Konten dari Pengguna

Pencatatan Perkawinan Penghayat Kepercayaan Pasca-Putusan MK

Miqdad azka
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Prodi Hukum Keluarga
15 Oktober 2024 10:48 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Miqdad azka tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Perkawinan. Foto: https://pixabay.com/
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Perkawinan. Foto: https://pixabay.com/
ADVERTISEMENT
Membahas persoalan perkawinan pasca-putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 2019 tentang Pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
ADVERTISEMENT
Dengan adanya pasal yang mengatur tentang perkawinan dan pencatatan penghayat kepercayaan, maka secara tidak langsung perkawinan penghayat kepercayaan telah diakui secara hukum. Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Berkaitan dengan organisasi penghayat kepercayaan telah dikeluarkan peraturan bersama mentri dalam negeri dan mentri kebudayaan dan pariwisata No.43 dan N0.41 tentang pedoman pelayanan kepada penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Peraturan bersama tersebut mengatur pelayanan terhadap penghayat kepercayaan.
Peraturan tersebut memberikan landasan hukum yang lebih jelas dan kuat bagi para penghayat kepercayaan untuk mendapatkan hak-hak sipil mereka, termasuk dalam hal perkawinan. Sebelumnya, sebelum Putusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016, para penghayat kepercayaan seringkali mengalami kesulitan dalam mengakses layanan administrasi kependudukan, terutama terkait dengan pencatatan pernikahan. Mereka tidak dapat mencatatkan pernikahan secara resmi, yang mengakibatkan berbagai dampak hukum, seperti status anak, hak waris, hingga hak atas dokumen identitas.
ADVERTISEMENT
Namun, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini, serta diikuti dengan terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2019, penghayat kepercayaan kini dapat mencatatkan perkawinan mereka di Kantor Catatan Sipil, sama seperti pemeluk agama resmi lainnya. Perkawinan ini akan diakui secara sah oleh negara, dan pasangan yang menikah akan mendapatkan kutipan akta perkawinan, yang dapat digunakan untuk keperluan administrasi lainnya, seperti pembuatan Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Selain itu, perubahan ini juga menjadi bentuk pengakuan bahwa penghayat kepercayaan adalah bagian dari keragaman budaya dan keyakinan di Indonesia, yang perlu dihormati dan dilindungi oleh negara. Meskipun secara kuantitas jumlah penghayat kepercayaan di Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan penganut agama mayoritas, hak-hak mereka tetap harus dijamin sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, meskipun sudah ada landasan hukum yang lebih baik, tantangan di lapangan masih ada. Beberapa daerah atau individu mungkin masih kurang paham atau tidak menerima perubahan kebijakan ini, sehingga sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat luas tentang hak-hak penghayat kepercayaan sangat penting. Pemerintah, melalui berbagai kementerian terkait, perlu terus mendorong implementasi aturan ini agar berjalan secara efektif dan tidak hanya sebatas regulasi di atas kertas.
Pada akhirnya, pengakuan terhadap perkawinan penghayat kepercayaan pasca-putusan MK merupakan langkah maju dalam menciptakan kesetaraan hak bagi semua warga negara, tanpa memandang latar belakang agama atau keyakinan yang dianut.