Konten dari Pengguna

Gunung Prau: Ketika Saundarya Puncaknya Menyapa Manusia

Azizan Ananda Salviano
Mahasiswa ilmu komunikasi di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
18 Desember 2024 15:43 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azizan Ananda Salviano tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Wonosobo, Jawa Tengah - Gunung Prau, sebuah lukisan Tuhan nan-elok seakan jatuh ke bumi tepat di tengah Pulau Jawa. Membawa gejolak alam yang pantas disaksikan, oleh lima panca indera manusia. Apalagi bila menyaksikan langsung dari puncaknya.
Penulis sedang diam berdiri, menyaksikan keajaiban indahnya alam di Puncak Gunung Prau pada pagi hari, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah  (Dok. Azizan Ananda Salviano)
zoom-in-whitePerbesar
Penulis sedang diam berdiri, menyaksikan keajaiban indahnya alam di Puncak Gunung Prau pada pagi hari, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah (Dok. Azizan Ananda Salviano)
Mungkin bagi beberapa orang akan menganggap bahwa Gunung Prau adalah Tangkuban Parahu di Jawa Barat. Kenyataannya sebuah tempat yang berbeda, pun dengan provinsinya. Termasuk saya, juga memiliki anggapan jika dua nama tersebut adalah tempat yang sama 5 tahun silam.
ADVERTISEMENT
Secara geografis letaknya pada empat kabupaten di Jawa Tengah, yakni Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal, Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo. Akan tetapi secara mayoritas persepsi, mengatakan Gunung Prau di Dieng Wonosobo, dengan stigma bahwa suhunya sangat dingin mampu menembus 0 derajat celcius pada bulan tertentu.
Kala itu saya mendaki berdua, dengan teman yang sudah paham tentang medan pendakian. Mendaki tepat satu hari sebelum kemerdekaan Indonesia ke-79, 16 Agustus 2024.
Dingin menyapu debu pada jalur yang melelahkan
Seperti pendakian pada umumnya, perlu registrasi di basecamp. Ketika registrasi pun tidak terlalu ribet layaknya birokrasi negara. Pendaki cukup membayar sekitar Rp. 60.000 dan fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) satu lembar, selesai. Saat itu kami mendaki via Patak Banteng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo. Besaran harga tersebut sudah termasuk biaya penginapan di basecamp, biaya sampah dan biaya simaksi. Perlu dicatat tidak termasuk biaya parkir. Tidak boleh ada sampah terbuang sembarangan. Tidak boleh merusak alam.
ADVERTISEMENT
Gelap nan dingin layaknya negara Eropa, menyelimuti saya dan teman dini hari itu. Pukul 2 pagi WIB kami bersiap, bagaikan akan mengikuti lomba marathon. Tentu tidak dengan celana pendek diatas lutut dan kaos tipis beserta smartwatch di tangan kiri. Apabila menggunakan pakaian seperti itu, tidak akan bisa kami menyaksikan saundarya puncak dari Gunung Prau.
“Pendakian dibuka pukul 3 untuk pendaki yang tidak berkemah di puncak, untuk menjaga supaya tidak hipotermia, karena sudah banyak kasus seperti itu,” ujar pengemudi ojek gunung ketika kami tanyai secara langsung.
Farhan Ramadhani atau kerap dipanggil Farhan, adalah teman mendaki saya. Setelah pendakian dibuka, dengan semangat membara seperti ingin menumpas koruptor kami berjalan. Walaupun pada pertengahan jalur pendakian, saya kerap meminta istirahat. Sungguh jalur tiada henti untuk menanjak dengan jurang di pundak kanan. Memang manusia, semangat hanya diawal.
Pemandangan kawasan Dieng dini hari pukul 4 pagi ketika saya dan Farhan istirahat sejenak, Jumat 16 Agustus 2024. (Dok. Azizan Ananda Salviano)
Pawana berlenggak-lenggok pada setiap cemara, membawa debu kepada sang pelindung mata. Pun dengan pakaian serba hitam yang saya kenakan. Semakin dekat puncak, semakin kotor. Tidak mengapa, asalkan caranya tidak kotor.
ADVERTISEMENT
Perlu waktu 1,5 jam untuk dapat sampai puncak, melihat lukisan Tuhan yang jatuh di tengah Pulau Jawa. Cukup lama sebenarnya, karena kami menggunakan jalur baru yang relatif menguras waktu, namun landai. Dibandingkan jalur lama yang cepat, namun menyiksa fisik. Jika kalian memiliki kaki dan kekuatan seperti Gatotkaca, tidak salah mencoba jalur lama.
Emas saundarya puncak Gunung Prau
Penulis sedang menyaksikan keindahan Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing di puncak Gunung Prau pada pagi hari pukul 05.30 WIB (Dok. Azizan Ananda Salviano).
Lelah terbayar, jenuh terbuang dan Saundarya didapat. Alam sedang menyapa kita, para manusia yang kelelahan berjalan dari bawah menuju puncaknya. “Puncak Gunung Prau memiliki ketinggian 2565 MDPL, kita bisa menyaksikan keindahannya, kalau ingin maksimal berharap saja langit sedang cerah dan bersih,” ucap Farhan ketika ditanyai seputar puncak Gunung Prau sembari menunggu sang surya memancarkan warna emas-nya.
ADVERTISEMENT
Ketika sampai puncak dari Gunung Prau, terdapat banyak pemandangan terlihat. Menyaksikan dan merasakan, bagaimana pemandangan gunung pada salah satu brand air mineral yang beredar di Indonesia, benar-benar nyata adanya.
Bagaimana Gunung Sindoro gagah tinggi besar menyapa mata kami. Gunung Sumbing yang malu-malu dibalik sang Sindoro. Gunung Kembang yang cantik dengan tinggi setengah dari Sindoro. Sebelah timur ada Gunung Merapi sedang meluapkan isi perut merahnya. Gunung Merbabu nan-hijau disana terlihat. Bahkan Gunung Lawu yang sangat teramat jauh dari Puncak Gunung Prau juga terlihat berdiri kokoh diatas awan.
Bagian barat terlihat sang atap Jawa Tengah, Gunung Slamet sungguh memanjakan mata. Lautan awan bagaikan samudera hindia berterbangan menutupi kota. Batang hidung kami terasa senang menghirup udara. Tulang telapak tangan kami, sakit tertusuk oleh udara dingin. Kulit yang menggigil menyambut angin, bersuara tornado sangat jelas terdengar.
ADVERTISEMENT
Begitulah perjalanan dua manusia melihat lukisan Tuhan yang elok, di atas puncak Gunung Prau. Kecantikan dan keindahan semua itu, membuat kami berdua lupa dimana karcis parkir motor disimpan. Hilang sudah, kami pun harus membayar dendanya.
Azizan Ananda Salviano, mahasiswa Ilmu Komunikasi
Universitas Sebelas Maret, Surakarta.