Melihat Cahaya di Timur Indonesia

Azis Saputra
Renewable Energy Engineering and Business Development
Konten dari Pengguna
24 Oktober 2022 7:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azis Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pulau (Sumber: Pexels.com/Stijn)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pulau (Sumber: Pexels.com/Stijn)
ADVERTISEMENT
Negara Indonesia adalah negara maritim dengan ⅔ wilayahnya merupakan lautan dan memiliki 17.500 pulau. Oleh karena itu sektor Industri maritim khususnya transportasi laut memegang peranan penting untuk mendukung konektivitas antar pulau di Indonesia. Total Armada kapal nasional pada tahun 2019 mencapai 32.587 unit yang terdiri dari kapal barang, kapal penumpang, dan jenis kapal lainnya.
ADVERTISEMENT
Angka tersebut sejalan dengan kebutuhan infrastruktur galangan kapal yang kian meningkat, baik untuk pembuatan kapal baru maupun perbaikan kapal (repairing/docking process). Karena faktanya studi yang dilakukan pada tahun 2016 menunjukan bahwa 75% dari populasi kapal yang ada memiliki usia di atas 20 tahun. Oleh karen itu galangan perbaikan kapal menjadi penting.
Saat ini data dari kementerian perindustrian mencatat dari 240 galangan kapal yang tersebar di seluruh Indonesia 56 diantaranya adalah galangan perbaikan kapal.
Galangan Cahaya Timur merupakan salah satu dari 56 galangan yang berfokus pada perbaikan kapal dan telah berdiri sejak 1975. Terletak di Pulau Karim, Sorong, Papua Barat, galangan kapal ini memiliki peranan penting dalam Industri Perkapalan. Data laporan perusahaan pada tahun 2019 menunjukan bahwa setidaknya total ada 16 kapal yang berlabuh untuk melakukan perbaikan di galangan kapal ini.
ADVERTISEMENT
Kapal-kapal tersebut memiliki jenis GRT (Gross Rate Tonnage) yang berbeda-beda yang nantinya akan berpengaruh pada lamanya proses perbaikan kapal. Jika dikonversi menjadi lamanya waktu berbaikan, total dibutuhkan waktu 340 hari waktu pengerjaan perbaikan 16 kapal dalam satu tahun penuh.
Letaknya yang berada di pulau terisolasi, membuat galangan kapal ini memiliki masalah dalam memenuhi kebutuhan listrik. Sama halnya dengan sebagian besar pulau atau daerah terisolasi, tidak adanya jaringan listrik membuat galangan kapal akhirnya menggunakan diesel.
Diesel atau BBM dianggap sebagai solusi pembangkit listrik yang andal dan murah serta mudah dioperasikan. Padahal disamping itu diesel meninggalkan jejak negatif mulai dari emisi, harga yang semakin meningkat, ketergantungan, hingga keandalan dari sistem pembangkit itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Dalam memenuhi kebutuhan listrik, galangan kapal Cahaya Timur sendiri dilengkapi oleh genset dengan kasitas 2700 kVa. Kapasitas genset ini pada awalnya didesain dengan prediksi adanya kebutuhan listrik yang berbanding lurus. Namun kondisi dilapangan menunjukkan bahwa kebutuhan listrik galangan hanya sebesar 1431 kWh/hari dan memiliki beban puncak hanya sebesar 108.9 kW.
Itu artinya genset bekerja jauh dibawah nilai operating minimum yaitu sebesar 40%. Genset pada galangan hanya beroperasi pada angka 2,8% hingga 12,8%. Hal ini tentunya dapat membahayakan genset, mulai dari terjadi pembakaran tidak sempurna, penurunan performa dan efisiensi, hingga mempersingkat masa hidup atau lifetime dari genset itu sendiri.
Kondisi ini diperburuk oleh besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk konsumsi BBM pada setiap kWh listrik yang dihasilkan. Konsumsi listrik per tahun galangan kapal mencapai 513.008 kWh/tahun. Adapun diesel atau BBM jenis Solar yang digunakan memiliki spesifikasi 0.592 liter/kWh. Artinya dalam satu tahun galangan kapal mengkonsumsi 303.701 liter BBM.
ADVERTISEMENT
Data aktual lapangan yang didapat menyebutkan bahwa harga BBM yang digunakan yaitu sebesar 25.400 IDR/liter. Jika angka ini kita kalikan dengan dengan jumlah konsumsi BBM dalam satu tahun maka didapat biaya BBM dalam satu tahun untuk menghasilkan listrik yaitu sebesar 7,7 Miliar IDR.
Selanjutnya jika kita bagi 7,7 Miliar IDR dengan 513.008 kWh (jumlah konsumsi listrik per tahun) maka didapat angka 15.037 IDR/kWh. Angka inilah kemudian yang disebut sebagai LCOE (Levelized Cost of Energy) atau biaya yang dikeluarkan untuk setiap kWh listrik yang dihasilkan.
Angka tersebut jauh dibandingkan dengan nilai LCOE untuk genset atau generator diesel yang seharusnya. Data dari LCOE Indonesia terbitan IESR (Institute for Essential Services Reform) menunjukan bahwa LCOE dari generator diesel memiliki nilai minimum 2.507 IDR/kWh dan nilai maksimum 9.578 IDR/kWh.
ADVERTISEMENT
Selain harga BBM yang selalu meningkat karena persediaan minyak dunia yang semakin berkurang, BBM juga meninggalkan jejak emisi. Jika mengacu pada Pedoman Perhitungan dan Pelaporan Inventarisasi Gas Rumah Kaca, maka kita dapat menghitung berapa emisi yang dihasilkan oleh 303.701 liter BBM yang dikonsumsi per tahun.
Dalam satu tahun 303.701 liter menghasilkan emisi GRK yaitu 806.196 Kg CO2, 33 Kg CH4, dan 7 Kg N2O atau 808.898 Kg CO2 equivalent. Jika pembangit existing ini terpertahankan selama 10 tahun kedepan, maka emisi yang dihasilkan mencapai 8089 ton CO2 equivalent. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan target Indonesia yang ingin mencapai NZE (Net Zero Emission) pada tahun 2060.
Berangkat dari masalah-masalah tersebut dapat disimpulkan bahwa penting adanya kajian ulang mengenai perhitungan desain pembangkit listrik untuk galangan kapal yang lebih efisien dan optimal baik secara teknis, keekonomian, maupun aspek lingkungan.
ADVERTISEMENT
Galangan kapal ini hanyalah 1 dari banyak tempat di Indonesia yang masih menghapadi masalah serupa. Studi lanjutan mengenai solusi alternatif mutkal diperlukan. Salah satu yaitu dengan memanfaatkan Pembankit Listrik Hibrida.
Kenapa demikian? Akan kita bahas pada artikel selanjutnya.