emisi karbon yang kita sumbang setiap kali beraktivitas bersama gawai dan perangkat seluler lainnya.
Tidak sampai disitu, dosa lainnya datang dari keadilan dan ketidaksetaraan kesempatan yang dirasakan oleh saudara kita yang berada di wilayah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal). Hari ini kita bebas merasakan kemajuan teknologi tanpa menghiraukan dampak emisi karbon yang ditimbulkan. Tetapi jauh di wilayah terluar Indonesia, saudara kita belum bisa merasakan bagaimana kemudahan yang luar biasa saat menjelajah internet dan sarana komunikasi lainnya. Ketergantungan BTS terhadap jaringan PLN, membuatnya sulit dibangun di wilayah 3 T. Tak jarang ketika sedang berada di wilayah yang jauh dari kota saja, kita sudah merasakan sulitnya mendapatkan sinyal. Hal ini karena memang keberadaan BTS yang belum merata.
ADVERTISEMENT
Menjawab permasalah ini, pemerintah berencana membangun 7.904 BTS di daerah 3T. Dengan rincian, 4.200 BTS dibangun pada 2021 dan 3.704 BTS akan dibangun pada 2022. Hal ini sebagai langkah untuk menghilangkan inequality dari segi sarana dan prasarana komunikasi. Namun akankah pembangunan ini menjadi langkah memperlambat target pemerintah lainnya dalam menuju Net Zero Emission (NZE) 2050?. Serta mempertegas bahwa BTS dan jaringan seluler sebagai unsustainable product. Jawabannya ada ditangan kita sebagai penerus bangsa. Sebenarnya ada banyak opsi yang bisa kita pilih tanpa harus menutup diri dari perkembangan teknologi. Salah satu yang terbaik adalah mengkolaborasikan BTS dengan PLTS (Pembangkin Listrik Tenaga Surya).
PLTS saat ini telah menjadi strategi terdepan dalam menuju transisi energi Indonesia, mencapai bauran EBT 23% pada tahun 2025 serta menuju NZE 2050. Pengaplikasian PLTS pada BTS tentunya akan menjadi langkah yang luar bisa dalam mempercepat capaian target-target tersebut. Mengandalkan energi surya, sistem PLTS ini dapat memenuhi kebutuhan listrik setiap tower BTS yang ada dan membuat BTS bertransformasi menjadi sustainable product. Akan banyak sekali dampak positif yang dapat diambil dengan pemanfaatan PLTS untuk BTS. Mulai dari kemudahan akses, hingga menekan angka emisi karbon karena PLTS merupakan green energy bebas emisi.
ADVERTISEMENT
Luar biasanya lagi, dengan mengkolaborasikan BTS dengan PLTS, kita juga akan mencapai 2 pilar utama G20 Indonesia sekaligus. Yaitu transformasi ekonomi digital berbasis digital dan transisi menuju energi yang berkelanjutan. Membangun BTS artinya akan membantu tercapainya digitalisasi di Indonesia. Dan menggunakan PLTS akan menjadi wujud nyata dalam menuju transisi energi. BTS bisa menjadi ajang yang luar biasa dalam mempromosikan PLTS. Terlebih PLTS akan menjawab tantangan yang menghambat pembangunan BTS selama ini. Tentu akan sangat indah jika 7.904 BTS di daerah 3T dilengkapi dengan PLTS. Ayo sambungkan wilayah terluar Indonesia dengan energi surya. Energi surya untuk Indonesia yang lebih cerah.